WAKTU SUBUH PERSPEKTIF HADIS DAN FUKAHA'
WAKTU SUBUH PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADZHAB
Oleh: Ruslan Fariadi, S.Ag., M.S.I.*[1]
A. Urgensi Waktu Shalat
Ibadah shalat merupakan salah satu ibadah mahdah yang telah ditentukan tata cara dan waktu pelaksanaannya. Bahkan di dalam al-Qur’an secara tegas disebutkan
bahwa shalat merupakan kewajiban yang telah ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa’: 103. Dalam surat Hud ayat 114 dan surat al-Isra’ ayat 78 juga dijelaskan tentang waktu pelaksanaan shalat wajib secara lebih spesifik. Begitu pula halnya dalam hadis Nabi saw. ditemukan banyak sekali hadis-hadis Nabi yang berbicara tentang waktu shalat, bahkan secara sangat rinci dan detail, termasuk diantaranya tentang waktu shalat subuh. Atas dasar itulah dalam kitab-kitab fikih persoalan waktu-waktu shalat (mawaqit as-shalah) ini termasuk persoalan yang sangat diperhatikan dan dijadikan sebagai syarat sahnya shalat.
Abdurrahman al-Jaziri menjelaskan bahwa menurut mayoritas
ulama’, masuknya waktu merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Sehingga
tidak wajib bagi seorang mukallaf untuk melaksankan shalat, kecuali jika telah
masuk waktu shalat. Sedangkan menurut madzhab Hanafi masuknya waktu tidak
dijadikan sebagai syarat wajib maupun syarat sahnya shalat. Namun mereka tetap
berpendapat bahwa masuknya waktu sebagai syarat untuk melaksanakan shalat (Inna dukhul al-wakti syartun liada’
as-shalah). (Al-Fiqh ‘ala madzahib al-Arba’ah: 180)
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa, berbicara tentang
waktu shalat merupakan persoalan yang sangat penting untuk dituntaskan,
sehingga dapat memberikan kepastian dan menjawab berbagai macam keraguan di
tengah masyarakat, khususnya yang terkait dengan waktu subuh.
B. Cara Mengetahui Waktu Shalat
Dalam kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah
dijelaskan bahwa, waktu shalat dapat diketahui dengan beberapa cara, yaitu: Pertama:
Dengan waktu falakiyah yang dihasilkan dan dijelaskan dengan ilmu hisab yang
benar, yang saat ini banyak ditemukan baik di pedesaan maupun di perkotaan,
yang dijadikan patokan untuk mengetahui waktu-waktu yang berkaitan dengan
syari’at agama, seperti shalat dan lainnya. Kedua: Tergelincirnya matahari,
untuk mengetahui tibanya waktu shalat dzuhur. Ketiga: Terbenamnya
matahari untuk mengetahui tibanya waktu shalat maghrib. Keempat: Hilangnya
mega merah atau sinar putih untuk mengetahui tibanya waktu shalat isya’. Kelima:
Dengan melihat sinar putih yang tampak di ufuk, untuk mengetahui tibanya waktu
shalat subuh. (Al-Fiqh ‘ala madzahib al-Arba’ah: 182)
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa, untuk mengetahui masuknya waktu-waktu shalat dapat menggunakan dua cara,
yaitu dengan hisab dan rukyat atau melihat fenomena alam sesuai dengan
masing-masing waktu shalat fardhu.
C. Penjelasan Waktu-Waktu Shalat (Subuh) dalam
Al-Qur’an dan Hadis Nabi:
1. Al-Qur’an
...إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (النساء:103)
“...Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban
yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103)
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ
النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ... (هود: 114)
“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi
siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam....” (QS. Hud: 114)
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ
الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ
كَانَ مَشْهُودًا (الإسراء:78)
“Dirikanlah shalat dari sesudah
matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah shalat) subuh.
Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh Malikat) .” (QS. Al-Isra’: 78)
2. Hadis Nabi:
1. عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ
الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ
تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ
وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ وَوَقْتُ
صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ فَإِذَا
طَلَعَتْ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ
قَرْنَيْ شَيْطَانٍ. (رواه مسلم)
“Dari
Abdullah bin 'Amru bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Waktu shalat zhuhur adalah jika matahari telah concong dan bayangan
sesorang seperti panjangnya selama belum tiba waktu shalat ashar, dan waktu
shalat ashar selama matahari belum menguning, dan waktu shalat maghrib selama
mega merah (syafaq) belum menghilang, dan waktu shalat isya` hingga tengah
malam, dan waktu shalat shubuh semenjak terbit fajar selama matahari
belum terbit, jika matahari terbit, maka janganlah melaksanakan shalat, sebab
ia terbit diantara dua tanduk setan." (HR. Muslim)
2. عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ وَقْتُ الظُّهْرِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ
تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَسْقُطْ ثَوْرُ الشَّفَقِ
وَوَقْتُ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ وَوَقْتُ الْفَجْرِ مَا لَمْ
تَطْلُعْ الشَّمْسُ. (رواه مسلم)
“Dari Abdullah
bin 'Amru dari Nabi saw., beliau bersabda: "Waktu shalat zhuhur selama
belum tiba waktu shalat ashar, dan waktu shalat ashar selama matahari belum
menguning, dan waktu shalat maghrib selama tebaran syafaq (mega merah) belum
menghilang, dan waktu shalat isya` hingga tengah malam, dan waktu shalat
fajar selama matahari belum terbit." (HR. Muslim)
3. عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو هُوَ ابْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ سَأَلْنَا
جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَ يُصَلِّي الظُّهْرَ بِالْهَاجِرَةِ وَالْعَصْرَ
وَالشَّمْسُ حَيَّةٌ وَالْمَغْرِبَ إِذَا وَجَبَتْ وَالْعِشَاءَ إِذَا كَثُرَ
النَّاسُ عَجَّلَ وَإِذَا قَلُّوا أَخَّرَ وَالصُّبْحَ بِغَلَسٍ. (روا
البخاري)
“Dari
Muhammad bin 'Amru -yaitu Ibnu Al Hasan bin 'Ali- ia berkata, "Kami pernah
bertanya kepada Jabir bin 'Abdullah tentang shalatnya Nabi saw. Ia lalu menjawab, "Beliau
melaksanakan shalat Zhuhur jika matahari sudah condong, shalat 'Ashar saat
matahari masih terasa panasnya (masih terang), shalat Maghrib ketika matahari
sudah tenggelam, sedangkan shalat 'Isya; jika orang-orang sudah berkumpul maka
beliau segerakan, dan jika belum maka beliau akhirkan. Dan waktu shalat
Subuh saat pagi masih gelap." (HR. al-Bukhari)
4. عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الصُّبْحَ بِغَلَسٍ فَيَنْصَرِفْنَ نِسَاءُ
الْمُؤْمِنِينَ لَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ أَوْ لَا يَعْرِفُ بَعْضُهُنَّ
بَعْضًا. (رواه البخاري)
“Dari
'Aisyah ra. bahwasanya
Rasulullah saw. melaksanakan
shalat Shubuh di waktu yang masih gelap, sehingga wanita-wanita yang beriman
berlalu pergi tidak ada yang dapat mengenalinya, atau sebagian mereka tidak
bisa mengetahui sebagian yang lain." (HR. al-Bukhari)
5. عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَيُصَلِّي الصُّبْحَ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ مَا
يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ. (رواه البخاري)
“Dari 'Aisyah ia berkata, "Jika Rasulullah saw. melaksanakan
shalat Shubuh, maka para wanita yang ikut berjama'ah datang dengan menutup
wajah mereka dengan kerudungnya, tanpa diketahui (dikenal) oleh seorangpun karena hari masih gelap." (HR. al-Bukhari)
6. عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَلَّى الصُّبْحَ بِغَلَسٍ ثُمَّ رَكِبَ فَقَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ خَرِبَتْ
خَيْبَرُ إِنَّا إِذَا نَزَلْنَا بِسَاحَةِ قَوْمٍ (فَسَاءَ صَبَاحُ
الْمُنْذَرِينَ) فَخَرَجُوا يَسْعَوْنَ فِي
السِّكَكِ وَيَقُولُونَ مُحَمَّدٌ وَالْخَمِيسُ قَالَ وَالْخَمِيسُ الْجَيْشُ
فَظَهَرَ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَتَلَ
الْمُقَاتِلَةَ وَسَبَى الذَّرَارِيَّ فَصَارَتْ صَفِيَّةُ لِدِحْيَةَ
الْكَلْبِيِّ وَصَارَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ثُمَّ تَزَوَّجَهَا وَجَعَلَ صَدَاقَهَا عِتْقَهَا فَقَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ
لِثَابِتٍ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ أَنْتَ سَأَلْتَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ مَا
أَمْهَرَهَا قَالَ أَمْهَرَهَا نَفْسَهَا فَتَبَسَّمَ. (رواه البخري)
“Dari
Anas bin Malik, bahwa Rasulullah saw.
melaksanakan shalat Shubuh dalam keadaan masih gelap,
kemudian beliau mengendarai tunggangannya seraya bersabda: "Allahu Akbar,
hancurlah Khaibar! Sesungguhnya kami apabila mendatangi perkampungan suatu
kaum, (maka amat buruklah pagi hari yang dialami orang-orang yang diperingatkan
tersebut) (Qs. Ash Shaaffaat: 177). Orang-orang Khaibar keluar seraya berkata,
"Muhammad dan Al Khamis!" Tabit berkata, "Al Khamis artinya
pasukan." Maka Rasulullah saw. pun mengalahkan mereka, membunuh pasukan dan menawan tawanan. Maka
Shafiah menjadi bagian Dihyah Al Kalbi, kemudian ia menjadi milik Rasulullah saw. Beliau
kemudian menikahinya, dan maharnya adalah pembebasannya." 'Abdul 'Azizi
berkata kepada Tsabit, "Wahai Abu Muhammad, apakah kamu bertanya kepada
Anas bin Malik, apa yang Beliau jadikan mahar untuk wanita tersebut?" Tsabit
menjawab, 'Maharnya adalah pembebasannya.' Ia pun tersenyum." (HR. al-Bukhari)
7. عَنْ
سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنْ مَوَاقِيتِ الصَّلَاةِ فَقَالَ
اشْهَدْ مَعَنَا الصَّلَاةَ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ بِغَلَسٍ فَصَلَّى
الصُّبْحَ حِينَ طَلَعَ الْفَجْرُ ثُمَّ أَمَرَهُ بِالظُّهْرِ حِينَ زَالَتْ
الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْعَصْرِ وَالشَّمْسُ
مُرْتَفِعَةٌ ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْمَغْرِبِ حِينَ وَجَبَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ
أَمَرَهُ بِالْعِشَاءِ حِينَ وَقَعَ الشَّفَقُ ثُمَّ أَمَرَهُ الْغَدَ فَنَوَّرَ
بِالصُّبْحِ ثُمَّ أَمَرَهُ بِالظُّهْرِ فَأَبْرَدَ ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْعَصْرِ
وَالشَّمْسُ بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ لَمْ تُخَالِطْهَا صُفْرَةٌ ثُمَّ أَمَرَهُ
بِالْمَغْرِبِ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ الشَّفَقُ ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْعِشَاءِ عِنْدَ
ذَهَابِ ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ بَعْضِهِ شَكَّ حَرَمِيٌّ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ
أَيْنَ السَّائِلُ مَا بَيْنَ مَا رَأَيْتَ وَقْتٌ. (رواه مسلم)
“Dari
Sulaiman bin Buraidah dari Ayahnya bahwa seorang laki-laki menemui Nabi saw. dan bertanya
kepada beliau tentang waktu-waktu shalat. Beliau lalu bersabda; "Ikutlah
shalat bersama kami." Lalu beliau memerintahkan Bilal supaya mengumandangkan adzan ketika
keadaan masih gelap, lalu beliau mengerjakan shalat subuh ketika fajar terbit,
setelah itu beliau memerinahkan supaya mengumandangkan adzan zhuhur, yaitu
ketika matahari agak condong dari permukaan langit, kemudian beliau
memerintahkan shalat ashar ketika matahari telah putih bersih belum tercampuri
oleh warna kuning, kemudian beliau memerintahkan Bilal supaya mengumandangkan
(adzan) shalat maghrib ketika terbenamnya matahari, kemudian beliau
memerintahkan untuk mengumandangkan (adzan shalat) Isya` ketika sepertiga malam
-atau sebagiannya telah pergi, Harami ragu- keesokan harinya, beliau bertanya:
"Dimanakah orang yang bertanya tadi? Diantara kedua waktu itulah,
waktu-waktu shalat." (HR. Musllim)
8.
عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ لَمَّا قَدِمَ
الْحَجَّاجُ الْمَدِينَةَ فَسَأَلْنَا جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ فَقَالَ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الظُّهْرَ
بِالْهَاجِرَةِ وَالْعَصْرَ وَالشَّمْسُ نَقِيَّةٌ وَالْمَغْرِبَ إِذَا وَجَبَتْ
وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا وَأَحْيَانًا يُعَجِّلُ كَانَ إِذَا رَآهُمْ
قَدْ اجْتَمَعُوا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ قَدْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ وَالصُّبْحَ
كَانُوا أَوْ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ. (رواه مسلم)
“Dari
Muhammad bin 'Amru bin Hasan bin Ali katanya; "Ketika Hajjaj tiba di
Madinah, kami bertanya kepada Jabir bin Abdullah seraya berkata; Rasulullah saw. pernah shalat
zhuhur di pertengahan siang ketika hari sangat panas, dan ashar ketika matahari
masih bersih, dan maghrib ketika matahari terbenam, dan isya` kadang beliau
mengakhirkannya dan kadang beliau menyegerakannya. Jika beliau lihat para
sahabat telah berkumpul, maka beliau menyegerakannya dan jika beliau lihat para
sahabat kurang bergegas mendatanginya, beliau akan mengakhirkannya, adapun
subuh maka para sahabat atau Nabi saw. melakukannya
ketika pagi masih gelap gulita." (HR. Muslim)
9. حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَتَاهُ سَائِلٌ يَسْأَلُهُ عَنْ مَوَاقِيتِ
الصَّلَاةِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا قَالَ فَأَقَامَ الْفَجْرَ حِينَ
انْشَقَّ الْفَجْرُ وَالنَّاسُ لَا يَكَادُ يَعْرِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا ثُمَّ
أَمَرَهُ فَأَقَامَ بِالظُّهْرِ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ وَالْقَائِلُ يَقُولُ
قَدْ انْتَصَفَ النَّهَارُ وَهُوَ كَانَ أَعْلَمَ مِنْهُمْ ثُمَّ أَمَرَهُ
فَأَقَامَ بِالْعَصْرِ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ
بِالْمَغْرِبِ حِينَ وَقَعَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْعِشَاءَ
حِينَ غَابَ الشَّفَقُ ثُمَّ أَخَّرَ الْفَجْرَ مِنْ الْغَدِ حَتَّى انْصَرَفَ
مِنْهَا وَالْقَائِلُ يَقُولُ قَدْ طَلَعَتْ الشَّمْسُ أَوْ كَادَتْ ثُمَّ أَخَّرَ
الظُّهْرَ حَتَّى كَانَ قَرِيبًا مِنْ وَقْتِ الْعَصْرِ بِالْأَمْسِ ثُمَّ أَخَّرَ
الْعَصْرَ حَتَّى انْصَرَفَ مِنْهَا وَالْقَائِلُ يَقُولُ قَدْ احْمَرَّتْ
الشَّمْسُ ثُمَّ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى كَانَ عِنْدَ سُقُوطِ الشَّفَقِ ثُمَّ
أَخَّرَ الْعِشَاءَ حَتَّى كَانَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الْأَوَّلِ ثُمَّ أَصْبَحَ
فَدَعَا السَّائِلَ فَقَالَ الْوَقْتُ بَيْنَ هَذَيْنِ. (رواه مسلم)
“Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Musa dari Ayahnya dari Rasulullah saw., bahwa
seseorang datang menemui beliau dan bertanya tentang waktu-waktu shalat, namun
beliau tidak menawabnya sama sekali. Kata ayah Abu musa; "Kemudian
beliau mendirikan shalat fajar ketika fajar baru merekah dan antara sahabat
satu dengan yang lain belum bisa mengenal, kemudian beliau memerintahkan (untuk
mendirikan shalat shubuh), setelah itu beliau mendirikan shalat zhuhur
ketika matahari condong, lantas penanya berkata; "Siang telah berlalu
separohnya.!" seolah-olah dirinya orang yang paling pandai diantara
mereka, kemudian beliau memerintahkan lalu beliau mendirikan shalat ashr ketika
matahari masih tinggi, kemudian beliau memerintahkan supaya mendirian shalat
maghrib ketika matahari tenggelam, setelah itu beliau memerintahkan supaya
beliau mendirikan shalat isya`, yaitu ketika mega merah telah hilang, keesokan
harinya beliau mengakhirkan shalat fajar, seusai shalat (fajar) laki-laki itu
berkata; 'Matahari telah terbit atau nyaris terbit.!" Setelah itu beliau
mengakhirkan shalat zhuhur hingga mendekati waktu 'ashar seperti waktu kemaren,
kemudian beliau mengakhirkan shalat ashar, setelah selesai shalat penanya
berkata; "Matahari telah memerah.!" kemudian beliau mengakhirkan
shalat maghrib hingga syafaq (mega merah) menghilang, setelah itu beliau mengakhirkan
shalat isya` hingga sepertiga malam pertama berlalu, di pagi hari beliau
memanggil si penanya, lalu beliau bersabda: 'Waktu-waktu shalat ada diantara
dua waktu ini." (HR.
Muslim)
10.
عَنْ رَافِعِ
بْنِ خَدِيجٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَصْبِحُوا بِالصُّبْحِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِأُجُورِكُمْ أَوْ أَعْظَمُ
لِلْأَجْرِ. (رواه الخمسة و صححه الترمذي وابن حبان)
“Dari
Rafi' bin Khadij dia berkata; Rasulullah saw. bersabda:
"Laksanakanlah shalat Shubuh ketika pagi telah tiba, karena itu lebih
besar pahalanya bagi kalian, atau lebih besar
pahalanya." (HR.
at-Tirmidzi dan lainnya)
11.
عَنْ رَافِعِ
بْنِ خَدِيجٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْر. (رواه الترمذي
والنسائي و أحمد)
“Dari Rafi' bin Khadij ia berkata; "Aku
mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Shalatlah subuh ketika agak siang,
karena itu lebih banyak pahalanya." (HR. at-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad)
D. Beberapa Istilah yang Terkait dengan Shalat
Subuh:
1. Waktu Ghalas: Waktu pagi ketika masih
gelap gulita
2. Waktu Isfar: Terangnya waktu fajar
sehingga tidak lagi ada keraguan tentang kehadirannya, (Tirmidzi, syafi’i,
Ahmad, Ishaq, dan Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani), atau sinar cerah sesaat
sebelum terbitnya matahari.
3. Fajar Kadzib: Fajar pertama sebelum tibanya fajar shadiq, langit
terlihat cerah lalu kembali gelap gulita.
4. Fajar Shadiq: Fajar kedua dimana sinar putih terlihat di ufuk
5. Thulu’ as-Syam: Terbitnya matahari secara jelas
E. Klasifikasi waktu shalat Perspektif Ulama’ Fikih
Klasifikasi waktu shalat menurut para ulama’ fikih, terdiri
dari;
1. Waktu Utama atau Afdhal
أي الأعمال أفضل: الصلاة لأول ميقاتها (رواه البخاري
والترمذي)
2. Waktu Longgar dan Waktu Pilihan.
لولا أن أشق على أمتى لأخرت هذه الصلاة إلى نصف الليل (رواه
إبن ماجة والنسائي)
أخر النبي صلى الله عليه ووسلم صلاة العشاء إلى نصف اليل
(رواه البخاري)
3. Waktu Dharurat
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ مِنْ
الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ
وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ
أَدْرَكَ الْعَصْرَ. (رواه البخاري و مسلم)
“Dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah saw. bersabda: "Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat
subuh sebelum terbit matahari berarti dia mendapatkan subuh. Dan
siapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat 'Ashar sebelum terbenam matahari
berarti dia telah mendapatkan 'Ashar." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
4. Waktu Terlarang Untuk Shalat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلَاتَيْنِ بَعْدَ
الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ
الشَّمْسُ. (رواه البخاري ومسلم)
“Dari
Abu Hurairah berkata, "Rasulullah saw. melarang dari
dua macam shalat; dua rakaat setelah Shubuh hingga terbit matahari dan dua
rakaat setelah 'Ashar hingga matahari terbenam." (HR. al-Bukhari dan Mulim)
Sementara Ibnu Qudamah mengkalsifikasikah
waktu menjadi dua kategori, yaitu: Ikhtiyari (yang terdiri dari waktu Fadhilah
dan waktu Tausi’ah), dan waktu Dharuri. Sedangkan imam as-Syafi’i
membagi waktu shalat menjadi 8 (delapan)
macam, yaitu:
1. Waktu Fadhilah (utama), yaitu di awal
waktu
2. Waktu Ikhtiyar; yaitu dari awal waktu sampai
masih tersisanya waktu untuk menyelesaikan shalat.
3. Waktu Jawaz (waktu yang diperbolehkan
untuk shalat) tanpa dimakruhkan
4. Waktu Tahrim (waktu yang diharamkan
untuk shalat)
5. Waktu Dharurat; yaitu akhir waktu bagi
orang yang telah hilang faktor larangan shalat seperti haid dan nifas.
6. Waktu Idrak; waktu antara awal waktu
shalat hingga menjelang akhir bagi seseorang yang terkena faktor larangan shalat di wakttu-waktu
tersebut.
7. Waktu ‘Uzur; waktu (bolehnya) menjama’
shalat dzuhur dengan Ashar, atau shalat Maghrib dengan isya’, baik jama’
taqdim maupun jama’ ta’khir.
8. Waktu Mubah bikarahah (waktu diperbolehkan
namun dimakruhkan) untuk shalat, yaitu ketika tampak jelas warna kuning sebelum
matahari terbenam.
Waktu makruh menurut madzhab Hanafi, ada 5
macam, yaitu; waktu terbitnya matahari, sebelum waktu terbit seukuran tidak ada
kesempatan untuk shalat, waktu istiwa’, waktu ghurub (terbenam)
matahari, dan sebelum waktu ghurub setelah pelaksanaan shalat Ashar. (Al-Fiqh
‘ala madzahib al-Arba’ah: 186-187)
Sedangkan yang khusus terkait dengan waktu
shalat subuh, Sayyid Abi Bakar ad-Dimyathi al-Mishri dalam kitabnya “I’anatut
Thaalibin, mengklasifikasikannya menjadi enam macam, yaitu: Waktu utama (afdhal),
waktu pilihan (ikhtiyar), waktu yang diperbolehkan tanpa dimakruhkan,
waktu yang diperbolehkan namun dimakruhkan, waktu yang diharamkan, dan waktu
dharurat. Dalam teks aselinya sebagai berikut:
وقت الصبح
لها ستة أوقات: وقت فضيلة أول الوقت، وقت إختيار يبقى إلى الإسفار، وقت
جواز بلا كراهية يبقى إلى طلوع الحمرة التى تظهر قبل الشمس، ووقت جواز
بكراهية إلى أن يبقى من الوقت ما يسعها، ووقت تحريم إلى أن يبقى من
الوقت مالا يسعها، ووقت ضرورة لمن زالت منه الموانع. (إعانة الطالبين الجزء الأول: 117)
Sementara madzhab Maliki membagi waktu shalat
subuh menjadi dua macam, yaitu; waktu Ikhtiyari (sejak terbit fajar
shadiq sampai waktu Isfar (waktu cerah sebelum terbitnya matahari),
dan waktu Dharurat, yaitu setelah waktu Isfar sampai terbitnya
matahari. (Al-Fiqh ‘ala madzahib al-Arba’ah: 185)
F. Beberapa Pertimbangan Dalam Penentuan Waktu Shalat
1. Waktu shalat dimulai setelah berakhirnya waktu
shalat sebelumnya;
لايخرج وقت صلاة حتى يدخل وقت أخرى. (رواه النسائي)
2. Pada prinsipnya tidak ada waktu vacum antara
satu shalat dengan shalat berikutnya, kecuali waktu subuh yang sudah ada
penjelasan tersendiri
-
لايفوت وقت صلاة حتى يدخل وقت الأخرى
(رواه أبو داود)
-
عَنْ أَبِي
قَتَادَةَ قَالَ.... قَالَ أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا
التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ
الصَّلَاةِ الْأُخْرَى فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ
لَهَا فَإِذَا كَانَ الْغَدُ فَلْيُصَلِّهَا عِنْدَ وَقْتِهَا....(رواه مسلم)
“Dari Abi Qatadah berkata...Rasulullah
saw. bersabda: "Tidaklah dikatakan mengakhirkan (meremehkan) shalat
karena ketiduran, hanya saja meremehkan
(shalat) itu bagi orang yang tidak menunaikan shalat hingga tiba waktu shalat
yang lain. Oleh kerena itu, siapa yang melakukan hal ini, hendaknya ia shalat
ketika sadar/terjaga.
Dan hendaknya esok hari ia melakukan tepat pada waktunya." (HR. Muslim)
Hal
ini juga dijelaskan oleh as-Shan’ani dalam kitab subulussalam sebagai
berikut:
فإنه دليل
على امتداد وقت كل صلاة إلى دخول وقت أخرى، إلا أنه مخصوص بالفجر فإن آخر وقتها
طلوع الشمس وليس بوقت اللتى تعدها. (الصنعانى: سبل السلام، 1: 195)
G. Waktu Shalat Subuh Perspektif Empat Imam
Madzhab:
Sebelum mengemukakan pendapat empat imam Madzhab terkait
pandangan dan pendapat mereka tentang waktu shalat subuh, terlebih dahulu dikemukakan
pandangan para ulama’ secara umum tentang persoalan tersebut.
Terkait permulaan dan akhir waktu shalat subuh, imam ibnu
Rusyd menjelaskan dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid-nya
sebagai berikut: Para ulama’ ahli fikih sepakat bahwa permulaan waktu shalat
subuh adalah ketika terbit fajar shadiq, sedangkan akhir waktuya adalah
terbitnya matahari. Kecuali riwayat ibnu Qasim dan beberapa ahli fikih
syafi’iyah yang menyimpulkan bahwa batas akhir waktu shalat subuh adalah sampai
tampaknya sinar sebelum matahari terbit (waktu isfar). Sedangkan terkait
dengan waktu pilihan (ikhtiyar) dari waktu subuh, terdapat beberapa
pendapat, yaitu: Ahli fikih Kufah, Abu Hanifah, as-Tsauri dan jumhur ulama’
Irak berpendapat bahwa melaksanakan shalat subuh ketika sinar sudah tampak itu
lebih bagus. Sedangkan imam Malik, syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Abu tsaur, dan
Dawud berpendapat bahwa melaksanakan shalat subuh ketika akhir malam (fajar
shadiq) adalah lebih bagus.
Peredaaan pendapat tersebut disebabkan karena perbedaan
dalam memahamai beberapa hadits berikut ini:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ. (رواه الترمذي والنسائي)
“Dari
Rafi' bin Khadij ia berkata; "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
"Shalatlah subuh ketika waktu mulai terang (pagi), karena itu
lebih banyak pahalanya." (HR.
at-Tirmidzi dan Nasa’i)
قَالَ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ
أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى مِيقَاتِهَا. (رواه البخاري ومسلم)
“Abdullah bin Mas'ud ra., berkata berkata:
"Aku bertanya kepada Rasulullah saw., aku katakan: "Wahai Rasulullah,
amal apakah yang paling utama?" Beliau
menjawab: "Shalat pada waktunya". (HR. al-Bukhari dan Muslim)
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ
فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ مَا يُعْرَفْنَ مِنْ
الْغَلَسِ. (رواه البخاري)
“Dari 'Aisyah ia
berkata, "Jika Rasulullah saw. melaksanakan shalat Shubuh, maka para wanita yang ikut berjama'ah
datang dengan menutup wajah mereka dengan tanpa diketahui oleh seorangpun
karena hari masih gelap." (HR. al-Bukhari)
Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya “Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuh” menjelaskan bahwa waktu shalat subuh dimulai
sejak terbit fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajar shadiq adalah
sinar putih yang terpancar cahayanya di ufuk, yang sebelumnya diawali dengan
kemunculan fajar kadzib, yaitu cahaya yang muncul kemudian disusul kembali
oleh kegelapan. Fajar shadiq sangat terkait dengan hukum-hukum agama, seperti dimulainya
waktu berpuasa (Ramadhan) dan dimulainya waktu subuh dan berakhirnya waktu
shalat isya’. (Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, halaman. 507-508) Hal
yang sama juga dijelaskan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya “Fikih Sunnah”,
beliau menjelaskan bahwa waktu shalat subuh dimulai sejak terbitnya Fajar
Shadiq dan berlangsung sampai terbitnya matahari (وقت صلاة الصبح يبتدئ الصبح من طلوع الفجر
الصادق ويستمر إلى طلو الشمس).
(Fikih Sunnah, juz 1, halaman: 72)
Sedangkan menurut pendapat empat imam madzhab sebagaimana
terdapat dalam beberapa kitab, dijelaskan sebagai berikut;
1. Pendapat imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafi):
Dalam kitab al-Mabsuth, dijelaskan
tentang pendapat imam (madzhab) Hanafi terkait dengan waktu subuh. Beliau berpendapat:
waktu shalat fajar (subuh) sejak terbit fajar hingga terbitnya matahari. Dalam
teks aselinya disebutkan:
قَالَ
(وَقْتُ صَلَاةِ الْفَجْرِ مِنْ حِينِ يَطْلُعُ الْفَجْرُ الْمُعْتَرِضُ فِي
الْأُفُقِ إلَى طُلُوعِ الشَّمْسِ) وَالْفَجْرُ فَجْرَانِ كَاذِبٌ تُسَمِّيهِ
الْعَرَبُ ذَنَبَ السِّرْحَانِ وَهُوَ الْبَيَاضُ الَّذِي يَبْدُو فِي السَّمَاءِ
طُولًا وَيَعْقُبُهُ ظَلَامٌ، وَالْفَجْرُ الصَّادِقُ وَهُوَ الْبَيَاضُ
الْمُنْتَشِرُ فِي الْأُفُقِ، فَبِطُلُوعِ الْفَجْرِ الْكَاذِبِ لَا يَدْخُلُ
وَقْتُ الصَّلَاةِ وَلَا يَحْرُمُ الْأَكْلُ عَلَى الصَّائِمِ مَا لَمْ يَطْلُعْ
الْفَجْرُ الصَّادِقُ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لَا
يَغُرَّنكُمْ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيلُ وَلَكِنْ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يَطْلُعَ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيرُ) يَعْنِي الْمُنْتَشِرُ فِي الْأُفُقِ.
Pendapat beliau ini didasarkan pada beberapa
hadis Nabi saw., antara lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلصَّلَاةِ
أَوَّلًا وَآخِرًا وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلَاةِ الظُّهْرِ حِينَ تَزُولُ
الشَّمْسُ وَآخِرَ وَقْتِهَا حِينَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ
صَلَاةِ الْعَصْرِ حِينَ يَدْخُلُ وَقْتُهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِينَ
تَصْفَرُّ الشَّمْسُ وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِينَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ
وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِينَ يَغِيبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ
الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِينَ يَغِيبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِينَ
يَنْتَصِفُ اللَّيْلُ وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِينَ يَطْلُعُ
الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ.(رواه الترمذي و أحمد)
“Dari Abu Hurairah ia berkata;
"Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya shalat mempunyai waktu awal
dan waktu akhir. Awal waktu shalat zhuhur adalah ketika matahari tergelincir
dan waktu akhirnya adalah ketika telah masuk waktu asar. Awal waktu shalat asar
adalah ketika telah masuk waktunya dan akhirnya adalah ketika matahari berwarna
kekuningan. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari terbenam dan waktu
akhirnya adalah ketika warna kemerahan telah menghilang. Awal waktu isya adalah
ketika warna merah telah menghilang dan waktu akhirnya adalah pertengahan
malam. Dan awal shalat subuh adalah ketika terbit fajar, dan akhir
waktunya adalah ketika matahari terbit." (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad)
عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْفَجْرِ
قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَهَا. (رواه النسائي)
“Dari Aisyah ra. dari Nabi saw., beliau
bersabda: "Barang siapa mendapatkan satu rakaat shalat Subuh sebelum
matahari terbit, dia telah mendapatkan shalat subuh.” (HR. an-Nasa’i)
أَخْبَرَنِي
نَافِعُ بْنُ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَمَّنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ
السَّلَام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ فَصَلَّى الظُّهْرَ فِي الْأُولَى
مِنْهُمَا حِينَ كَانَ الْفَيْءُ مِثْلَ الشِّرَاكِ ثُمَّ صَلَّى الْعَصْرَ حِينَ
كَانَ كُلُّ شَيْءٍ مِثْلَ ظِلِّهِ ثُمَّ صَلَّى الْمَغْرِبَ حِينَ وَجَبَتْ
الشَّمْسُ وَأَفْطَرَ الصَّائِمُ ثُمَّ صَلَّى الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ ثُمَّ
صَلَّى الْفَجْرَ حِينَ بَرَقَ الْفَجْرُ وَحَرُمَ الطَّعَامُ عَلَى الصَّائِمِ
وَصَلَّى الْمَرَّةَ الثَّانِيَةَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ
مِثْلَهُ لِوَقْتِ الْعَصْرِ بِالْأَمْسِ ثُمَّ صَلَّى الْعَصْرَ حِينَ كَانَ
ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ ثُمَّ صَلَّى الْمَغْرِبَ لِوَقْتِهِ الْأَوَّلِ ثُمَّ
صَلَّى الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى
الصُّبْحَ حِينَ أَسْفَرَتْ الْأَرْضُ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ جِبْرِيلُ
فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ
فِيمَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ. (رواه الترمذي وأحمد)
“Telah mengabarkan kepadaku Nafi' bin Jubair
bin Muth'im berkata; telah mengabarkan kepadaku Ibnu Abbas bahwa Nabi saw.
bersabda: "Jibril 'as. pernah mengimamiku di sisi Ka'bah dua kali. Pertama
kali, ia shalat zhuhur ketika bayang-bayang seperti tali sandal. Kemudian ia
shalat asar ketika bayangan sesuatu seperti benda aslinya. Kemudian shalat
maghrib ketika matahari terbenam dan orang-orang yang berpuasa berbuka.
Kemudian shalat isya ketika warna merah di langit hilang. Setelah itu ia
shalat subuh ketika fajar terbit dan makanan menjadi haram bagi orang yang
berpuasa. Pada kali kedua, ia shalat zhuhur bayangan sesuatu
sebagaimana aslinya, persis untuk waktu shalat asar kemarin. Lalu ia shalat
asar ketika bayangan setiap sesuatu dua kali dari benda aslinya. Kemudian ia
shalat maghrib sebagaimana waktu yang lalu, lalu shalat isya yang akhir ketika
telah berlalu sepertiga waktu malam. Kemudian shalat subuh ketika
matahari telah merekah menyinari bumi. Setelah itu Jibril menoleh ke
arahku seraya berkata; "Wahai Muhammad, ini adalah waktu para Nabi
sebelummu, dan waktu shalat adalah antara kedua waktu ini." (Tirmidzi dan Ahmad)
Dalam kitab “Syarah Ma’ani al-Atsar”
dan kitab “Maraqi al-Falah” juga dijelaskan bahwa waktu shalat
subuh dimulai sejak terbit fajar shadiq sampai menjelang terbitnya matahari (وقت الصبح من طلوع الفجر إلى قبيل طلوع الشمس الصادق). Hal ini didasarkan pada
beberapa hadis Nabi saw., yang menjelaskan tentang persoalan tersebut.
2. Pendapat Imam Malik (Madzhab Maliki):
Dalam kitab Mawahib al -Jalil fi Syarhi Mukhtashar Syaikh Khalil, dijelaskan bahwa shalat fajar (shalat subuh)
wajib dilaksanakan sejak terbit fajar yang kedua, yaitu waktu dimulainya siang.
Dan sesunggunya waktu tersebut diharamkan makan dan minum bagi orang yang
berpuasa. Dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa awal waktu shalat subuh sejak
terbit fajar shadiq (fajar mustathir), yaitu cahaya yang terbentang di
ufuk.
Dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahli al-Madinah
juga disebutkan, bahwa awal waktu shalat subuh apabila terbit fajar shadiq
di ufuk timur, yaitu awal munculnya cahaya putih pertanda waktu siang (pagi
hari) kemudian berlanjut sampai tibanya waktu Isfar (sinar terang sebelum
matahari muncul). Jika waktu Isfar tiba, maka habislah waktu ikhtiyar
dan tidak menundanya bagi orang yang tidak ada uzur sampai terbitnya matahari
3.
Pendapat Imam Syafi’i (Madzhab Syafi’i):
Dalam kitab al-Umm dijelaskan
bahwa; apabila fajar yang terakhir (fajar shadiq) sudah terlihat jelas,
maka sah untuk melaksanakan shalat subuh, dan barangsiapa yang shalat subuh sebelum
terlihat jelas fajar akhir (fajar shadiq), maka hendaknya seseorang
mengulangi shalatnya saat pertama kali ia yakin terpancarnya sinar fajar
shadiq. (Al-Umm: 93). Imam Syafi’i mendasarkan pendapatnya tersebut sebagaimana
matan hadis yang terdapat pada nomor 4 dan 5 di atas. Dengan demikian sangat
jelas sekali bahwa pendapat beliau tentang awal waktu shalat subuh dimulai
sejak terbit fajar dan berakhir hingga menjelang terbitnya matahari,
sebagaimana pendapat mayoritas ahli fikih lainnya.
Pendapat senada juga banyak dikemukakan oleh
ulama’-ulama’ Syafi’iyah, sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab kuning yang
dikaji di pesantren tradisional, antara lain:
a. I’anatut Thalibin juz 1., disebutkan: Waktu subuh dimulai sejak terbit fajar
shadiq sampai terbit matahari. (halaman: 117)
b. Kifayatul Akhyar, disebutkan: Shalat subuh awal waktunya sejak terbit
fajar dan akhir waktu ikhtiyar sampai tibanya waktu Isfar –
berdasarkan hadis Jibril as., dan kebolehannya (waktu jawaz) sampai
terbit matahari berdasarkan hadis riwayat Muslim (man adraka minas subhi
rak’atan qabla an tathlu’as syamsu faqad adrakas subha). Sedangkan fajar
pertama (fajar khadzib), maka tidak boleh melaksanakan shalat subuh. Dan
ketahuilah bahwasanya kebolehan tanpa kemakruhan terjadi sampai munculnya sinar
kemerah-merahan, dan waktu boleh dengan kemakruhan (jawaz bikarahah)
sampai terbitnya matahari apabila tidak ada uzur. (halaman: 83)
c. Al-Muhadzzab fi fiqhi al Imam as-Syafi’i,: Waktu shalat subuh tiba apabila terbit
fajar kedua yaitu fajar shadiq tiba, yaitu waktu diharamkannya makan dan
minum bagi orang yang berpuasa, dan akhir waktunya ketika waktu Isfar
(cahaya terang sesaat sebelum matahari terbit), sesuai dengan hadis Jibril as.,
bahwa ia shalat subuh bersama Nabi ketika terbit fajar shadiq dan juga
shalat subuh pada waktu Isfar, lalu ia berkata; inilah waktumu dan waktu
para Nabi sebelummu. (halaman: 52-53)
4.
Pendapat Madzhab Hambali:
Ibnu Quddamah dalam kitab al-Mughni-nya
menjelaskan tentang pendapat madzhab Hambali terkait dengan waktu subuh. Beliau
mengatakan; Apabila telah terbit fajar yang kedua, wajib untuk melaksanakan
shalat subuh, dan waktunya berakhir sampai menjelang terbitnya matahari.
Barangsiapa yang menjumpai satu rakaat sebelum matahari terbit berarti ia telah
mendapatkan shalat subuh. Kebolehan tersebut jika dalam keadaan dharurat.
Bahkan secara tegas beliau mengatakan bahwa waktu subuh itu masuk sejak
terbitnya fajar kedua (fajar shadiq) secara ijma’. Dikarenakan
terdapatnya banyak dalil yang menjelaskan tentang waktu-waktu shalat (khususnya
waktu subuh) yaitu sinar putih yang terpancar di ufuk yang disebut dengan fajar
shadiq, karena ia memberikan kepastian (kebenaran) tentang tibanya waktu
subuh, sedangkan fajar yang pertama tidak terkait dengan hukum yang disebut
dengan fajar kadzib. Kemudian waktu ikhtiyar berakhir hingga
tibanya waktu isfar (sinar terang sesaat sebelum terbitnya matahari)
sesuai dengan hadis Jibril dan Buraidah, sedangkan waktu setelahnya disebut
dengan waktu uzur dan dharurat sampai terbitnya matahari, sesuai dengan hadis
Abdullah bin Amr: “Wa waqtul fajri ma lam tathlu’is syamsu (dan waktu
subuh selama belum terbit matahari)”, sebagaimana yang tercantum pada hadis nomor
1 di atas.
Sedangkan di dalam kitab ‘Umdah al Fiqh
juga dijelaskan bahwa waktu shalat subuh dimulai sejak terbit fajar kedua (fajar
shadiq) hingga berakhir sampai terbitnya matahari. Namun shalat di awal
waktu tetap lebih afdhal, kecuali shalat isya’ afdhal di tengah malam dan
ketika cuaca sangat panas di waktu dzuhur. Begitu pula halnya dalam kitab Kasyful
Qina’ ‘An Matnil Iqna’ - kitab yang banyak dikaji di kalangan madzhab
hambali - dijelaskan hal yang sama bahwa waktu shalat subuh dimulai saat terbit
fajar hingga terbit matahari. Hanya saja dalam kitab ini dijelaskan bahwa khusus
waktu sahalat subuh tidak ada waktu dharurat. Al-Qadhi, Ibnu Aqil dan
Ibnu Abdus menjelaskan, bahwa waktu ikhtiyar berakhir hingga tibanya
waktu Isfar dan tersisa waktu idrak hingga terbitnya matahari.
Namun dalam kitab ini digaris bawahi bahwa menyegerakan shalat di awal waktu
lebih afdhal (termasuk shalat subuh) berdasarkan hadis Aisyah tentang wanita
muslimah yang mengikuti shalat Nabi saw., sebagaimana yang diriwatkan oleh imam
al-Bukhari dan Muslim. Hal yang sama juga dijelaskan dalam kitab al-Fiqh
‘ala Madzahib al-Arba’ah, halaman 188, bahwa: waktu shalat subuh yang
paling utama dikerjakan di awal waktu (fajar shadiq) dalam berbagai
keadaan.
H. Kesimpulan
Dari penjelasan para ulama’ fikih (Fukaha’), khususnya di
kalangan empat imam madzhab terkait dengan permulaan waktu shalat subuh, dapat
disimpulkan bahwa; para ulama’ sepakat tentang permulaan waktu shalat subuh yaitu
sejak terbit fajar shadiq sampai menjelang terbitnya matahari (waktu Isfar).
Hal ini didasarkan pada banyak hadis Nabi saw., yang menjelaskan tentang
persoalan tersebut. Sedangkan terkait dengan pendapat madzhab Hanafi yang
menyatakan bahwa waktu shalat subuh yang utama (afdhal) pada saat pagi atau
sinar matahari mulai tampak, dengan berargumen pada hadis rafi’ bin Hadij,
telah dijelaskan oleh para ulama maksud dari hadis tersebut, antara lain
sebagai berikut:
Sayyid sabiq dalam fikih sunnah-nya menjelaskan;
bahwa hadis Rafi’ bin Hadij yang memerintahkan untuk shalat subuh pada waktu
pagi (Asbihu/Asfiru bis subhi fainnahu a’zhamu liujuriku),
maksdunya adalah shalat subuh sejak terbit fajar sampai tibanya waktu Isfar.
Jadi waktu Isfar itu merupakan batas akhir bukan untuk memulai shalat
subuh. Maksudnya adalah; perpanjanglah bacaan (surat) sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah saw dengan membaca 60 sampai 100 ayat. (Fikih Sunnah,
halaman. 72-73)
Terlebih lagi ditemukan banyak hadis yang menjelaskan
tentang keutamaan shalat di awal waktu, termasuk shalat subuh. Bahkan hadis
Raf’ bin hudaij tersebut dapat ditemukan penjelasannya dalam hadis lain
sebagaimana hadis yang terdapat pada nomor 4, 5, 6, 8, dan 9 di atas, serta
hadis riwayat Abu Dawud sebagai berikut:
عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ الأَنْصَارِي أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الصُّبْحَ مَرَّةً بِغَلَسٍ
ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ كَانَتْ صَلَاتُهُ بَعْدَ
ذَلِكَ التَّغْلِيسَ حَتَّى مَاتَ وَلَمْ يَعُدْ إِلَى أَنْ يُسْفِرَ. (رواه أبو داود والبيهقي)
“Dari Abi Mas’ud al-Anshari,
bahwasanya Rasulullah saw. shalat Shubuh terkadang ketika waktu masih gelap dan
pada kesempatan yang lain ketika cahaya telah terang. Setelah itu shalatnya
adalah pada saat taglis (waktu masih gelap) hingga beliau wafat dan tidak
pernah mengulangi shalat Shubuh hingga cahaya telah terang.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Dalam kitab Kasyful Qina’ ‘An Matnil Iqna’
juga dijelaskan bahwa; hadis tersebut di atas sangat memadai untuk menjelaskan
hadis Rafi’ bin Hadaij. Hadis Abi Mas’ud sanadnya shahih dan tsiqah, dan
ziyadah min as-Tsiqah maqbulah. Ibnu Abdil Bar menyatakan bahwa terdapat
hadis shahih yang menjelaskan bahwa Nabi saw., Abu Bakar, Umar dan ustman
melaksanakan shalat subuh saat masih gelap (waktu taghlis).
Ahli fikih yang berpendirian bahwa hadis
riwayat Rafi’ di atas adalah khusus dan pernyataan Nabi mengenai salat subuh
pada permulaan waktu itu adalah umum, sedang menurut ketentuan yang populer
bahwa sesuatu yang khusus itu mengalahkan yang umum. Dengan demikian, hadis
Aisyah difahami sebagai “boleh”. Hadis Aisyah itu tidak berarti Nabi selalu
mengerjakan seperti itu. Maka, kelompok ini mengambil kesimpulan bahwa tatkala
terbit sinar Subuh itu lebih afdal dibanding ketika masih gelap untuk
melaksanakan shalat subuh.
Ahli fikih yang lebih menekankan kuatnya
hadits umum karena dikuatkan hadis Aisyah atau lantaran secara tegas menyatakan
seperti itu, atau secara lahiriyah menyatakan demikian. Sedangkan di dalam
hadits rafi’ bin Khadij masih ada kemungkinan yang banyak. Dengan demikian,
antara hadits Rafi’ dan Aisyah termasuk hadits yang umum tidak terdapat
pertentangan. Karenanya, secara tegas kelompook ini berkesimpulan bahwa
sebaiknya menjalankan shalat subuh di permulaan waktu. Kelompok ahli fikih yang
berpendirian akhir waktu subuh adalah sesudah terbit sinar subuh (isfar)
mereka ini melakukan takwil terhadap semua hadis yang membicarakan akhir waktu
subuh. Kata mereka bahwa hadis tersebut hanya diberlakukan untuk orang-orang
yang dalam keadaan darurat. Hadits yang dimaksud adalah:
من أدرك ركعة من الصبح قبل أن تطلع الشمس فقد أدرك الصبح
(رواه مالك و أبو داود)
Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani dalam
kitabnya “Shalah al-Mu’min” menjelaskan bahwa waktu shalat subuh yang
paling utama adalah sejak terbit fajar shadiq, yaitu fajar kedua sampai
berakhirnya gelap malam. Didasarkan pada hadis Abdullah bin ‘Amr di atas (hadis
nomor: 1). Sedangkan hadis yang memerintahkan shalat subuh ketika pagi telah
tiba sebagaimana hadis no. 9 dan 10 di atas, maksudnya adalah; janganlah kalian
tergesa-gesa untuk mengerjakan shalat subuh sampai tampak jelas waktu subuh
sehingga tidak ada kebimbangan dalam shalat. (Ensiklopedi Shalat menurut
al-Qur’an dan as-Sunnah, halaman: 220)
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an dan terjemahannya, Saudi
Arabia Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’ Al Mushaf, ,1990
Al-Bukhari, imam, Al-Jami’ as-Shahih li al-Bukhari
(dalam Zaid bin Shabri bin Abi Ulfah, al-Kutub as-Sittah), Maktabah
ar-Rasyid-Riyadh, cetakan pertama 2005
Dawud, imam Abu, Sunan Abu Dawud, (dalam Zaid bin
Shabri bin Abi Ulfah, al-Kutub as-Sittah), Maktabah ar-Rasyid-Riyadh, cetakan
pertama, 2005
Ad-Dimsyiqi as-Syafi’i, Imam Taqiyuddin Abi
Bakr Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Juz 1. Tanpa keterangan
penerbit dan tahun
Al-Hajjaj, Muslim bin, Shahih Muslim, Daar al
Ma’arif, Beirut-Libanon, 676 H
Al-jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Madzahib
al-Arba’ah, Qism al-Ibadah, Juz. 1, al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra-Mesir
Munawwir, Ahmad Warson, Al Munawwir
Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progressif, t.t.
Al-Mishri, Sayyid Abi Bakr ad-Dimyathi, I’anatut
Thalibin, Juz. 1, Daar al-Kutub al-‘Arabiyah, tanpa keterangan tahun
An-Nasa’i, imam, Sunan an-Nasa’i, (dalam Zaid bin
Shabri bin Abi Ulfah, al-Kutub as-Sittah), Maktabah ar-Rasyid-Riyadh, cetakan
pertama 2005
Al-Qahthani, Sa’id bin Ali bin Wahf, Ensiklopedi
Shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, jilid. 1. (Judul asli: Shalah
al-Mu’min, pent. M. Abdul Ghaffar, EM), penerbit Pustaka Imam Syafi’i,
cetakan ketiga, Desember 2009.
Al-Qurthubi, Imam Qadhi Abi al-Walid
al-Andalusi (Ibnu Rusyd), Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid Juz. 1, Daar ‘Aqidah, tahun 1425 H/2004M.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Juz. 1,
Daar al-fath Lil I’lam al-“Arabi, Kairo-Mesir, tahun 1990
As-Shan’ani, Imam Muhammad bin Ismail al-Amir
al-Yamani, Subuluussalam Syarah Bulughul Maram Min Jam’i Adillatil Ahkam
Juz. 1, (Tahqiq Muhammad Abdul Qadir ‘Atha’), penerbit. Dar al-Fikr lil
at-Thaba’ah wan Nasyr wat tauzi’-Beiritu-Libanon, 1419 H/1999M.
As-Syafi’i, Imam Abi Abdillah Muhamad bin
Idris, Al-Umm, Juz. 1, Daar al-Fikr, Beirut-Libanon, tanpa tahun.
As-Syirazi, al-Imam Abi Ishaq Ibrahim bin Ali
bin Yusuf al-Fairuz Abadi, Al-Muhadzadzab fi Fiqhi al Imam as-Syafi’i, Juz.
1, Maktabah wa Mathba’ah Putera Semarang
At-Tirmidzi, imam, Sunan at-Tirmidzi, (dalam Zaid
bin Shabri bin Abi Ulfah, al-Kutub as-Sittah), Maktabah ar-Rasyid-Riyadh,
cetakan pertama 2005
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-islami wa
Adillatu Juz 1, Daar
al-Fikr-Libanon, tahun 1409 H/1989 M.
Sumber
software, E-Book dan on-Line:
Kasyful Qina’ ‘An Matnil Iqna’
Al-Kafi fi Fiqhi Ahli al-Madinah
Lidwa Pusaka
Al-Mabsuth
Maraqi al-Falah
Al-Maktabah as-Syamilah
Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Syaikh Khalil
Al-Mughni Li Ibni Qudamah
‘Umdah al-Fiqh
Syarah Ma’ani al-Atsar
[1] - Anggota Majelis
Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan dosen Pendidikan Ulama’
Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
-
Makalah disampaikan pada Halaqah Nasional Ahli Hisab dan Fikih: Kajian ulang
atas waktu subuh dan tindak lanjut konsep kalender Islam Global Tunggal, 17-18
Dzulqa’dah 1437 H/20-21 Agustus 2016.
Leave a Comment