Kisah-kisah dalam Al-Qur’an: Mengungkap Aspek Psikologis dan Nilai-Nilai Pendidikan Islam
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah firman Allah swt. yang memiliki berbagai
keistimewaan dalam segala aspeknya. Keagungan al-Qur’an dalam berbagai aspek
tentu tidak bisa dilepaskan dari sumbernya yang maha agung, yaitu Allah swt. karena
itu, otentitas dan validitasnya sebagai firman Allah swt. tidak terbantahkan
oleh siapapun juga. Keotentikan dan validitas al-Qur’an sebagai firman Allah
swt. tersirat dalam definisi yang dikemukakan oleh para ulama:
القرآن
هو: كلام الله المعجز، المنـزل على خاتم الأنبياء والمرسلين، بواسطة الأمين جبريل
عليه السلام المكتوب فى المصاحف، المنقول إلينا بالتواتر، المتعبد بتلاوته،
المبدوء بسورة الفاتحة المختتم بسورة الناس.[1]
“Al-Qur’an adalah: Firman Allah swt yang bernilai mukjizat yang
diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul (Muhammad saw) lewat perantaraan
malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf, disampaikan kepada kita secara
mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surat al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat an-Nas”.
Seluruh aspek
dalam al-Qur’an mengandung nilai-nilai pendidikan yang bersifat komprehensif.
Proses turunnya yang berangsur-angsur (at-tadarruj fi al-tasyri’),
sumpah dalam al-Qur’an (aqsam al-Qur’an), huruf al-muqattha’ah,
perumpamaan-perumpamaan dalam al-Qur’an (al-Amtsal fi al-qur’an), hingga
cerita tentang ummat-umat terdahulu baik secara individual maupun kolektif
sangat kaya dengan pesan-pesan dan nilai pendidikan.
Ayat-ayat al-Qur’an
yang mengajak umat manusia untuk melihat dan memikirkan keadaan umat terdahulu
baik yang patut dicontoh seperti kisah para Nabi dan orang-orang saleh seperti
Lukman al-Hakim, maupun manusia dan ummat yang tidak patut diteladani karena kedurhakaannya
seperti Qarun, kaum ‘Ad, Tsamud dan lain sebagainya. Hal ini sekaligus mengandung adanya kesadaran ontologis,
kesadaran efistemologis, dan kesadaran aksiologis. Sehingga lewat perenungan
dan memikirkan plus-minus mereka, manusia dapat memahami siapa dirinya, siapa
sumber kebenaran mutlak, bagaimana cara mendapatkan ilmu pengetahuan dan untuk
apa ilmunya dimanfaatkan.[2]
Dalam
al-Qur’an, masa lalu yang dilalui oleh seseorang maupun pihak lain bukanlah hal
yang sepatutnya untuk dilupakan, namun masa lalu harus diperhatikan dalam
rangka menapaki masa depan. Isyarat tentang pentingnya menengok masa lalu telah
ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 18 sebagai berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ
لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (الحشر: 18)
“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” )QS. Al-Hasyr: 18)[3]
Karena kisah masa lalu
seseorang maupun suatu komunitas sangat penting untuk direnungkan, maka Allah
swt. banyak menceritakan umat-umat terdahulu baik secara individu maupun
kolektif, baik yang posistif maupun negatif agar dapat diambil pelajaran
darinya. Allah swt. berfirman:
لَقَدْ
كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا
يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ
وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (يوسف: 111)
“Sesungguhnya pada
kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.
Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab)
yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat
bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf: 111)[4]
Bahkan menurut para ahli pendidikan, salah satu metode
pendidikan dalam al-Qur’an adalah dengan metode kisah atau cerita. Kisah dalam
al-Qur’an pada khususnya selalu memikat karena mengundang para pembacanya untuk
mengikuti peristiwanya, merenugkan maknanya sehingga menimbulkan kesan yang
menyentuh dalam hati, karena menampilkan tokoh-tokoh dalam konteks yang
menyeluruh bahkan tidak segan-segan menceritakan kelemahan manusiawi yang
digambarkan apa adanya tanpa menonjolkan segi-segi yang mengundang tepuk tangan
dan rangsangan.[5]
Pada sisi
lain, al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang pertama. Karena itu, dalam
al-Qur’an selain memuat ajaran berupa akidah (keyakinan), ibadah, akhlak, aspek
mu’amalah, juga berisi kisah-kisah terutama tentang para nabi dan umat sebelum
nabi Muhammad saw.[6]
Bahkan untuk mengetahui berbagai macam cerita dan hikmahnya dalam al-Qur’an,
maka hal tersebut dapat diketahui melalui salah satu cabang ulum al-Qur’an,
yaitu ilmu Qashash al-Qur’an.[7]
Dalam makalah
ini penulis menguraikan tentang kisah dalam al-Qur’an yang meliputi;
pengertian, macam-macam kisah dalam al-Qur’an, karakteristik, tujuan kisah
dalam al-Qur’an, dan nilai pendidikan serta makna psikologis kisah dalam
al-Qur’an.
B. Pengertian Qashash
Dalam Al-Qur’an
Kata Qashash merupakan bentuk jamak dari kata qishshah,
yang berarti mengikuti jejak, pengulangan kembali masa lalu, cerita, hikayat atau riwayat.[8]
Dalam al-Qur’an , disebutkan kata kisah dengan berbagai padanannya sebanyak 26
kali, salah satunya disebutkan dalam surat al-Kahfi ayat 64, sebagai berikut:
قَالَ ذَلِكَ
مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آَثَارِهِمَا قَصَصًا (الكهف: 64)
“(lalu Musa) berkata;
itulah tempat yang kita cari, lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka
semula.” (QS.al-Kahfi: 64)[9]
Secara terminologis, Manna’ al-Qatthan memberikan
definisi sebagai berikut:
قصص القرآن هو: إخبار عن أحوال الأمم الماضية، والنبوات
السابقة، والحوادث الواقعة – وقد اشتمل القرآن على كثير من وقائع الماضى، وتاريخ
الأمم، وذكر البلاد والديار. وتتبع آثار كل قوم، وحكى عنهم صورة ناطقة لما كانوا
عليه.[10]
“Qashash
al-Qur’an adalah; sebuah informasi (cerita) tentang keadaan umat-umat
terdahulu, para nabi, kejadian dan peristiwa – dan al-Qur’an mencakup (cerita)
tentang kebanyakan kejadian masa lalu, serta sejarah para umat dengan
penyebutan negeri dan lokasi-lokasi dan penegasan terhadap peninggalan setiap
kaum dengan cerita yang sangat komunikatif.”
Kisah-kisah dalam
al-Qur’an disamping menceritakan tentang kisah yang telah terjadi, al-Qur’an
juga bercerita tentang kisah yang sedang terjadi pada masa nabi, dan kisah yang
akan terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an sangat luar biasa dan menjadi
salah satu nilai kemukjizatannya.[11]
Dengan demikian, yang dimaksud dengan qashash di sini adalah cerita atau kisah
dalam al-Qur’an yang menceritakan hal-ihwal umat-umat terdahulu , kisah para
Nabi, peristiwa yang telah terjadi, yang sedang terjadi dan yang akan terjadi.[12]
C. Macam-Macam Kisah Dalam
Al-Qur’an
Kisah-kisah dalam al-Qur’an (Qashash fi al-Qur’an)
secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu kisah
ditinjau dari segi waktu dan kisah ditinjau dari materinya. Ditinjau dari segi
waktunya, kisah dalam al-Qur’an terbagi menjadi tiga macam, yaitu: Pertama:
Kisah masa lampau (al-Qashash al-ghuyub al-madhiyah),[13] seperti
kisah tentang para nabi sebelumnya, kisah maryam, Ashabul Kahfi dan lain
sebagainya. Kisah tentang kejadian masa lampau ini dijelaskan dalam surat Hud
ayat. 49, sebagai berikut:
تِلْكَ
مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهَا إِلَيْكَ مَا كُنْتَ تَعْلَمُهَا أَنْتَ وَلَا
قَوْمُكَ مِنْ قَبْلِ هَذَا فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ (هود:
49)
“Itu adalah di antara
berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum
ini. Maka bersabarlah sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang yang
bertakwa.” (QS. Hud: 49)[14]
Kedua: Kisah masa kini (al-Qashash al-ghuyub al-hadhirah),[15] yaitu
kisah yang terjadi pada masa Rasulullah saw., seperti perang uhud, ahzab dan
lainnya. Salah satu kisahnya dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 204-205):
مِنَ
النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ
عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ (*) وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي
الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللَّهُ لَا
يُحِبُّ الْفَسَادَ (البقرة: 204-205)
“Dan diantara manusia ada
orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan
dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah
penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan
di muka bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman
dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusaan.” (QS al-Baqarah: 204-205)[16]
Ketiga: Kisah masa datang (al-Qashash al-ghuyub al-mustaqbalah),[17]
seperti kisah tentang akan kekalahan bagsa Romawi sebagaimana digambarkan dalam
al-Qur’an surat ar-Rum ayat. 2-6 berikut:
غُلِبَتِ
الرُّومُ (2) فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ
(3) فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ
يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ (4) بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ
الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ (5) وَعْدَ اللَّهِ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (6)
“Telah dikalahkan bangsa
romawi, di negeri yang terdekat dan mereka setelah dikalahkan itu akan menang.
Dalam beberapa tahun (lagi), bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka
menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang
yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Dialah yang maha perkasa lagi maha penyayang, (sebagai)
janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 2-6)[18]
Sedangkan
ditinjau dari materinya, kisah al-Qur’an juga terbagai menjadi tiga, yaitu; kisah para nabi sebelum Nabi Muhammad saw.,
kisah umat terdahulu yang bukan nabi, dan kisah yang terjadi pada masa
Rasulullah saw.[19]
Terkait dengan pembahasan dalam makalah ini, pembagian difokuskan pada
pembagian kisah dari aspek materinya.
1. Kisah Para Nabi Sebelum
Nabi Muhammad saw.
Kisah ini mengandung iformasi tentang kisah para nabi dan rasul terdahulu
beserta umatnya, baik terkait dengan fase dakwah dan perkembangannya, mukjizat-mukjizat
yang dimilikinya, sikap orang yang menentangnya, serta akibat yang diperoleh bagi orang-orang yang menerima dan mendustakan dakwah dan kerasulan
mereka. Kisah-kisah tersebut disebutkan dalam al-Qur’an dengan begitu detail
dan gamblang, yang mengisyaratkan tentang pentingnya bagi umat berikutnya untuk
mengetahui kisah perjalanan hidup dan perjuangan para nabi tersebut.
Jika dikaji secara seksama, dalam al-Qur’an menceritakan tentang para nabi
(25 nabi dan rasul) sejak Nabi Adam as., hingga Nabi Muhammad saw. Misalnya;
Nabi Adam as dikisahkan dalam surat al-Baqarah: 31-37, surat Ali-Imran; 33 dan
59, surat al-Ma’idah; 27, surat al-A’raf; 11, 19, 26, 27, 31, 35 dan 127, surat
al-Isra’; 61-70, surat al-Kahfi; 50, surat Maryam; 58, dan surat Thaha;
115-121. Kisah Nabi Idris as diceritakan dalam beberapa surat antara lain dalam
surat Maryam; 56 dan surat al-Anbiya’; 85. Kisah nabi Nuh diceritakan dalam
surat an-Nisa’; 163, al-A’raf; 59-69, at-Taubah; 70, Yunus; 71, Ibrahim; 9,
al-Anbiya’; 76 dan lain sebagainya.[20]
2. Kisah Umat Terdahulu yang
Bukan Nabi
Dalam al-Qur’an juga banyak diceritakan tentang kisah umat terdahulu baik
secara individual maupun secara kolektif, baik yang patut diteladani maupun
yang tidak patut untuk diteladani. Secara personal, al-Qur’an bercerita tentang
kisah Maryam, Lukman al-Hakim, Ashabul Kahfi, juga bercerita tentang kisah Qarun,
Fir’aun, kaum ‘Ad, Tsamud, dan lain sebagainya.
Contoh kisah-kisah teladan diceritakan oleh al-Qur’an dalam beberapa surat,
antara lain: Kisah Maryam dalam surat Ali-Imran: 36, 45, an-Nisa’: 156 dan 171,
al-Ma’idah: 17, 110, surat Maryam: 16 dan 27, surat al-Mukminun: 50 dan surat
at-Tahrim: 12. Kisah Ashabul Kahfi diceritakan dalam surat al-Kahfi ayat: 9-27.
Sedangkan kisah-kisah yang tidak patut untuk diteladani anatara lain: Kisah
Fir’aun diceritakan dalam surat al-Baqarah: 49-50, Ali Imrab: 11, al-A’raf:
103-141, al-Anfal: 52-54. Kisah Qarun diceritakan dalam surat al-Qashash:
76-79, al-Ankabut: 39, Ghafir: 24, dan masih banyak lagi kisah-kisah lainnya.
3. Kisah yang Terjadi Pada
Masa Rasulullah saw.
Dalam al-Qur’an juga dikisahkan tentang peristiwa yang terjadi pada masa
Rasulullah saw., baik sebelum beliau diutus menjadi nabi dan rasul maupun pasca
beliau diutus sebagai nabi dan rasul. Kisah yang terjadi pada masa Rasulullah
saw. seperti; kisah perang Badar, perang Uhud, perang Ahdzab, peristiwa hijrah
beliau dari Mkkah ke Madinah, serta peristiwa isra’ dan mi’raj beliau.[21]
D. Karakteristik Kisah Dalam
Al-Qur’an
Sebagai produk wahyu,
kisah-kisah dalam al-Qur’an berbeda dengan kisah-kisah atau dongen hasil kreasi
manusia. Kisah-kisah dalam al-Qur’an memiliki karakteristik yang sangat berbeda
dengan kisah-kisah maupun cerita pada umumnya. Sebab kisah-kisah yang
diceritakan dalam al-Qur’an merupakan kisah faktual yang memiliki nilai dan
maksud tertentu serta memiliki nilai wahyu karena diceritakan langsung oleh
Allah swt. Dalam surat Yusuf disebutkan:
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ
أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْآَنَ وَإِنْ كُنْتَ
مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ (يوسف:3)
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan
al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya
adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (QS. Yusuf:
3)[22]
Ayat ini memberikan
gambaran bahwa kisah dalam al-Qur’an memiliki keunggulan dan karakteristik yang
paling ideal dibandingkan dengan kisah-kisah atau cerita-cerita secara umum.
Adapun karakteristik dan keistimewaan kisah dalam al-Qur’an, antara lain:
1. Kisah al-Qur’an Merupakan
Kisah Nyata yang Benar-Benar Terjadi
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan
peristiwa yang benar-benar terjadi dan bukan dongeng atau cerita fiksi. Hal ini
dijelaskan dalam surat Yusuf:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ
عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ
الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ
يُؤْمِنُونَ (يوسف: 111)
“Sesungguhnya pada
kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf:
111)[23]
Karena itu, sekalipun kisah yang
diceritakan oleh al-Qur’an telah terjadi berabad-abad yang lalu, namun
al-Qur’an memberikan kisah yang tepat. Misalnya al-Qur’an menceritakan tentang
kisah kaum ‘Ad dan Tsamud serta kehancuran kota Irom (QS. Al-Haqqah: 4-7, QS.
Al-Fajr: 6-9) dimana pada tahun 1980 ditemukan bukti sejarah secara arkeologi
di kawasan Hisn al-Ghurab dekat kota Aden di Yaman tentang adanya kota
yang dinamakan “Shamutu”, ‘Ad dan Irom. Begitu pula tentang kisah
tenggelam dan diselamatkannya jasad Fir’aun (QS. Yunus: 90-92), dimana pada
bulan juni 1975, ahli bedah Prancis Maurice Bucaille setelah meneliti mumi
Fir’aun diketemukan bukti bahwa Fir’aun meninggal di laut dengan ditemukannya
bekas-bekas garam yang memenuhi sekujur tubuhnya.[24]
2. Kisah al-Qur’an Sejalan Dengan
Kehidupan Manusia
Meskipun al-Qur’an merupakan firman Allah swt. kisah-kisah yang disampaikan
tidak lepas dari kehidupan manusia. Karena itu, manusia dengan cepat mampu
memahami isyarat samawi tersebut. Muhammad Syahrur menguatkan, bahwa
kisah-kisah al-Qur’an memberikan pemahaman kepada manusia akan adanya suatu
garis kehidupan yang tumbuh dalam peradaban manusia sejak awal kehidupan hingga
saat ini.[25]
3. Kisah al-Qur’an Tidak
Sama Dengan Ilmu Sejarah
Berbeda dengan buku sejarah yang ditulis oleh para sejarawan, kisah-kisah
dalam al-Qur’an memiliki karakteristik yang tidak hanya sekedar
memperbincangkan sejarah secara umum, namun merupakan kisah pilihan yang mampu
membuka cakrawala dakwah kepada agama Allah swt. dan memberi kesempatan bagi
akal untuk mengembangkan pola pikir, sebagaimana dijelaskan dalam surat Yusuf
di atas “Laqad kana fi Qishashihim ‘Ibratun li Ulil Albab” (sungguh pada
kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal).
Perbedaan al-Qur’an dengan buku-buku sejarah pada umumnya juga dapat
dilihat dari sistematika waktu dan tempat kejadian peristiwa yang tidak menjadi
karakteristik utama dalam al-Qur’an. Kisah-kisah yang tertuang dalam al-Qur’an
tidak secara sistematis, karena memang tujuan utamanya untuk diambil sebuah
pelajaran dari peristiwa yang dikisahkan.[26]
4. Kisah al-Qur’an
Diceritakan Secara Berulang-Ulang
Berbeda dengan
kisah-kisah pada umumnya, kisah dalam al-Qur’an sering diulang-ulang dalam
penyebutannya. Meski demikian, pengulangan ini tidak memiliki implikasi pada
kejenuhan dan kebosanan, namun justru memiliki hikmah tersendiri bagi para
pembaca untuk menguatkan keyakinan (akidah) dan menambah sudut pandang yang
lain dari kisah yang sama. Pengulangan kisah yang justru tidak membuat rasa bosan
bagi pembaca atau pendengar inilah yang membedakan kisah al-Qur’an dengan
kisah-kisah pada umumnya yang tentu tidak dapat dipisahkan dari aspek i’jaz
(kemukjizatan) al-Qur’an.
Pada sisi lain,
pengulangan tersebut memberikan suatu isyarat tentang urgensi persoalan
tersebut bagi umat manusia. Bahkan salah satu surat dalam al-Qur’an dinamakan
dengan surat “Al-Qashash” yang berarti kisah-kisah atau cerita-cerita. Begitu
pula terdapat beberapa surat lain yang memuat banyak cerita seperti; surat
Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, Muhammad, al-Anbiya’, Maryam, Lukman, dan lain
sebagainya.
Adanya pengulangan
kisah-kisah dalam al-Qur’an memiliki hikmah dan tujuan tersendiri, antara lain:
a. Untuk menjelaskan
ketinggian mutu sastra balaghah al-Qur’an, dengan mengungkapkan kisah dalam
variasi susunan kalimat yang berbeda, sehingga tidak menimbulkan kebosanan bagi
pembacanya.
b. Untuk membuktikan
ketinggian mukjizat al-Qur’an, yaitu bisa menjelaskan satu kisah dalam bentuk
kalimat yang bermacam-maccam.
c. Untuk memberikan
aksentuasi (penekanan) terhadap kisah-kisah tertentu agar pesan-pesanya melekat
pada jiwa, maka pengulangan merrupakan salah satu bentuk penekanan dan salah
satu bukti meningkatkan perhatian.
d. Untuk menunjukkan
perbedaan tujuan dari tiap-tiap kali pengulangan penyebutan kisah al-Qur’’an,
sehingga menunjukkan banyaknya tujuan penyebutan kisah sebanyak pengulangannya.[27]
Selain empat
karakteristik di atas, ada juga pendapat yang berpendapat tentang karakteristik
kisah dalam al-Qur’an dan sekaligus menunjukkan keistimewaan yang dimilikinya,
yaitu:
5. Dalam Waktu Singkat Dapat
Menarik Perhatian Pembaca
Kisah al-Qur’an dalam waktu yang relatif singkat mampu menarik perhatian
para pembaca, sehingga para pembaca tertarik untuk mengikuti peristiwanya,
merenungkan maknanya serta terkesan oleh watak pelaku kisah tersebut. Karena
kisah al-Qur’an pada umumnya dimulai dengan mengemukakan tuntutan, ancaman,
peringatan, sebelum memberikan pemecaahan terhadap persoalan yang diceritakan
dan terjalin dalam alur cerita yang utuh.
Penyajian kisah demikian menggugah kerinduan dan perhatian pembaca atau
pendengar serta meningkatkan rasa ingin tahu bagaimana kisah itu berakhir.[28]
6. Kisah al-Qur’an menyentuh
nurani manusia
Kisah al-Qur’an menyentuh nurani manusia dalam keadaan yang utuh dan
menyeluruh, sebagaimana terjelma dalam tokoh-tokoh utama yang sengaja
ditampilkan. Masing-masing tokoh ditampilkan pada pusat perhatian selaras
dengan konteksnya.
7. Kisah al-Qur’an Memberi Kesempatan
Mengembangkan Pola Pikir Pembacanya
Kisah al-Qur’an memberi kesempatan mengembangkan pola pikirnya sehingga
terpuaskan. Terkait dengan karakteristik ini ditampilkan dalam dua bentuk,
yaitu; Pertama, kisah tersebut dilukiskan
melalui pengisyaratan, sugesti, dan penerapan. Kedua, melukiskan kisah
melalui berfikir dan merenung. Dalam al-Qur’an banyak kisah yang diungkapkan
dalam bentuk dialog yang sangat dengan penalaran. Dalam dialog tersebut,
peristiwa-peristiwa muncul, tampil sebagai premis yang menghasilkan kesimpulan,
berupa pemantapan kebenaran dan keagungannya.[29]
E. Tujuan Kisah Dalam Al-Qur’an
Kisah al-Qur’an bukanlah
karya seni yang tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Melainkan menjadi salah
satu metode al-Qur’an dalam menuntun dan mewujudkan tujuan keagamaan , dan
salah satu cara menyampaikan dan mengokohkan dakwah Islam. Di samping
mewujudkan tujuan pendidikan religius dan ketuhanan, gaya penyampaian al-Qur’an
mengandung nilai estetis. Adapun tujuan kisah dalam al-Qur’an dapat
dikategorikan menjadi dua macam, yaitu; tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
umum dari kisah al-Qur’an adalah mangambil pelajaran (‘ibrah) bagai orang yang
mau berfikir, sebagaimana dijelaskan dalam surat Yusuf ayat 111 di atas. Sedangkan
tujuan khusunya adalah, sebagai beirkut:
1. Penjelasan Prinsip
Dasar-Dasar Agama
Sekalipun
kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan sebuah kisah atau cerita masa lalu, namun
hal tersebut tidak pernah terlepas dari upaya memantapkan dan meneguhkan
akidah-tauhid yang telah diwahyukan kepada para Nabi dan rasul terdahulu. Hal
ini selaras dengan firman Allah swt.:
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا
إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ (الأنبياء: 25)
“Dan kami tidak mengutus
seorang rasul sebelum kamu kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak tuhan
yang berhak disembah kecuali Aku, maka sembahlah Aku.” (QS.
Al-Anbiya’: 25)[30]
Penjelasan ini sekaligus mengisyaratkan
akan estapeta ajaran tauhid yang dibawa oleh Rasulullah saw., dengan ajaran
tauhid para nabi sebelum beliau.[31]
2. Menguatkan dan Meneguhkan
Hati Rasulullah saw.
Sebagaii manusia, tentu nabi Muhammad juga memiliki perasaan khawatir,
sedih, atau berkecil hati. Kisah tentang gemetarnya Nabi ketika menerima wahyu
pertama merupakan salah satu contoh sisi kemanusiaan yang dimiliki oleh
Rasulullah saw. karena itu, kehadiran kisah-kisah yang disampaikan oleh
al-Qur’an memberikan dampak atas kekuatan batin serta sebagai motivasi bagi
beliau pada khususnya. Hal ini dijelaskan oleh al-Qur’an dalam surat Hud ayat
120, sebagai berikut:
كُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ
أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ
وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (هود: 120)
“Dan semua kisah dari para rasul Kami ceritakan kepadamu yaitu kisah-kisah
yang dengannya Kami teguhkan hatimu, dan telah datang kepdamu pada kisah ini
suatu kebenaran, pelajaran dan peringatan bagi kaum yang beriman.” (QS. Hud: 120)[32]
3. Justifikasi Atas
Kebenaran Para Nabi dan Rasul Terdahulu
Salah satu faktor yang menyebabkan bangsa Arab termasuk ahli kitab (Yahudi
dan Nasrani) pada masa Rasulullah saw. tidak langsung beriman kepada beliau
adalah karena keraguan mereka atas ajaran Nabi yang berbeda dengan ajaran para
nabi sebelumnya. Karena itu, kisah-kisah dalam al-Qur’an dapat mengembalikan
memori mereka atas kebenaran para nabi dan rasul terdahulu yang wajib diimani
sebagai utusan Allah swt. Bahkan dalam kisah-kisah al-Qur’an juga dapat dilihat
jejak-jejak yang ditinggalkan serta pelajaran yang telah diwariskannya.
4. Upaya Menampakkan
Kebenaran dan Keagungan Rasulullah saw.
Sebagai seorang nabi yang ummi saat beliau menerima wahyu pertama
kali, Rasulullah saw. semakin tampak kebenaran yang diterimanya. Hal ini dapat
difahami karena jika tanpa wahyu dari Allah swt. mustahil Rasulullah saw.
mengetahui suatu peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang berkisah tentang
umat dan kisah para nabi secara tepat dan sempurna. Hal ini ditegaskan dalam
friman Allah swt.:
تِلْكَ مِنْ أَنْبَاءِ
الْغَيْبِ نُوحِيهَا إِلَيْكَ مَا كُنْتَ تَعْلَمُهَا أَنْتَ وَلَا قَوْمُكَ مِنْ
قَبْلِ هَذَا فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ (هود:49)
“Itu adalah diantara berita-berita
(kisah-kisah) penting yang ghaib yang kami wahyukan kepadamu, tidak pernah kamu
mengetahuinya dan tidak pula kaummu sebelumnya. Maka bersabarlah karena
kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Hud: 49)[33]
5. Sebagai Upaya Mengoreksi
Pendapat Ahli Kitab
Pernyataan dan keyakinan ahli kitab pada masa Rasulullah saw. banyak yang
sudah bertolak belakang dengan realias sebelumnya yang terjadi ppada masa nabi
Musa as dan nabi Isa as. karena itu, kisah-kisah yang menceritakan Bani Israil ataupun ahli kitab dalam
al-Qur’an dapat menjadi koreksi bagi kesalahan mereka, sebagaimana dijelaskan
dalam al-Qur’an:
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا
لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ
أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ (آل عمران: 93)
“Semua makanan adalah
halal bagi Bani Israil kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil untuk dirinya
sendiri sebelum diturunkannya Taurat. Katakanlah (Muhammad): maka bawalah
kalian kitab Taurat itu lalu bacalah kitab itu, jika kamu orang-orang yang
benar.” (QS. Ali Imran: 93)[34]
6. Menjadi Sarana Menanamkan
Pendidikan Akhlak Mulia
Meskipun berupa suatu kisah, ayat al-Qur’an memiliki misi untuk menanamkan
akhlak yang mualia bagi para pembacanya. Sebagaimana dijelaskan dalam surat
Yusuf ayat 111:
لَقَدْ
كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ...(يوسف: 111)
“Sungguh pada kisah-kisah
mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Yusuf: 111)[35]
F. Nilai-Nilai Pendidikan Dalam
Kisah al-Qur’an
Kisah-kisah dalam
al-Qur’an sarat dengan muatan udukatif bagi semua umat manusia, khususnya bagi
para pembaca dan pendengarnya. Kisah-kisah tersebut bagian dari metode
pendidikan yang efektif.[36]
Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-A’raf ayat 176:
...فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (الأعراف: 176)
“...Maka ceritakanlah kisah-kisah agar mereka berfikir.” (QS. Al-A’raf: 176)[37]
Jika dikaji secara
mendalam, ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang kisah-kisah kebanyakan
diturunkan pada periode Makkiyah. Pada periode ini perioritas dakwah Rasulullah
saw. lebih banyak diarahkan pada penanaman akidah-tauhid. Hal ini memberikan
isyarat bahwa kisah-kisah sangat berpengaruh bagi proses pendidikan terhadap
pihak yang awalnya belum memiliki keyakinan tauhid menjadi hamba Allah yang
bertauhid.
Selain itu, pada periode
Makkah Rasulullah saw. juga banyak mengadakan upaya penanaman akhlak al-Karimah
dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat jahiliyah yang berperilaku tidak baik.
Pemberian contoh kisah-kisah umat terdahulu beserta akibat yang dialami bagi
orang yang menentang perintah Allah serta berperilaku tidak baik secara tidak
langsung mengetuk hati orang yang merenungkan hikmah dibalik kisah tersebut.
Kisah menjadi sarana yang lembut untuk merubah kesalahan dan kekufuran suatu
komunitas masyarakat, dengan secara tidak langsung menyalahkan atau menggurui
mereka.
Dalam dunia pendidikan,
pola pendidikan yang hanya menggunakan metode ceramah secara monolog tentu
sangat membosankan bagi peserta didik, terlebih lagi bagi peserta didik pemula.
Seorang pendidik harus mampu memberikan variasi metode mengajar dengan
menyisipi berbagai cerita dan kisah yang relevan dengan materi dan tujuan
pengajaran.[38]
Dalam realitas masyarakat
saat ini maraknya penayangan film baik dalam layar lebar maupun layar kaca,
penayangan sinetron yang berbicara tentang kisah tertentu, teater dan
sebagainya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses penyampaian
pesan-pesan pendidikan, pembentukan sikap (apektif) maupun kejiwaaan (psikomotorik)
bagi para pemirsaanya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kisah-kisah bagi
kehidupan manusia. Karena itu sangat tepat jika dalam al-Qur’an menggunakan
metode bercerita tentang kisah-kisah tertentu yang dapat dijadikan sebagai pelajaran
yang berharga bagi kehidupan manusia.
G. Makna Psikologis Kisah Nabi Ibrahim, Yusuf, dan Muhammad saw.
1. Kisah Nabi Ibrahim as.:
Disamping sebagai sosok nabi, nabi Ibrahim juga digambarkan sebagai sosok
kepala rumah tangga dan sosok ayah sekaligus pendidik ideal yang berhasil
mendidik putera-puteranya menjadi anak-anak yang berkualitas. Bahkan dari garis
keturunannya banyak lahir generasi-generasi berkualitas yang dipilih oleh Allah
sebagai nabi, sehingga beliau dijuluki sebagai Aba’ al-Anbiya’ (bapaknya
para rasul). Kisah nabi Ibrahim as., memberikan pelajaran yang sangat berharga
tentang perhatian dan tanggung jawab orang tua kepada pendidikan anaknya.
Beliau mampu meletakkan anak sebagai amanah Allah untuk dirawat, dijaga, dan
dididik hingga memiliki kematangan intlektual dan spiritual secara
berkeseimbangan dan memadai. Oleh sebab beliau dijadikan sebagai suri tauladan
yang terbaik bagi semua, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an;
قَدْ
كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ ... (الممتحنة: 4)
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu
pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia...” (QS. Al-Mumtahanah: 4)[39]
2. Kisah Nabi Yusuf as.:
Kisah nabi Yusuf memberikan
inspirasi dan keteladanan bagi semua orang. Pada usianya yang relatif muda dan
memiliki berbagai kelebihan baik secara fisik maupun non fisik dibandingkan
manusia kebanyakan, namun tidak membuat dirinya menjadi sombong dan takabur.
Beliau tetap menjadi pribadi yang santun, rendah hati, dan memiliki kematangan intlektual,
emosional dan spiritual, sehingga beliau menjadi pribadi yang disegani dan
dapat memberi solusi bagi orang banyak.
Karena memiliki iman yang kokoh, kendati ia dikhianati oleh
saudara-saudaranya atau dibujuk isteri al-Aziz, misalnya, ia tetap bersabar.
Ini merupakan peristiwa menakjubkan yang mengisyaratkan kepada umat manusia betapa
pentingnya memegang prinsip kebenaran yang diyakininya. Kisah ini memeunculkan
hasrat bagi pembaca untuk meniru prilaku dan karakter sang tokoh.[40]
3. Kisah Nabi Muhammad saw.:
Memahami sejarah hidup Rasulullah saw. berarti memahami Islam itu sendiri,
karena kehidupan beliau adalah contoh hidup dari segala aspek ajaran Islam.
bahkan Nabi sendiri dijuluki sebagai The Living Qur’an (al-Qur’an
hidup).[41]
Bahkan Aisyah ra. menggambarkan akhlak Nabi saw adalah al-Qur’an, sebagaimana
dalam hadis Nabi saw:
عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامِ بْنِ
عَامِرٍ قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَخْبِرِينِي
بِخُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ
خُلُقُهُ الْقُرْآنَ أَمَا تَقْرَأُ الْقُرْآنَ قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ) وَإِنَّكَ
لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ (... (رواه أحمد)[42]
“...Dari Sa'ad bin Hisyam bin Amir, dia berkata; saya
mendatangi Aisyah seraya berkata; "Wahai Ummul Mukminin! Kabarkanlah
kepadaku mengenai akhlak Rasulullah saw.!" (Aisyah) Berkata; "Akhlak
beliau adalah Al Quran, bukankah engkau telah membaca Al Quran pada firman
Allah Azzawajalla, WA INNAKA LAALA KHULUQIN AZHIM (Sesungguhnya engkau
(Muhammad) memiliki akhlak yang agung.)." (HR. Ahmad)
Tidak diragukan lagi, bahwa nabi Muhammad saw. merupakan suri tauladan bagi
seluruh umat manusia. Beliau memiliki integritas yang utuh antara ucapan, sikap
dan tingkah lakunya, yang patut menjadi contoh dan suri tauladan yang ideal
dalam berbagai aspek kehidupan. Akhlak beliau yang sangat mulia, tidak lepas
dari perwujudan akhlak yang diajarkan oleh al-Qur’an, sehingga Aisyah memberikan
gambaran sebagai sosok yang memiliki akhlak al-Qur’an (kana khuluquhu
al-Qur’an). Bahkan al-Qur’an-pun
menobatkan beliau sebagai suri tauladan yang terbaik, sebagaimana firman-Nya:
لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (الأحزاب: 21)
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah.” (QS.
Al-Ahzab: 21)[43]
Bahkan dalam dunia pendidikan, Rasulullah saw.
diakui oleh ilmuan Barat, Robert L. Gullick Jr. dalam bukunya Muhammad, The
Educator sebagai seorang pendidik yang membimbing manusia menuju
kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar. Menurutnya, tidak
dapat dipungkiri lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan
stabilitas yang mendorong perkembangan Islam, suatu revolusi sejati yang
memiliki tempo yang tidak tertandingi. Hanya konsep pendidikan yang paling
dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad di antara
pendidik-pendidik besar sepanjang masa. Karena dari sudut pragmatis, seorang
yang mengangkat prilaku manusia adalah seorang pangeran di antara pendidik.[44]
H. Penutup
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
kisah-kisah dalam al-Qur’an menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari isi
al-Qur’an yang menjadi sumber utama ajaran Islam, bahkan untuk seluruh umat
manusia. Meskipun demikian, bukan berarti al-Qur’an itu buku sejarah sekalipun
kisah-kissah dalam al-Qur’an tidak terlepas dari bukti sejarah. Hal ini semakin
menguatkan bahwa al-Qur’an itu bukanlah karya nabi Muhammad saw. yang ummi.
Terlebih lagi Rasulullah saw. juga belum pernah mendalami sejarah dan melawat
ke berbagai belahan dunia yang dikisahkkan dalam al-Qur’an.
Kisah-kisah
dalam al-Qur’an juga bermanfaat bagi uupaya ppembentukan karakter manusia yang berbudi luhur dan memiliki akidah tauhid. Karena muatan
kisah yang terdapat dalam al-Qur’an tidak terlepas dari upaya untuk
mendakwahkan akidah yang lurus serta mendidik insan yang pasripurna. Karena itu
dalam dunia pendidikan seorang pendidik seharusnya bisa menjadikan kisah
sebagai salah satu metode alternatif bagi pembentukan jiwa anak didik, terutama
dalam ranah apektif san psikomotoriknya. Wallahu A’lab Bis shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’at dan Terjemahnya. 1993. Departemen Agama Republik Indonesia,
Semarang: CV Asy-Syifa’
Abdurrahim,
Muhammad. 1995. Mu’jizat wa ‘Ajaib min al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar
al-Fikr
As-Shabuni, Muhammad Aly,2003. At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. Dar-al-kutub
al-Islamiyah, cetakan pertama.
al-Qatthan,
Manna’. 1990. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Riyadh: Mansyurat al-‘shr
al-hadits
az-Zarqani, Muhammad Abdul Azhim. 1998. Manahil al ‘Irfan fi ‘Ulum
al-Qur’an juz.2, Penerbit: Dar Kutaibah
Hambal, imam Ahmad bin.2005, Al-Musnad, (dalam Zaid bin Shabri bin
Abi Ulfah, al-Kutub as-Sittah), Maktabah ar-Rasyid-Riyadh
Ilyas, Yunahar. 2015, Cakrawala Al-Qur’an: Tafsir Tematis Tentang
Berbagai Aspek Kehidupan, Yogyakarta: Itqan Publishing
Ismail, Muhammad Bakar. 1998. Qashash
al-Qur’an. Kairo: Dar al-Manar
Lukman, Fahmi. Menuju Sistem Pendidikan Islam, dalam Ta'dib; dalam
Jurnal Pendidikan Islam, Volume 2 Nomor 2, Agustus 2002
Naqrah, Hami.
1971. Sikulujiyyah al-Qishshah fi al-Qur’an: Risalah Dukturah, Jami’ah
al-Jazair
Nasution,
Harun. 1998. Islam Rasional,
Bandung: Mizan
Munawwir,
Ahmad Warson. 1984. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif
Madzkur,
Ibrahim. Al-Mu’jam al-Wajiz, Kairo: Majma’ al-Lughah. tanpa tahun
Sa’id Yusuf
Abu Aziz, Qishash al-Qur’an: Durus wa I’bar, Kairo: Daar al-Fajr li
al-Turats
Shihab, M. Qurais. 1992. Membumikan
al-Qur’an. Bandung: Mizan
----------------------. 1998. Mukjizat al-Qur’an: ditinjau dari aspek
kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan pemberitaan ghaib, Bandung: Mizan
Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Supiana dan M. Karman. 2002. Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi
Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, cetakan pertama
Syahrur, Muhammad. 2000. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah
Mu’ashirah. Beirut: Syirkah mathbu’ah
[1]
Muhammad Aly as-Shabuni, At-Tibyan
fi ‘Ulum al-Qur’an, Penerbit: Dar-al-kutub al-Islamiyah, cetakan
pertama, tahun 2003, halaman, 8. Lihat pula Manna’ al-Qatthan, Mabahits fi
‘Ulum al-Qur’an, Penerbit: Mansyurat al-‘shr al-hadits-Riyadh, tahun,1990,
halaman 20
[2]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Penerbit: Pustaka Sinar Harapan-Jakarta, tahun
2007, halama, 63-253
[3]
Al-Qur’at dan Terjemahnya:
Departemen Agama Republik Indonesia, Penerbit: CV Asy-Syifa’-Semarang, tahun
1993
[4]
Ibid.
[5] Qurais shihab, Membumikan
al-Qur’an, penerbit Mizan-Bandung, tahun 1992, halaman, 176
[6]
Harun Nasution, Islam Rasional, penerbit
Mizan-bandung, tahun 1998, halaman, 20-21
[7]
Supiana dan M. Karman, Ulumul
Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, Penerbit. Pustaka Islamika-Bandung,
cetakan pertama pertama tahun 2002, halaman, 243
[8]
Ahmad Warson Munawwir, Kamus
al-Munawwir, Penerbit: Pustaka Progresif-Surabaya, 1984, halaman. 1126.
Lihat pula Ibrahim Madzkur, al-Mu’jam al-Wajiz, Penerbit: Majma’
al-Lughah-Kairo, tanpa tahun, halaman, 504
[9]
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op.Cit.
[10]
Manna’ al-Qatthan, Op.Cit. halaman,
306
[11]
Supiatna dan M. Karman, Op.Cit.
halaman, 244
[12]
Muhammad Bakar Ismail, Qashash
al-Qur’an,Penerbit: Dar
al-Manar-Kairo, tahun 1998, halaman. 7. Lihat pula Manna’ al-Qhatthan, Op.Cit.,
halaman, 305
[13] Muhammad Abdul Azhim az-Zarqani, Manahil
al ‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an juz.2, Penerbit: Dar Kutaibah, tahun 1998,
halaman, 425
[14] Al-Qur’an dan Terjemahannya,
Op.Cit.
[15] Muhammad Abdul Azhim
az-Zarqani,Op.Cit., halaman, 426
[16]
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op.Cit.
[17]
Muhammad Abdul Azhim
az-Zarqani,Op,Cit., halaman, 427
[18]
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op.Cit.
[19]
Muhammad Abdurrahim, Mu’jizat wa
‘Ajaib min al-Qur’an al-Karim, Penerbit: Dar al-Fikr-Beirut, tahun 1995,
halaman. 160. Lihat pula; Supiatna dan M. Karman, Op.Cit. halaman, 244-245
[20] Muhammad Syahrur, al-Kitab wa
al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, penerbit: Syirkah mathbu’ah-Beirut, tahun
2000, halaman, 676-677
[21]
Supiatna dan M. Karman, Op.Cit.
halaman, 245
[22] Al-Qur’an dan Terjemahannya,
Op.Cit.
[23] Ibid.
[24] M. Qurais shihab, Mukjizat
al-Qur’an: ditinjau dari aspek kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan pemberitaan ghaib,
Penerbit: Mizan-bandung, tahun 1998, halaman, 196-201
[25] Muhammad Syahrur, Op.Cit., halaman,
676-677
[26]
Muhammad bakar ismail, Op. Cit,
halaman, 10-11
[27]
Supiatna dan M. Karman, Op.Cit.
halaman, 250
[28] Ibid., halaman, 246
[29] Ibid, halaman, 247
[30] Al-Qur’an dan Terjemahannya,
Op.Cit.
[31] Sa’id Yusuf Abu Aziz, Qishash
al-Qur’an: Durus wa I’bar, Penerbit: Daar al-Fajr li al-Turats-Kairo, tahun
1999, halaman, 7-8
[32]
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op.Cit.
[33]
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op.Cit.
[34]
Ibid.
[35]
Ibid.
[36]
Hami Naqrah, Sikulujiyyah
al-Qishshah fi al-Qur’an: Risalah Dukturah, Jami’ah al-Jazair, tahun 1971,
halaman, 85
[37]
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op.Cit.
[38]
Manna’ al-Qatthan, Op.Cit, halaman, 310
[39]
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op.Cit.
[40]
Hami Naqrah, Op.Cit., halaman,
509-512
[41]
Yunahar Ilyas, Cakrawala Al-Qur’an:
Tafsir Tematis Tentang Berbagai Aspek Kehidupan, Yogyakarta: Itqan Publishing,
April 2015, halaman, 113
[42] imam Ahmad bin Hambal, Al-Musnad, (dalam Zaid bin
Shabri bin Abi Ulfah, al-Kutub as-Sittah), Maktabah ar-Rasyid-Riyadh, cetakan
pertama 2005
[43]
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op.Cit.
[44]
Fahmi Lukman, Menuju Sistem Pendidikan Islam, dalam Ta'dib; Jurnal
Pendidikan Islam, Volume 2 Nomor 2, Agustus 2002, halaman, 153
Leave a Comment