RINGKASAN MATERI FIKIH IBADAH (PUASA RAMADHAN). FAKULTAS FEB DAN FKIP
)BAGIAN PERTAMA(
PUASA
RAMADHAN
A. Pengertian Puasa
اَلصِّيَامُ لُغَةً بِمَعْنَى:
اَلإِمْسَاكُ عَنِ الشَّيْئِ وَالتَّرْكُ لَهُ.
اَلصِّيَامُ فِى الشَّرْعِى هُوَ:
اَلإِمْسَاكُ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالْجِمَاعِ مَعَ النِّيَّةِ مِنْ
طُلُوْعِ الْفَجْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ، وَكَمَالِهِ بِاجْتِنَابِ
الْمَحْظُوْرَاتِ وَعَدَمِ الْوُقُوْعِ فِى الْمُحَرَّمَاتِ. {تفسير آيات الأحكام:
1: 132-133}
Puasa menurut
bahasa berarti menahan diri dari sesuatu serta meninggalkannya. Sedangkan
menurut syara’, puasa adalah: Menahan diri dari makan dan minum serta
berhubungan badan (jima’) disertai dengan niat dari sejak terbit fajar sampai
terbenam matahari, dan kesempurnaannya dengan meninggalkan segala hal yang
dilarang dan tidak terperosok ke dalam hal-hal yang diharamkan.
B. Dasar Hukum Disyariatkan
Ibadah Puasa
Dasar
hukum disyariatkannya ibadah puasa adalah, berdasarkan Al-Qur’an, hadits dan
ijma’ ulama’. Dasar hukum dari Al-Qur’an adalah:
يَآيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ، أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ، فَمَنْ كَانَ
مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ، وَعَلَى
الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فَدِيَةُ طَعَامِ مِسْكِيْنَ، فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌلَهُ وَأَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرُ لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
(البقرة: 183-184)
Sedangkan Hadits Nabi saw:
بُنِىَ
الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَ إِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ
رَمَضَانِ وَحِجُّ الْبَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً (رواه البخارى)
“Agama Islam dibangun atas lima pilar: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, mengeluarkan
zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan menunaikan haji ke baitullah bagi siapa
yang mampu”.
C. Penetapan Waktu Berpuasa
Dalam
korelasinya dengan bulan ramadhan, ada dua cara yang dilakukan untuk mengetahui
dan menetapkan awal ramadhan sebagai permulaan untuk berpuasa, yaitu: Hisab
dan Rukyat. Pada zaman sekarang, kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi (iptek) banyak membantu memudahkan proses hisab dan rukyat
tersebut. Secara garis besar, ketentuan tentang penetapan waktu puasa sudah
dijelaskan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan kembali dalam hadits, namun ilmu
astronomi khususnya ilmu falak yang dikembangkan dalam khazanah Islam membantu
dalam penetapan awal dan akhir bulan dengan cara hisab. Sedangkan tekhnologi
planetarium atau teleskop memudahkan dan sekaligus menjamin validitas
observasi bulan untuk menetapkan awal maupun akhir bulan ramadhan dengan
cara rukyat.
1. Penetapan waktu dengan rukyat
Rukyat
adalah cara menetapkan awal ramadhan (bulan qamariyah) dengan jalan
melihat dengan menggunakan panca indera mata (penglihatan) tentang awal dan
akhir bulan. Jika langit mendung dan cuaca buruk, sehingga bulan tidak dapat
dilihat, maka hendaknya menggunakan prinsip Istikmal (menggenaapkan bilangan
bulan sya’ban menjadi 30 hari).
Dasar
hukum yang digunakan adalah sabda Rasulullah saw:
صُوْمُوْا
لِرُؤْيَتِهِ وَافْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ (رواه البخارى)
“Berpuasalah karena
melihat bulan dan berbukalah karena melihat bulan (hilal)”, (HR. Bukhari)
dan surat
Al-Baqarah ayat; 185
2. Mengetahui awal bulan
dengan hisab
Hisab
adalah cara menetapkan awal bulan qamariyah (ramadhan) dengan
menggunakan perhitungan secara ilmu astronomi atau ilmu falak,
sehingga dapat ditentukan posisi bulan secara eksak. Dibandingkan dengan cara rukyat,
cara hisab ini relatif lebih mudah.
Argumentasi
(dalil) yang digunakan tentang bolehnya menentukan awal bulan dengan hisab
(ilmu falak) adalah pemahaman terhadap hadits yang sama tentang makna rukyat
yang berarti melihat atau mengetahui, serta beberapa versi hadis yang memerintahkan untuk melakukan estimasi (faqduru lah), disamping ada hadis tentang menggenapkan (faakmilu). namun jika dilihat dari aspek kuantitas jalur dan kualitas hadisnya, maka hadis tentang estimasi (perhitungan) lebih banyak jalurnya dan lebih kuat, serta adanya hadis yang menjelaskan tentang sebab rukyat pada masa Nabi, sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ. [رواه الشيخان والنسائى وابن ماجه]
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a.
dari Rasulullah saw, (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Bila kamu melihatnya
(hilal) maka berpuasalah, dan bila kamu melihatnya maka berbukalah
(berlebaranlah). Dan jika
penglihatanmu tertutup oleh awan maka kira-kirakanlah bulan itu.” [HR. Asy-Syaikhani, An-Nasa'i,
dan Ibnu Majah].
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا
وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ (رواه
البخاري ومسلم)
“Sesungguhnya
kami adalah umat yang ummi kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan
hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian,. Maksudnya adalah kadang-kadang dua
puluh Sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari.” (HR.al-Bukhari dan
Muslim)
selain hadis-hadis yang cukup banyak tentang persoalan tersebut, pendapat ini juga mendasarkan pada firman Allah saw:
هُوَ
الَّذِى جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُوْرًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ
لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابِ مَاخَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلاَّ
بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ (سورة يونس:
5)
“Dialah yang
menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapakannya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan haq. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesarannya) kepada orang-orang yang
mengetahui”. (QS.Yunus: 5)
D. Syarat Dan Rukun Puasa
Syarat
wajib puasa ada tiga macam yaitu: Islam, baligh dan berakal. Sedangkan
rukun-rukun puasa adalah sebagai berikut:
1.
Melihat hilal (yang menunjukkan masuknya
bulan ramadhan), baik secara sendiri, kelompok maupun yang dilakukan oleh
pemerintah.
2.
Tidak makan, minum dan jima’ mulai
sejak terbit fajar sampai terbenamnya matagari.
3.
Niat, yang waktunya sebelum terbit
fajar.
E. Hal-Hal Yang Membatalkan
Puasa
Adapun
hal-hal yang dapat membatalkan puasa adalah;
1.
Makan dan minum dengan sengaja di
siang hari bulan puasa sekalipun sedikit, termasuk dalam pengertian ini adalah
merokok, minum obat dan sejenisnya.
2.
bersetubuh atau sengaja
mengeluarkan sperma pada saat melaksanakan ibadah puasa.
Sedangkan
hal-hal yang dapat mengurangi nilai ibadah puasa adalah segala hal yang
dilarang oleh agama, termasuk diantaranya adalah berkata dusta atau berbuat
sesuatu yang kotor, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
إِذَا
كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَيَرْفُثْ وَلاَيَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ
أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى صَائِمٌ (رواه البخارى و مسلم)
“Apabila seseorang
diantara kamu berpuasa maka janganlah berkata kotor dan jangan pula berkata
kasar. Jika seseorang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia
mengatakan; Aku sedang berpuasa”. (HR.Bukhari dan Muslim)
مَنْ لَمْ يَدَعْ
قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ
طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ (رواه البخرى)
“Barangsiapa tidak
meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan jelek, maka Allah tidak butuh pada
puasanya dari makan dan minum”. (HR.Bukhari)
F. Orang Yang Diperbolehkan
Tidak Puasa
Orang-orang
yang diperbolehkan untuk tidak melaksanakan puasa adalah:
1.
Anak kecil sampai ia dewasa,
karena mereka tidak dibebankan tanggung jawab (mukallaf) untuk
melaksanakan kewajiban syari’at.
2.
Orang gila sampai ia sembuh dari
gilanya.
3.
Orang yang dalam keadan musafir,
ia boleh tidak melaksanakan puasa namun ia harus mengganti puasanya di hari
atau bulan lain sesuai jumlah puasa yang ditinggalkannya.
4.
Orang yang sedang sakit berat
(sakit keras), jika berpuasa dapat memperparah atau menghambat kesembuhannya,
namun ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkan di waktu yang lain.
5.
Orang-orang jompo yang tidak kuat
untuk berpuasa, ia boleh tidak berpuasa namun ia harus membayar fidyah
dengan memberi makan kepada 60 fakir miskin.
6.
Wanita hamil atau baru melahirkan,
jika mereka khawatir terhadap kesehatan dan keselamatan bayinya, mereka
diperkenankan untuk tidak berpuasa serta wajib membayar fidyah.
7.
Wanita yang sedang haidh atau
nifas karena habis melahirkan dilarang untuk berpuasa dan wajib menggantinya di
waktu atau bulan yang lain.
8.
Pekerja keras yang tidak kuat jika
berpuasa, serta jika mereka tidak bekerja keluarga mereka tidak bisa makan atau
memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
G. Macam-Macam Puasa
Puasa
dalam syariat Islam dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: puasa wajib dan
puasa sunnah. Puasa wajib dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: (1)
wajib karena waktu yang telah ditetapkan, yaitu puasa di bulan ramadhan, (2)
Wajib karena suatu sebab tertentu, yaitu puasa kaffarat, dan (3) wajib
karena seseorang mewajibkan atas dirinya sendiri, yaitu puasa nadzar.
Sedangkan
puasa sunnah, terdiri dari beberapa macam, yaitu; puasa senin kamis, puasa
Dawud, puasa tiga hari setiap bulan (puasa bidh), puasa tasu’a dan
asyura, puasa arafah dan lain sebagainya.
H. Membatalkan Puasa Dengan Sengaja
Bagi
orang yang sengaja membatalkan puasanya tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’,
maka ia telah melakukan perbuatan dosa besar dan ia tidak bisa menngganti puasa
yang ditinggalkannya itu sekalipun ia menggantinya dengan puasa selama satu
tahun. Hal ini sebagai hukuman bagi mereka karena telah melanggar aturan Allah
swt dan tidak melaksanakan kewajibannya. Jika dia insyaf, maka ia harus
bertaubat dengan taubat nasuha serta tidak mengulanginya lagi.
Rasulullah saw bersabda:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ
مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ (رواه الترميذي)
“Dari Abu Hurairah r.a, bahwasanya Rasulullah
saw bersabda: Barang siapa yang berbuka (tidak berp[uasa) sehari di bulan
ramadhan tanpa adanya keringanan (rukhshoh) dan tidak dalam keadaan sakit, maka
tidak akan bisa digantikan dengan puasa setahun sekalipun”. (HR.Tirmidzi)
Sedangkan
bagi suami istri yang melakukan hubungan badan (jima’) di siang hari
bulan puasa, maka mereka terkena kewajiban untuk membayar kaffarat,
yaitu: Membebaskan seorang budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau
memberi makan enam puluh fakir miskin, sebagaiman hadist yang diriwayatkan oleh
imam Bukhari dan Muslim.
I. Cara Berpuasa Di Daerah Kutub
Berpuasa
di daerah kutub atau daerah lain yang tidak normal, dimana jumlah siang atau
malamnya lebih panjang, memang merupakan suatu persoalan tersendiri yang harus
dipecahkan. Syekh Mahmud syaltut dalam bukunya Al-Fatawa menyebutkan
bahwa ada dua alternatif hukum bagi penduduk daerah kutub dalam melaksanakan
ibadah, khususnya puasa, yaitu:
1.
Karena daerah kutub tidak berlaku
batasan-batasan waktu sebagaimana di belahan bumi pada umumnya (normal), maka
hukum yang berkenaan dengan ibadah puasa (dan shalat) yang pelaksanaannya
dibatasi oleh dimensi waktu tidak berlaku. Dengan demikian, penduduk daerah
kutub dibebaskan dari kewajiban puasa (dan shalat).
2.
Meskipun ketentuan waktu
sebagaimana terdapat dalam ajaran fiqh Islam tidak ada, tetapi nilai hokum
tetap berlaku, sebab ajaran Islam berlaku untuk segala kondisi dan tempat.
Untuk itu, ketentuan yang dipakai untuk daerah kutub, khususnya berkaitan
dengan puasa mengambil persamaan dengan daerah lain yang paling dekat.
J. Tujuan, Hikmah Dan
Rahasia-Rahasia Puasa
Tujuan asasi
dari pensyariatan ibadah puasa sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah swt
adalah untuk menjadikan orang yang melaksanakannya menjadi orang yang bertaqwa.
Tujuannya sama dengan kewajiban-kewajiban lain yang diberikan kepada hamba-Nya.
Namun dalam
korelasinya dengan hikmah serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam
pensyariatan ibadah puasa, maka biasanya sangat dirasakan oleh orang yang
menjalankannya, seperti; mendapatkan ketenangan , menjadikan dirinya bersih dan
sehat dan lain sebagainya.
1.
Menumbuhkan nilai-nilai persamaan
selaku hamba Allah, karena sama-sama menahan rasa lapar dan haus serta
ketentuan-ketentuan lainnya.
2.
Menumbuhkan rasa prikemanusiaan
dan suka memberi, serta peduli terhadap orang-orang yang kurang mampu.
3.
Memperkokoh sikap tabah menghadapi
cobaan dan godaan, karena dalam berpuasa harus menghindari godaan yang dapat
membatalkan puasa.
4.
Menumbuhkan sifat amanah, karena
yang dapat mengetahui apakah seseorang melakukan puasa atau tidak hanyalah
Allah swt dan diri kita sendiri.
5.
Menumbuhkan sikap bersahabat dan
menghindari pertengkaran, karena selama berpuasa seseorang tidak diperbolehkan
saling bertengkar.
6.
Menanamkan sifat jujur dan
disiplin.
7.
Mendidik jiwa agar dapat menguasai
diri (hawa nafsu) sehingga mudah menjalankan kebaikan dan meninggalkan
keburukan.
8.
Meningkatkan rasa syukur atas
nikmat dan karunia Allah swt.
9.
Menjaga kesehatan jasmani.
10. Dengan puasa (mengurangi makan dan minum) dapat memperlemah
kekuatan hewani yang dimiliki oleh manusia, serta menumbuhkan ruh keikhlasan
dan kekuatan Malakiyah (malaikat) dengan menghiasi diri dengan berbagai sifat
yang mulia.
11. Dengan berpuasa, manusia belajar untuk mencontoh sifat-sifat
(akhlak) Allah swt dan berusaha sesuai dengan kemampuannya untuk mencontoh
sifat-sifat kemalaikatan.
12. Dapat membiasakan diri untuk bersabar dan mantap dalam
menghadapi berbagai kesusahan.
13. Mengingatkan manusia pada suatu kehidupan yang tidak mengenakkan
(kesusahan) yang dialami oleh orang miskin.
14. Menjaga manusia dari berbagai tindakan negatif dan kemaksyiatan.
قَالَ بَعْضُ
الأَطِبَّاءُ: اَلْبَطْنُ أَصْلُ الدَّاءِ وَالْحَمِيَّةُ أَصْلُ الدَّوَاءِ
“Para Dokter mengatakan: Perut adalam
sumber berbagai penyakit, sedangkan puasa adalah obat berbagai macam penyakit”
15. Puasa dapat memotivasi orang kaya untuk membantu orang miskin.
16. Puasa dapat mencerdaskan hati dan perasaan manusia.
مَنْ جَاعَ بَطْنُهُ
عَظَمَتْ فِكْرَتُهُ وَفَطَنَ قَلْبُهُ
“Barangsiapa yang mengurangi rasa kenyang
(puasa) maka fikiran dan hatinya akan cerdas”.
Begitulah
analisa dan kesimpulan para ulama serta pemikir Islam tentang hikmah dan
rahasia puasa yang disyariatkan oleh Islam yang berhasil penulis himpun dari
berbagai sumber. Tentunya masih banyak lagi hikmah dan rahasia lain yang bisa
kita gali dari pensyariatan ibadan
puasa ini.
Leave a Comment