HUKUM BERTUNANGAN
BENARKAH ORANG YANG BERTUNANGAN
MEMPUNYAI SETENGAH KEWAJIBAN DARI TUNANGANNYA
Assalamualaikum
wr.wb
Saya ingin
bertanya mengenai masalah Tunangan. Apakah ada hak dan kewajiban seorang
tunangan terhadap calon istrinya atau calon suaminya?
Karena saya
pernah mendengar bahwasanya seorang tunangan laki-laki mempunyai setengah
kewajiban dari pada calon istrinya itu.
Mohon
penjelasannya, dan apakah ada ayat Al-Quran tentang hal tersebut maupun Haditsnya..
Terimakasih.
Akbar Fauzan
JAWABAN:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara Akbar Fauzan yang dirahmati Allah
SWT. berikut ini jawaban dari pertanyaan saudara: Dalam kamus besar bahasa
Indonesia disebutkan bahwa; tunangan atau bertunangan adalah bersepakat
(biasanya diumumkan secara resmi atau dinyatakan di hadapan orang banyak) akan
menjadi suami-isteri. Dengan ungkapan lain, tunangan atau bertunangan adalah sebuah proses menjalin komitmen antara
seorang laki-laki dan perempuan yang dicintai dengan saling bertukar cincin
sebagai tanda ikatan tunangan. Dalam istilah jawa, tradisi tunangan disebut dengan “Tetalen”, yang berasal dari kata “Tali”, artinya; seseorang yang telah terlibat
dalam tunangan tersebut
seakan-akan mereka berada dalam sebuah ikatan tali. Sehingga kedua
pasangan tidak bisa sesuka hati memilih atau menerima orang lain ke jenjang
pernikahan, selagi ikatan tersebut belum terputus atau dilepas oleh salah satu pihak atau berdasarkan
kesepakatan keduanya.
Praktek tunangan di berbagai daerah
memiliki istilah yang berbeda-beda seperti, tunangan, ta’aruf, acara pra nikah,
dan lain sebagainya. Tetapi sekalipun antara satu daerah dengan daerah lainnya
menggunakan istilah yang berbeda-beda, namun dalam prakteknya diisi dengan
rangkaian acara atau seremonial yang hampir sama (tidak jauh berbeda).
Dalam Islam, tunangan sebagaimana praktek
yang umumnya terjadi di tengah masyarakat tidak memiliki dasar baik dari
al-Qur’an maupun hadis Nabi saw., karena merupakan tradisi yang muncul dan
berkembang dalam masyarakat tertentu. Namun terkadang, istilah tunangan ini
sering diidentikkan oleh sebagaian orang dengan istilah khitbah. Padahal antara
“Tunangan” dan “Khitbah” (melamar) memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Khitbah
merupakan proses melamar wanita yang akan dinikahinya yang selanjutnya dalam
waktu yang tidak terlalu lama dilanjutkan dengan proses pernikahan. Khitbah
menurut Syari’at Islam adalah langkah penetapan atau penentuan sebelum
pernikahan dilakukan dengan penuh kesadaran, kemantapan dan ketenangan
untuk menentukan pilihannya, sehigga tidak terlintas dalam benaknya untuk
membatalkan pinangan tanpa ada faktor yang dibenarkan. Karena hal tersebut dapat menyakiti perasaan
wanita yang dipinang beserta keluarga besarnya, merusak kemuliaan dan nama baiknya,
dapat memutuskan tali silaturrahuim, serta tidak sesuai dengan akhlak yang
mulia (akhlakul karimah). Dengan demikian, khitbah merupakan sebuah proses pra
nikah yang diperbolehkan dalam Islam.
Istilah khitbah dalam syari’at Islam dapat
ditemukan dalam beberapa hadis Nabi saw., antara lain:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا كَانَ يَقُولُ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ
أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ.
(رواه البخاري)
“Bahwa Ibnu Umar ra. berkata, "Nabi saw. telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli
saudaranya, dan
janganlah seseorang meminang atas pinangan orang lain sehingga ia meninggalkannya atau ia telah
diberi izin oleh sang peminang pertama." (HR. al-Bukhari)
Dalam hadis lain juga disebutkan pula:
عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو
هُرَيْرَةَ يَأْثُرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا
وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ
الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ. (رواه البخاري و
مسلم)
“Dari Al A'raj ia berkata; Abu Hurairah
berkata; Satu warisan dari Nabi saw., beliau bersabda: "Jauhilah oleh
kalian perasangka, sebab perasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan
janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar
kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang
laki-laki meminang atas pinangan saudaranya sehingga ia menikahinya atau
meninggalkannya." (HR.
al-Bukhari dan Muslim)
Sedangkan praktek tunangan dengan saling
memakaikan cincin, saling pegangan atau bahkan dengan cium kening atau pipi
pasangannya, dalam syari’at Islam termasuk sesuatu yang dilarang. Karena dua insan yang menjalin ikatan pertunangan maupun
khitbah tetaplah sebagai pasangan yang belum diikat dengan pernikahan yang
syar’i, sehingga mereka tidak bisa leluasa untuk melakukan berbagai tindakan
sebagaimana layaknya pasangan suami-istri, seperti beduaan, berpegangan tangan,
maupun hidup serumah, karena mereka berdua bukan mahramnya.
Dengan demikian, ungkapan yang menyatakan bahwa “Seorang
tunangan laki-laki mempunyai setengah kewajiban dari calon istrinya”, tentu merupakan
pernyataan dan sikap yang tidak memiliki dasar sama sekali. Dengan ungkapan
lain; bahwa orang yang
bertunangan tidak memiliki kewajiban maupun hak untuk memberi dan mendapatkan
nafkah baik lahir (sandang, pangan dan papan) maupun nafkah bathin. Namun jika yang dimaksudkan itu adalah kewajiban untuk
menjaga janji atau kesepakatan bersama atau menjaga nama baik masing-masing
pihak, maka itu merupakan kewajiban setiap orang yang menjalin perjanjian atau
hubungan kerjasama (mu’amalah) selama hal tersebut tidak bertentangan dengan
norma dan hukum agama. Oleh sebab itu, sebagai sebuah tradisi yang dilakukan
oleh sebagian masyarakat, tradisi tunangan perlu diatur dan diberikan rambu-rambu
atau ketentuan-ketentuan agar tidak
bertentangan dengan syari’at agama, antara lain:
1.
Laki-laki dan wanita yang menjalin ikatan pertunangan
tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum agama Islam,
sepeti bersentuhan, berduaan, atau tinggal serumah layaknya pasangan suami-istri
serta berbagai tindakan yang dilarang oleh agama. Karena hakekatnya laki-laki
dan perempuan yang bertunangan merupakan pasangan yang bukan mahramnya sehingga
belum bisa secara leluasa untuk melakukan berbagai tindakan sebagaimana halnya
pasangan suami-isteri, sebagaiman ditegaskan dalam hadis Nabi saw:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا
يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ. (رواه البخاري ومسلم)
“Dari
Ibnu Abbas dari Nabi saw.,
beliau bersabda: "Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
2.
Hendaknya saling menjaga nama baik diri dan keluarga
besar masing-masing pihak, dengan tidak menceritakan aib atau kekurangan pihak
lain serta tidak melakukan berbagai tindakan dan pernyataan yang dapat merusak
nama baik diri maupun keluarga besarnya.
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ
سَالِمًا أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي
حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ
كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ
سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (رواه البخاري ومسلم)
“Dari Ibnu Syihab bahwa Salim mengabarkannya bahwa Abdullah bin Umar ra. mengabarkannya
bahwa Rasulullah saw.
bersabda: "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak boleh
menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Barangsiapa yang
membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Barangsiapa
yang menghilangkan suatu kesusahan
seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari
kesusahan-kesusahan hari qiyamat. Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari qiyamat". (HR. al-Bukhari dan Muslim)
3.
Menjaga dan menepati janji yang telah diikrarkan
di hadapan keluarga besarnya. Karena melanggar janji merupakan perbuatan
tercela dan termasuk ciri-ciri orang munafik.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ
ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.
(رواه البخاري ومسلم)
“Dari Abu Hurairah dari Nabi saw.,
beliau bersabda: "Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika
berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat". (HR. al-Bukhari dan Muslim)
4.
Pada prinsipnya, seseorang tidak boleh mengambil
kembali barang yang telah diberikan kepada pihak lain, kecuali jika terjadi
pengkhianatan terhadaap kesepakatan yang telah diikrarkan sejak awal, hal ini
didasarkan pada hadis Nabi saw:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ. (رواه
البخاري ومسلم)
“Dari Ibnu Abbas ra. dari Rasulullah saw., beliau bersabda: "Orang yang menarik (mengambil) kembali pemberiannya, seperti
seekor anjing yang muntah dan memakan (menjilat) kembali muntahannya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
5.
Seseorang yang sudah berniat untuk menikah, sepatutnya
segera menikah tanpa harus menunggu-nunggu atau menunda-nunda, baik dengan cara
bertunangan atau sejenisnya untuk menghindari sesuatu yang dilarang oleh agama
seperti berkhalwat (berdua-duaan),
pegang-pegangan dan tindakan lain yang dilarang oleh agama.
عَنْ
عَلْقَمَةَ قَالَ ... لَقَدْ قَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ
وِجَاءٌ. (رواه البخاري ومسلم)
“Dari Alqamah, ia berkata: Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda kepada
kita: 'Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah mempunyai
kemampuan, maka hendaklah ia menikah, dan barangsiapa yang belum mampu,
hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih bisa meredakan gejolaknya.' (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Namun jika hal tersebut dilakukan karena pertimbangan
tertentu yang sangat vital, maka hendaknya dilaksanakan layaknya silaturrahim dua
keluarga besar untuk menjalin sebuah komunikasi dan komitmen tentang masa depan
hubungan anaknya sebelum melangkah ke pelaminan (ta’aruf), serta
menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama seperti berduaan (berkhalwat),
tinggal serumah, berpegangan, maupun mengadakan kegiatan (seremonial) yang
berlebihan (tabzir). Karena sesuatu
yang disyari’atkan dalam konteks pernikahan adalah; khitbah untuk mengenal
calon pasangan, akad nikah dan walimah, dan bukan dengan cara-cara yang tidak
dituntunkan oleh agama serta membuka peluang terjadinnya pelanggaran terhadap
ajaran agama. Demikian jawaban dari kami. Wallahu A’lam bis Shawab. (Ruslan Fariadi)
Leave a Comment