Sidang Itsbat (Memang) Tak Diperlukan
SIDANG ITSBAT (MEMANG) TIDAK DIPERLUKAN
(Tulisan Ini Pernah dimuat dalam Koran Kedaulatan Rakyat)
Oleh: Ruslan Fariadi, M.S.I.*)
Dalam banyak pertemuan dan diskusi ilmiah sering muncul
statment yang menyakan; “Orang Barat sudah berhasil menginjak dan mengencingi
bulan, tetapi umat Islam (Indonesia) masih sibuk berdebat tentang cara
mengintip dan menentukan awal bulan. Bahkan satu-satunya peradaban besar dunia
yang sampai saat ini tidak memiliki kalender pemersatu internasional adalah
umat Islam, karena sebagian besar mereka sangat fanatik terhadap metode
rukyat.”
Statment tersebut mestinya dapat menjadi sebuah sindiran
tajam yang langsung menusuk jantung kesadaran dan kecerdasan umat Islam dalam
memahami ajaran agamanya secara tepat dan benar sehingga Islam shalihun li
kulli zaman wal makan (up to date) dan tidak terpaku dengan metode
dan pendekatan yang sangat tradisional dan tidak berkemajuan.
Dalam konteks
penentuan awal bulan, sebagian pihak sering kali menjadikan ayat dan hadis yang
secara harfiah bicara tentang “melihat hilal” untuk mendukung perlunya sidang
itsbat berdasarkan metode yang diyakininya. Padahal penggunaan ayat dan hadis
seperti itu tentu tidak tepat dan terlalu dipaksakan. Sebab ayat dan
hadis-hadis yang dikemukakan dengan pemahaman harfiah mereka itu berbicara
tentang rukyat (melihat dengan mata), bukan dengan imkanurrukyat sebagaimana
yang diklaim digunakan oleh kementerian agama dalam sidang itsbatnya.
Di sisi lain, ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi
yang secara harfiah berbicara tentang rukyat, bukan hanya menjadi argumentasi primer
kelompok rukyat dan sidang itsbat, tetapi juga menjadi salah satu argumentasi
kelompok lainnya. Karena itu perbedaan sikap umat Islam dalam persoalan ini, lebih
pada persoalan perbedaan interpretasi dan konsistensi logika berfikir mereka.
Secara
substansi, perbedaan metode pemahaman terhadap ayat dan hadis “tentang rukyat” memiliki
kesamaan dengan metode pemahaman terhadap beberapa persoalan lain seperti; hukum
bersentuhan kulit antara suami dan istri, apakah membatalkan wudlu ataukah
tidak. Baik yang mengatakan batal atau tidak sama-sama menggunakan QS.5:6 sebagai
dalil primernya, namun dengan metode pemahamn yang berbeda. Bagi yang memahami
secara harfiah mengatakan batal, sedangkan yang mengatakan tidak batal memahami
ayat tersebut secara komprehensif, mereka mengkoneksikan ayat tersebut dengan
sababun nuzulnya, serta hadis lain yang berfungsi sebagai the first
interpreter of qur’an (al-mubayyin wa al-mufassir al-awwal).
Contoh lain
tentang perintah bersiwak (membersihkan gigi), jika difahami secara harfiah hadis
Nabi memerintahkan menggunakan siwak (kayu sugi) dan bukan mengunakan sikat dan
pasta gigi. Ketika Rasulullah saw menentukan masuknya waktu shalat beliau
mengukur antara panjang bayangan dengan bendanya dan bukan menggunakan jam
tangan atau sejenisnya. Begitu pula untuk melaksanakan manasik haji sebagaimana
yang dicontohkan oleh Nabi; “Khudzu ‘anni manasikakum” (kalian harus
mengikuti cara saya melaksanakan haji). Jika hadis tersebut difahami secara
harfiah, maka seseorang harus berangkat haji dengan unta bukan dengan pesawat
terbang, wukuf di atas punggung unta dan bukan di bawah tenda, dan seterusnya.
Maka di
sinilah, dibutuhkan kecerdasan dalam membedakan antara tujuan dan sarana, antara
sesuatu yang bersifat tsawabit (konstan, tidak berubah) dan mana yang mutaghayyirat
(berubah dan sarana). Jika nabi menentukan awal bulan dengan rukyat (melihat
tanpa alat bantu), karena itulah cara yang paling mudah dan dapat dilakukan
pada saat itu dan bukan menggunakan teropong maupun perhitungan ilmu
hisab/falak.
Metode
penentuan awal bulan menurut sidang istbat memiliki banyak kerancuan dan
kelemahan, salah satunya adalah metode yang digunakan; apakah menggunakan hisab
hakiki, rukyat ataukah imkanurrukyat atau lainnya.
Jika sidang istbat menggunakan metode imkanurrukyat 2 derajat, lalu
mengapa melakukan rukyat sampai menelan biaya ratusan juta hingga milyaran
rupiah ? Padahal jika ada yang berhasil melihat hilal dibawah ketinggian 2
derajat pasti akan ditolak, sekalipun mereka siap untuk disumpah. Dan jika menggunakan rukyat, mengapa sidang istbat harus
mematok ketinggian hilal minimal 2 derajat ? Dan jika alasannya menggabungkan
antara rukyat dan imkanurrukyat, berarti mereka tidak
mengakomodir metode-metode lain yang digunakan oleh ormas Islam seperti tanpa terpaku
pada derajat tertentu (wujudul hilal) dan lainnya.
Padahal di
sisi lain, ketua umum sebuah organisasi Islam di Indonesia yang mendominasi sebagai
peserta sidang istbat dengan tegas mengatakan bahwa organisasinya konsisten
menggunakan rukyat (melihat hilal dengan mata kepala), sekalipun dalam
prakteknya mereka menolak kesaksian orang/organisasi yang siap disumpah telah
melihat hilal hanya karena ketinggiannya belum mencapai 2 derajat. Padahal
Rasulullah menerima kesaksian orang Badui (orang desa) setelah disumpah telah
melihat hilal. Terlebih lagi mematok ketinggian hilal 2 derajat merupakan
sesuatu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara syar’i dan diperdebatkan
oleh kalangan ahli astronomi, bahkan ada organisasi yang mematok hingga ketinggian
4 derajat.
Atas dasar
berbagai pertimbangan, sidang istbat tidak diperlukan, karena tidak akomodatif,
menghamburkan uang negara terhadap sesuatu yang sesungguhnya sudah dapat
dipastikan jawabannya. Oleh sebab itu, alangkah bijak jika kemenag tidak
menghamburkan uang negara dan menjadi institusi yang berdiri di tengah,
mencerdaskan ummat, dan menyadarkan ummat untuk toleran dan bukan menjadi
pemain yang merusak kerukunan umat. (Ruslan Fariadi, M.S.I.
Peminat masalah sosial keagamaan)
Leave a Comment