Metodologi Kontemporer Studi Islam Perspektif Ibrahim M. Abu Rabi’


A.  Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah dunia Barat sejak abad ke XIV tidak dapat dipisahkan dari dunia Islam. Karena hubungan antara Barat dengan dunia Islam sudah terjalin sejak Turki menguasai Konstantinopel sekitar tahun 1453 M. Namun di sisi lain, sejarah perkembangan intelektual umat Islam hingga era moderen selalu mengalami polemik, terutama jika Islam dikaitkan dengan kehidupan umatnya. Salah satu faktornya adalah karena tidak adanya perhatian dunia akademik secara memadai dalam melakukan kajian terhadap konteks sosial umat Islam. Hal ini disebabkan pula karena Islam mengandung dua sisi yang sering kali mengalami kesenjangan, yaitu Islam sebagai sebuah norma dan Islam sebagai sebuah perjalanan sejarah. Atau dengan kata lain kesenjangan antara Islam normative dan Islam historis. Mengomentari realias tersebut, Fazlur Rahman mengatakan bahwa antara wahyu dan sejarah (konteks sosial) merupakan hubungan yang saling berbelit. Karena selama ini al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber otoritas Islam selalu ditengahi oleh realitas sejarah dan budaya yang ada dalam masyarakat Muslim.[1]
Sejatinya kajian keislaman (dirasat Islamiyyah) selalu berjalan dinamis dan berkembang sebagaimana kajian keilmuan pada umumnya. Namun justru sebaliknya, kajian keislaman (dirasat al-Islamiyah) terasa mengalami stagnansi atau tidak mengalami perkembangan yang signifikan, di saat berbagai problematika keumatan terus berkembang. Kalaupun terdapat kajian-kajian keislaman yang dilakukan oleh insider umat Islam, umumnya terkesan monoton dan miskin pendekatan dan metodologi. Semestinya kajian keislaman harus membuka diri terhadap pendekatan dan metodologi yang saat ini terus berkembang.
Melalui kajian sejarah pemikiran Islam, Muhammad M. Abu Rabi’ berusaha membuka kevacuman tersebut dan menyadarkan para intelektual untuk memahami betul peran dan fungsinya dalam menggiatkan studi Islam dengan perspektif keilmuan yang berkembang saat ini. Persoalan yang kian menggurita dan semakin kompleks tidak dapat dijelaskan secara memuaskan oleh teori kajian Islam klasik yang hanya terfokus pada kajian teks. Menurutnya, studi Islam harus terbuka dan membuka diri terhadap disiplin-disiplin keilmuan yang ada saat ini.[2]
Berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan negeri Muslim khususnya, dan di dunia global pada umumnya, pada kurun satu dekade lebih- setidaknya menyadarkan betapa Islam, baik dari aspek normative maupun historis selalu memiliki daya tarik untuk dikaji dan diperbincangkan. Kondisi tersebut tidak berlebihan mengingat bahwa kajian atas Islam terus mengalami pembaharuan yang signifikan khususnya pasca tragedi serangan 11 September 2001 khususnya yang dilakukan oleh pemikir non Muslim (outsider).
Kesenjangan antara idealitas Islam sebagai agama yang cinta damai (rahmatan lil ‘alamin) dan berkemajuan dengan kenyataan berbagai peristiwa kekerasan atas nama agama serta kondisi ketertinggalan umat Islam saat ini adalah fakta yang harus diselesaikan. Upaya penyelesaian atas problem tersebut sebenarnya telah beberapa kali dilakukan oleh pemikir-pemikir Islam sebelumnya, seperti Hasan Hanafi, Abed al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid dan sebagainya. Hanya saja, kajian yang dilakukan oleh mereka cenderung berkaitan dengan upaya rekonseptualisasi teks dan turas.[3] Bagi mereka, perlu sebuah kajian dan pembacaan kontemporer (qira’ah mu’ashirah) - dengan pembaruan epistemologi misalnya- terhadap teks dan turas Islam sehingga mampu menelurkan pemahaman yang komperhensif dan progresif dalam menghadapi problematika saat ini.[4]
Selain kontribusi pemikiran dari tokoh-tokoh tersebut, terdapat corak berbeda yang tampaknya dapat dilakukan dalam upaya menganalisis problematika umat Islam saat ini. Corak tersebut setidaknya dapat diperhatikan dari pemikiran Ibrahim M. Abu Rabi’ yang dengan berdasarkan pada kajian sosio-historis, Abu Rabi’ berupaya mengelaborasi berbagai problematika umat Islam terkait dengan kondisi historisnya. Makalah mengulas tentang pemikiran Ibrahim M. Abu Rabi’ tentang problem studi Islam kontemporer.

B.  Biografi Ibrahim M. Abu Rabi
Ibrahim M. Abu-Rabi 'adalah Profesor dan Ketua Dewan Komunitas Muslim Edmonton dalam Studi Islam di Departemen Sejarah dan Klasik di Universitas Alberta, Edmonton, Kanada. Bidang spesialisasi akademis utamanya adalah Timur Tengah dan Hubungan Internasional.  Beliau meraih gelar Ph.D. dalam Studi Islam, dengan konsentrasi dalam Pemikiran Islam Modern dan Budaya Islam Komparatif, dari Departemen Agama Universitas Temple pada tahun 1987. Disertasinya berjudul, Islam and Search for Social Order in Modern Egypt: An Intellectual Biography of Shaykh al-Azhar ‘Abd Halim Mahmud (Islam dan Mencari Tatanan Sosial di Mesir Modern: Biografi Intelektual Syaikh al-Azhar 'Abd al-Halim Mahmud). Sebelumnya, dia mendapatkan gelar MA dalam Religious Studies dari Temple University (1983) dan MA dalam Political Science dari University of Cincinnati (1982). Prof. Abu-Rabi lahir dan bersekolah di sekolah dasar dan menengah di Nazaret, Galilea, Palestina. Dia fasih berbahasa Inggris, Arab, Ibrani, Prancis, Jerman, dan Turki.
Prof. Abu-Rabi 'mengajar di banyak institusi pendidikan tinggi, termasuk Institut Al-Fatih al-Islami di Damaskus, Suriah; Institut Becket di Universitas Oxford; Institut Internasional Pemikiran dan Peradaban Islam (ISTAC) di Kuala Lumpur, Malaysia; Universitas Islam Internasional di Daru El-Ehsan, Malaysia; Institut Ekumenis Tantur di Yerusalem; Virginia Commonwealth University (tempat dia menjadi Asisten Profesor Studi Islam di Departemen Filsafat dan Studi Keagamaan); Universitas Temple; Union Theological Seminary di Kota New York; Universitas Cincinnati; dan University Texas di Austin. Beliau menjadi Profesor Studi Islam dan Hubungan Kristen-Muslim yang dikagumi di Hartford Seminary di Hartford, Connecticut 1991-2008; dan dari tahun 2009 sampai beliau wafat. Beliau adalah Profesor Sejarah dan Ilmu Politik dan Ketua Dewan Komunitas Muslim Edmonton dalam Studi Islam di Universitas Alberta di Edmonton, Kanada. Di antara banyak kursus yang dia ajarkan adalah Islam modern; Alquran; Kehidupan Nabi Muhammad [Sirah]; Mistisisme dan Praktek Devosional Islam; Sejarah Intelektual Islam Modern dan Kontemporer; Sejarah Modern Timur Tengah dan Afrika Utara; Sejarah Modern Indonesia; Islam dan Barat; Hubungan Kristen-Muslim; Budaya Muslim komparatif; dan Sejarah Filsafat Islam.
Prof. Abu-Rabi 'menjabat sebagai Co-Director dari Macdonald Center for Study of Islam and Christian-Muslim Relations di Hartford Seminary; Editor Senior Dunia Muslim, akademisi kawakan dari Studi Islam; Koordinator Forum Luce dalam agama-agama Ibrahim, yang dikelola bersama oleh University of Hartford dan Hartford Seminary; dan Ketua Program Konferensi Tahunan Dewan Amerika untuk Studi Masyarakat Islam.[5]
Melihat pengembaraan intlektual, pengalaman serta wawasan keilmuannya, maka tidak mengherankan jika kompetensi yang dimilikinya kemudian melahirkan berbagai karya terkait problematika pemikiran Islam kontemporer, studi agama-agama dan studi Islam. Selain disertasinya yang berjudul “Islam and Search for Social Order in Modern Egypt: An Intellectual Biography of Shaykh al-Azhar ‘Abd Halim Mahmud”, Abu Rabi’ terhitung sebagai penulis yang sangat produktif dengan karya-karya yang juga kontributif. Di antara karya-karya yang pernah ditulisnya adalah: (1) Buku: Work in Progress Neolibralism and Its Discontent: Studies in Post-1967 Arab Thought; Intellectual Origins of Islamic Resurgrnce in The Modern Arab World (New York: State University Of New York Press, 1996); Islamic Resurgence and The Challenge of The Contemporary World: A Round-Table Discussion with Professor Khurshid Ahmad (Tampa: The World and Islam Institute, 1995); The Pearls of Wisdom by the North African Mystic Ibn al-Sabbagh (Albany: State University of New York Press); The Blackwell Companion to Contemporary Islamic Thought (Oxford: Blackwell Publishing, 2006); Contemporary Arab Thought: Studies In Post-1967 Arab Intellectual History (London: Pluto Press, 2004) . (2) Artikel: A Post September 11 Critical Assesment of Modern Islamic History (2002); Between Sacred Text and Cultural Constructions: Modern Islam as Intellectual History (2000); Arabism, Islamism, and The Future of The Arab World: A Review Essay (2000); Globalization: A Contemporary Islamic Response? (1998); An Islamic Response to Modernity (1998).[6]
Karya lainnya adalah; Pembaca Arab Kontemporer tentang Islam Politik (Pluto / University of Alberta 2010); Theodicy dan Keadilan Sosial dalam Pemikiran Islam Modern (Ashgate 2010); Dimensi Spiritual Bediuzzaman Said Nursi's Risale-i-Nur (SUNY 2008); Percakapan Islam Kontemporer: M. Fethullah Gulen di Turki, Islam, dan Barat (SUNY 2008); Sahabat Blackwell terhadap Pemikiran Islam Kontemporer (2006); Islam di Persimpangan: Tentang Kehidupan dan Pemikiran Bediuzzaman Said Nursi (SUNY 2004); Modernlik ve Cagdash Islam Dushuncesi (Yonelish 2003); Asal Intelektual Kebangkitan Islam di Dunia Arab Modern (SUNY 1996); dan Mutiara Kebijaksanaan oleh Mistik Afrika Utara Ibn al-Sabbagh (SUNY 1996). Dia juga menerjemahkan beberapa buku dari bahasa Inggris ke bahasa Urdu, Turki, Arab, Bosnia, dan Jerman, dan dari bahasa Arab ke bahasa Inggris.[7]
Prof. Abu-Rabi 'adalah penerima berbagai penghargaan, termasuk beasiswa empat tahun dari Universitas Birzeit; sebuah persekutuan penelitian dan beasiswa pengajaran dari Universitas Cincinnati; beasiswa penelitian, beasiswa disertasi, dan beasiswa post-doktoral dari Temple University; Beasiswa Kunjungan di Institut Al-Fatih al-Islami di Damaskus; Beasiswa Kunjungan Senior di Institut Internasional Pemikiran dan Peradaban Islam (ISTAC) di Kuala Lumpur; Senior Fulbright Fellowship di Singapura dan Indonesia; sebuah Fulbright Fellowship di Asia Tenggara; Beasiswa Kunjungan Russell Tolson di Pacific School of Religion di Berkeley, California; Senior Research Fellowship di St. Hughes College of Oxford University; sebuah Fellowship Research di Institut Internasional Pemikiran Islam di Herndon, Virginia; sebuah Fulbright Fellowship di Program Peradaban Timur Tengah di Maroko, Mesir, dan Suriah; sebuah Lembaga Bantuan Hibah Amerika yang Bersatu; sebuah Yayasan Rockefeller Fellowship di Institut Studi Literatur, Agama, dan Masyarakat di Timur Tengah Kontemporer dari Pusat Studi Timur Tengah di University of Texas di Austin; sebuah Yayasan Virginia untuk Hibah Humaniora; dan Beasiswa Fulbright Senior di Institut Pertahanan dan Studi Strategis di Nanyang Technological University di Singapura dan di Program Pascasarjana Studi Keagamaan Universitas Gajah Mada di Yogyakarta.
Beliau memegang keanggotaan di American Academy of Religion; Institut Timur Tengah; Asosiasi Studi Timur Tengah; dan Konferensi Agama untuk Perdamaian Amerika Serikat, New York.[8]

C.      Plus-Minus  Studi Islam oleh Insider dan Out Sider
Sebelum membahas tentang pandangan Ibrahim M. Abu Rabi’ seputar problematika studi Islam kontemporer, terlebih dahulu perlu dibahas pandangan tentang plus-minus studi Islam yang dilakukan baik oleh insider maupun outsider. Dalam sub judul ini dikemukakan pandangan tiga pengkaji keislaman baik luar maupun dalam negeri yang termasuk kategori “a Participant as Observer”.
Pertama; pandangan Abdul Rauf, menurutnya: Kesadaran akan materi pembahasan Muslim dan non-Muslim muncul dalam konflik antara Muslim  Timur Tengah dengan Kristen Barat selama masa pertengahan. Sejalan dengan kemunduran negeri-negeri Muslim dan berada di bawah penjajahan Barat beberapa abad lamanya, dua konsep simultan tentang studi Islam muncul, satu di luar dunia Muslim (outsider) dan lainnya di dunia Muslim (insider). Kebanyakan pembaca Barat lebih dekat dengan karya-karya dan kritik Islamis Barat tentang Islam, dan kurang akrab dengan dampak dari kajian para sarjana Muslim yang telah berusaha mempertahankan tradisi mereka sesuai dengan sumber, standar, dan kriteria yang berasal dari al-Qur’an dan sunnah Nabi.[9]
Di sisi lain, studi Islam di barat juga perlu diuji. Dengan rasa ingin tahu dan metode spekulatif , para sarjana Barat dirangsang melalui kontak mereka dengan kebudayaan Timur. Studi-studi mereka kurang deskriptif dan analitis, tetapi lebih bersifat historis dan terkaan. Persoalan-persoalan tentang asal usul Islam, derivasi pengetahuan dan gagasan-gagasan Nabi, kronologi susunan ayat-ayat al-Qur’an, otentisitas hadis, dan materi-materi lainnya, menjadi topik besar penelitian. Disamping karya-karya mereka lebih banyak meninggalkan terkaan, metode-metode yang mereka gunakanpun jauh dari “bidang” yang dimaksudkan untuk menjelaskan Islam.[10]
Namun demikian, minat terhadap studi Islam di institusi-institusi Barat bukan tanpa manfaat. Bahkan ia memperkaya kepustakaan tentang Islam dari berbagai segi, dan ia memaparkan tantangan bagi keilmuan Muslim. Para orientalis yang jujur dan terbuka adalah isntrumen yang menjelaskan beberapa capaian peradaban Islam kepada masyarakat Barat. Tetapi mereka juga berbahaya, ketika atas nama ilmu, asal-usul Islam dijelaskan sebagai muncul dari fenomena ekonomi atau budaya lain, begitu pula dengan klaimnya yang unik atas para pengikutnya.[11]
Muslim dari semua generasi yakin bahwa semua teks al-Qur’an diwahyukan oleh Allah kepada Nabi dan disampaikan kepada sahabatnya, lalu dihafalka sambil adanya upaya penulisan al-Qur’an yang dilakukan pada masa Nabi. Namun empat belas abad kemudian, upaya serius terus dilakukan untuk mengemukakan tuduhan yang sering didasarkan pada asumsi yang salah dan tida layak, yang mengklaim sebagian teks al-Qur’an telah ditambah dan diubah sebagai akibat dari proses suntingan. Bukti untuk asumsi ini murni bersifat hipotesis, dengan asumsi bahwa tangan manusia memainkan peran dalam membentuk teks? Program penelitian semacam ini tidak sekedar melukai hati nurani jutaan  Muslim, tetapi juga menyesakkan dan tidak pantas untuk dipandang sebagai keilmuan. Lalu apakah studi Islam Barat pada hakekatnya salah arah atau berbahaya ? ini juga merupakan sikap buta terhadap capaian-capaian yang telah didapat oleh banyak non Muslim.[12]
Kedua, pandangan Fazlur Rahman ketika menanggapi statment yang dikemukakan oleh Abdul Rauf. Menurutnya, problem salah paham dan salah tafsir adalah hal biasa dalam semua pengalaman manusia, termasuk ilmu-ilmu alam, dimana seorang ilmuan bisa salah memahami atau menafsirkan eksprimennya. Untuk membuktikan hasil-hasil ilmu yang salah relatif mudah karena kita bisa memverifikasinya.
Namun demikian, ketika sampai ke wilayah agama, seseorang dihadapkan pada fenomena  yang terdiri dari nilai, keyakinan, dan perasaan yang melibatkan kedalaman pikiran atau psikis manusia. Agama memiliki ekspresi yang dapat diamati dan kendaraan yang dapat diukur atau manifestasi yang terlembaga, seperti yang ditunjukkan J. Waardenburg. Dapatkah orang luar memahami makna itu secara memadai jika tidak secara sempurna? Jika partisipasi diperlukan, persoalannya adalah apakah semua orang beriman atau pengikut agama tertentu, yaitu seluruh anggota komunitas agama yang ada, dapat memahami agama mereka secara memadai, jika tidak secara sempurna?[13]
Ketiga, pandangan Prof. Dr. M. Amin Abdullah. Menurutnya, Fazlur rahman, M. Arkoun, Hassan Hanafi, dan Bassam Tibbi, mereka sepakat bahwa aspek normativitas al-Qur’an adalah “ghairu qabilin li al-taghyir wa al-niqas”, tetapi mereka juga menggarisbawahi peran historisitas kekhalifahan manusia yang bersifat “qabilun li al-niqas wa al-tahgyir”. Tren pemikiran Islam ini melihat “tradisi” keilmuan Islam sebagai gugusan pemikiran yang tidak taken for granted. Mereka lebih melihat tradisi keilmuan Islam sebagai hasil akumulasi pengalaman sejarah kemanusiaan “biasa” yang selalu terikat oleh keadaan, ruang dan waktu (ghairu ma’shum). Tradisi yang sudah ada itu dapat dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan wilayah pengalaman manusia beragama itu sendiri. Mereka sadar betul bahwa muatan pengalaman manusia beragama abad tengah dan abad modern sangat jauh berbeda; meskipun dalam aspek normativitasnya tidak banyak berbeda. Mereka lebih melihat aspek etika sosial dan spiritualitas keberagamaan Islam yang bersifat inklusif-terbuka, bukan aspek legal-formal yang lebih menonjolkan eksklusifitas-tertutup.[14]
Rumusan piramida tradisi keislaman yang tercermin dalam kalam, fiqh dan taswwuf tidak lain dan tidak bukan adalah hasil rumusan manusia biasa, yang tidak luput dari campur tangan “ideologi” yang berkembang saat itu, meskipun di sana sini dibalut dengan petikan wahyu dan hadis Nabi. Ideologi yang hidup pada saat bangunan piramida keilmuan itu dibangun cukup mewarnai corak dan bentuk serta isi tradisi keilmuan Islam yang dimaksud. Pendekatan filsafat ilmu, pendekatan sociology of knowledge (sosiologi ilmu pengetahuan) serta pendekatan kesejarahan seperti ini sangat mewarnai pemikiran Islam model ini. Jika “tradisi” keilmuan Islam tertentu merupakan produk zaman yang mengitarinya, maka tradisi itu dapat saja dibahas, dikupas, dikritik, dan dianalisis, sehingga tampak mana aspek normativitasnya dan mana aspek historisitasnya; mana aspek tujuan, mana aspek alat (mana yang Tsawabit dan mana yang al-mutaghayyirat); mana dimensi “universalitas” dan mana dimensi “partikularitas” nya.[15]
Tradisi keagamaan apapun - bukan dogma agamanya - dapat saja ditelaah secara kritis. Jika tradsisi tidak boleh dilihat secara kritis-historis, maka secara pelan tapi pasti, akan terjadi proses ”intlectual suicide” atau proses “taqdis al-Afkar al-diny”. Bahkan, jika proses taqdis al-afkar al-diny tadi melenceng jauh dari sasaran, dalam arti bahwa pemikiran keagamaan bercampur aduk dengan kepentingan politik tertentu, maka akan terjadi proses penyimpangan dan distorsi dalam keberagamaan manusia, bahkan sangat dimungkinkan dapat terjadi “manipulasi” yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Jika proses penyimpangan seperti itu berjalan dan berlangsung lama, antargenerasi, bahkan berabad-abad, maka akan sulit sekali dibedakan mana ajaran agama yang “asli”  dan mana aspek interes (kepentingan) yang bersifat duniawi semata. Jika benang kusut itu tidak terurai secara jelas, maka salah satu akibatnya adalah terjadi proses kemandegan pemikiran, fanatisme, dogmatisme, tidak dialogis, truth claim, monopoli al-haq, yang besar pengaruhnya dalam dinamika kehidupan sosial secara umum.[16] Lalu bagaiman sikap Rabi’ dalam persoalan ini ?

D.  Metodologi Kontemporer Studi Islam Ibrahim M. Abu Rabi’
Dilihat dari karya-karya dan konsetrasi keilmuannya, sangat jelas Abu Rabi’ lebih tertarik mengkaji Islam dari prespektif historis-empirik. Abu Rabi’ tidak lagi tertarik untuk melalukan ide-ide pembaharuan yang bersifat normatif-dogmatis yang berlandaskan pada teks keagamaan. Setidaknya, ini merupakan cermin awal untuk mengungkap kegelisahan akademik yang beliau hadapi. Terdapat beberapa persoalan yang disampaikan oleh Abu Rabi’ terkait kondisi Islam saat ini, umat manusia memasuki sebuah era yang sulit untuk didefinisikan. Tercatat pasca renaissance dan revolusi industry yang terjadi di Eropa dan Amerika, nyaris perkembangan sistem ekonomi, politik, dan sosial begitu bergeliat, khususnya di Dunia Barat.[17] Modernisasi di berbagai aspek serta capaian yang menakjubkan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan Dunia Barat sebagai pionir sekaligus prototipe di berbagai belahan dunia. Capaian atau kemajuan ini kemudian secara perlahan melakukan penetrasi dan penguasaan terhadap berbagai budaya, tidak terkecuali budaya Islam. Budaya materialisme dan liberalisme menjadi arus deras yang sulit dihentikan dan dianggap sebagai upaya imperialisme dan kolonialisme model baru.[18]
Menghadapi kenyataan tersebut, respon umat Islam beragam dan bervariasi.[19] Abu Rabi’ mencatat bahwa setidaknya pada abad ke-18 dan ke-19 terdapat tiga bentuk reaksi umat Islam terhadap kejayaan Eropa, yaitu:

Pertama: Modernisasi
Modernisasi yang dilakukan oleh umat Islam ditandai dengan perjuangan Dinasti Utsmani untuk melakukan berbagai pembaharuan di kerajaannya. Pelopor modernisasi di Turki adalah para elit politik, birokrat, intelektual serta ulama. Keterlibatan ulama dalam modernisasi tidak terlepas dari upaya untuk menjaga umat. Namun demikian, modernisasi ini tidak seutuhnya berhasil karena tidak dapat mencegah runtuhnya otoritas politik Dinasti Utsmani pada akhir Perang Dunia I (1914-1918). Akan tetapi, sebelum keadaan menjadi lebih buruk, para intelektual Turki mulai mengadopsi westernisasi dan sekulerisasi sebagai solusi selanjutnya. Program modernisasi yang terkenal dengan nama tanzimat digalakkan oleh pemerintah pusat dalam menghadapi ancaman Eropa.[20]
Tanzimat adalah suatu gerakan pembaharuan di Turki yang awalnya merupakan modernisasi di tubuh Turki Usmani, yaitu (utamanya) modernisasi dalam kemiliteran dan kecendrungan elit birokrasi untuk meniru gaya hidup kelas atas di Barat akibat ketertarikan atas masyarakat sipil Barat. Program ini dilakukan oleh Mustafa Rasyid Pasya dan Mehmed Sadik Risyad Pasya yang kemudian diikuti dengan lahirnya piagam humayun, yang berisi tentang kedudukan orang Eropa, Usmani Muda, dan Turki Muda. Gerakan ini kemudian melahirkan pembaharuan yang dilakukan di bawah pimpinan Mustafa Kemal Attaturk.
Tanzimat ini diadopsi untuk dijadikan kebijakan modernisasi secara top-down. Untuk menyelamatkan Turki, satu-satunya jalan adalah memahami betul wacana nasionalisme, sekularisme, dan modernisasi. Bagi Muslim dengan tipologi ini, modernisasi adalah keharusan dalam menjawab berbagai ketertinggalan umat Islam saat ini.[21]

Kedua: Nasionalisme
Nasionalisme merupakan ide dan semangat yang dikobarkan pada fase kedua abad ke-19 sebagai respon atas kesulitan dunia Muslim menghadapi tantangan dan perkembangan bangsa Eropa. Merujuk pada pendapat Anderson, Nasionalisme diartikan oleh Abu Rabi’ sebagai pandangan tentang negara yang terbatas, tidak seperti pandangan tentang keumuman sebagaimana yang muncul dalam tradisi Kristen (Christendom) dan Islam (Ummah). Abu Rabi’ menegaskan bahwa gerakan-gerakan nasionalisme inilah yang menggiring bangsanya berjuang melawan penjajahan meskipun pada faktanya mereka sama sekali tidak memakai jargon-jargon agama dalam pidato atau orasi kebangsaannya. Contoh gerakan nasionalisme ini adalah yang dipimpin tokoh-tokoh seperti: Soekarno di Indonesia, Kemal Attaturk di Turki, Mohammad Ali Jinnah di Pakistan dan Gamal Abd al-Naser di Mesir.[22]
Untuk melawan imperialisme, nasionalisme diarahkan pada dua hal, spiritual dan institusional. Secara spiritual, nasionalisme berupaya mencari kepastian akan kedaulatan negara, masa lalu dan identitas budaya. Sedangkan secara institusional, nasionalisme berusaha membangun negara dengan belajar ilmu pengetahuan Barat dan pembangunan institusi Barat. Kedua fungsi nasionalisme ini diadopsi Abu Rabi’ dari Partha Chatterjee.

Ketiga: Revivalisme Islam
Revivalisme Islam merupakan bentuk respon lain atas tantangan kolonialisme. Menurut Esposito, ihya’ (menghidupkan) dan tajdid (pembaharuan) adalah dua kata kunci dalam revivalisme Islam. Menurut kelompok ini, Islam bukanlah masalah, artinya bahwa kemunduran dan stagnansi dunia Islam bukan disebabkan oleh Islam, bahkan sebaliknya Islam adalah solusi. Stagnansi yang terjadi di dunia Islam lebih disebabkan karena umat Islam tidak mau berpegang teguh pada ajaran Islam. Oleh karena itu, kembali kepada Islam adalah seruan sekaligus jalan satu-satunya untuk mengembalikan kejayaan Islam. Meminjam istilah Syakib Arselan; “Taraka al-Muslimuna adyanahum fataakhkharu, wa taraka al-Masihiyun adyanahmum fataqaddamu”.
Abu Rabi’ membagi revivalisme Islam menjadi empat periode: (1) Pra kolonial, ditandai dengan gerakan Wahabi pada awal abad ke-18 yang berfokus pada usaha-usaha pemurnian Islam di bidang hukum Islam dan teologi; (2) Kolonial, seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama di Indonesia yang berdiri pada abad ke-20, serta al-Ikhwan al-Muslimun pada 1928 di Mesir dan Jama’ah Islamiyah di India. Gerakan atau organisasi era ini bergerak dalam kemajuan pendidikan dan perlawanan terhadap penjajah; (3) Pasca-kolonial, terbentuknya bangsa-bangsa di Dunia Muslim pada pertengahan abad ke-20 adalah penyebab terbantuknya gerakan pada era ini. Gerakan jihad di Mesir tahun 1970-1980 misalnya, berupaya merefleksikan interpretasi ekstrem agama dan mengambil jalan kekerasan untuk mendapatkan maksud dan tujuannya; (4) Pasca nation-state, diwakili oleh gerakan Taliban dan al-Qaeda, gerakan ini bertujuan untuk mengakhiri kekerasan dan kerusuhan dalam negeri, menghentikan segala bentuk intervensi asing dan memulihkan martabat masyarakat sipil meskipun terkadang dengan menggunakan cara-cara yang keras.
Berbagai respon umat Islam atas kemajuan dan kolonialisme Eropa seperti tersebut di atas sebenarnya merupakan potret bagaimana umat Islam secara sosio-politik berusaha untuk meraih kebangkitan sebagaimana yang dicita-citakan. Bagi Abu Rabi’ kebangkitan Islam di tangan gerakan-gerakan tersebut di atas menjadi problematis ketika mereka tidak mampu memposisikan dan membedakan ranah kebangkitan tersebut. Apakah kebangkitan Islam bersifat doktrinal, filosofis, atau historis-politis?[23] Tema sentral ide pembahuruan pemikiran dalam Islam terletak pada kata kunci i’adatul Islam, yakni keinginan masyarakat Muslim untuk mengembalikan peran dunia Islam dalam percaturan global peradaban dunia. Namun ide pembaruan ini dimaknai berbeda oleh beberapa tokoh Islam, antara lain; Muhammad Abduh menjadikan Tajdid al-Fahm (memperbaruhi pemahaman Islam) sebagai inti pembaharuan, sementara Rasyid Ridha mempunyai konsep Tathbiq al-yari’ah, atau Tathbiq qanun al-Syari’ah, untuk menyembuhkan penyakit imperialisme-kolonialisme yang membelunggu umat Islam, yakni dengan cara mengaplikasikan kembali atau mempraktikkan kembali materi undang-undang dan tatacara kenegaraan yang pernah dilakukan oleh generasi Muslim terdahulu.[24] Sedangkan Abu Rabi’ lebih melihat sisi sosial-politik umat Islam. Artinya, ketertinggalan umat Islam atas Barat bukanlah suatu hal imajiner, tetapi merupakan fakta sekaligus tantangan yang sampai saat ini harus diselesaikan.
Ketika menelisik problematika studi Islam, Abu Rabi’ kembali menegaskan pentingnya distingsi antara Islam dan pemikiran Islam atau studi Islam itu sendiri. Dengan merujuk pada pendapat Ibnu Khaldun, Abu Rabi’ meyakini bahwa studi Islam berbeda dengan Islam. Jika Islam merujuk kepada wahyu yang kekal dan agama yang suci, maka pemikiran atau studi Islam merujuk pada seluruh perkembangan ilmu pengetahuan Muslim seperti penafsiran al-Qur’an, hadis, fikih, kalam, sufi dan sebagainya. Dalam arti bahwa pemikiran dan studi Islam senantiasa terbuka, berubah (qabil li al-taghyir), dan selalu siap untuk dikritisi serta dikembangkan. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran atau studi Islam sangat dipengaruhi oleh tingkat kemajuan peradaban manusia itu sendiri.
Jika dalam kajian Jasser Auda memberikan gambaran tentang tiga varian pola pemikiran epistemologi studi Islam, yaitu;  Islamic traditionalism, Islamic modernism, dan post-modernism.[25] Dimana ciri pokok Islamic traditionalism terletak pada paham teleologi yang mengharuskan segala sesuatu dinilai dari tujuannya, bergeser pada teologi. Sehingga dalam pandangan Islamic traditionalism tujuan ini harus dinilai secara teologis, yaitu baik dan buruknya segala sesuatu harus dinilai dari tujuan teologis (Allah). Sehingga, teks menjadi sangat sentral dalam studi kelompok ini.[26] Akibatnya, epistemologi tekstual yang digunakan Islamic Traditionalism dikritik oleh Islamic Modernism. Bagi kaum modernis Islam, teologi terlihat sebagai ide yang menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Karena itu mereka berusaha menafsirkan kembali teks agama menggunakan logika dan ilmu pengetahuan, dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai sentral dalam kajian agama. Namun epistemologi yang diusung oleh kelompok Islamic Modernism bukan tanpa kekurangan yang memunculkan lahirnya islamic post-modernism. Ciri utama pemikiran ini terletak pada penerimaannya terhadap berbagai hal dan fenomena-fenomena di luar logika dan ilmu pengetahuan, serta mengusung tiga prinsip epistemologis, yaitu: (1) prinsip kebebasan berkreasi, (2) prinsip ketidakberhinggaan pengetahuan dan eksplorasi, dan (3) prinsip pluralitas.[27]
Namun demikian, menurut Ibrahim M. Abu Rabi’ kondisi studi Islam dewasa ini masih kurang memadai dan terbelakang, meskipun beberapa negara Muslim telah merdeka, seperti Mesir, Indonesia, dan Pakistan.. Gejala-gejala keterbelakangan itu tampak dari berbagai aspek; pertama, para elit militer dan politikus aktif memberi dukungan kepada lembaga-lembaga pendidikan tradisional hanya untuk mempertahankan status quo. Terdapat semacam simbiosis mutualisme antara pendidikan dan kekuasaan.
Kedua, Sentralitas, dimana negara dengan jelas mengintervensi konstruksi modern studi-studi keIslaman untuk menjamin netralitas agama dalam problem sosial dan politik. Ketiga, berdasarkan pengalaman pribadinya, ilmu sosial dan filsafat tidak mendapatkan tempat di kalangan umat Islam. Bahkan, ilmu-ilmu sosial dan filsafat dianggap sebagai bid’ah sehingga jarang sekali ditemukan mahasiswa –khususnya dari negara Teluk- yang melanjutkan studi di bidang ilmu sosial.[28]
Keempat, studi Islam hanya berputar pada kajian syari’ah dan fikih yang kosong dari kritik politik dan relevansinya dengan situasi kekinian. Kelima, adanya pembedaan yang mencolok antara teologi dan politik (social). Teologi dipahami sebagai ritus, simbol dan hanya berupa teks-teks sejarah, sehingga menimbulkan ketegangan antara Islam dan realitas. Akibatnya- menurut Abu Rabi’, kondisi ini menjadikan intelektual Muslim paham teks-teks Islam tetapi tidak mengerti bagaimana menguji teks-teks secara kritis dalam kaitannya dengan kondisi sosial dan politik di sekitarnya. Kondisi ini diperparah lagi dengan langgengnya intelektual yang dikontrol oleh negara hanya untuk mendiskusikan persoalan-persoalan teologi yang telah mati ratusan tahun lalu, dan menjadikan intelektual Muslim buta dan tidak peka terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya.
Singkatnya, Abu Rabi’ memandang kondisi studi Islam saat ini cukup memprihatinkan dan dalam keadaan krisis. Perspektif yang digunakan masih terkesan dikotomis, berpusat pada teks. Tema ataupun persoalan yang diangkat cukup usang (expired) bahkan buruk (ugly) dan jauh dari persoalan kekinian. Hal ini terjadi tidak hanya karena ketertinggalan peradaban keilmuan umat Islam, tetapi juga disebabkan oleh intelektual-intelektual Islam yang gagal terlibat aktif dalam memberikan solusi atas berbagai problem kontemporer.[29]

Solusi Metodologi Studi Islam Ibrahim M. Abu Rabi’
Ibrahim M. Abu Rabi’ memberikan tawaran terhadap problematika dan krisis metodologi dalam studi Islam, yang secara garis besar dapat dibagi dalam dua hal. Pertama, bahwa studi atas Islam tidak dapat dilakukan hanya dalam satu aspek saja. Menurut beliau setidaknya terdapat empat aspek dalam Islam: (1) Aspek filosofis atau ideologis. Pada dataran ini Islam menjadi problem filsafat dan ideologi dalam pemikiran Arab-Islam. (2) Aspek teologis. Pada tataran ini Islam memiliki maknanya yang terbuka. Islam dapat dilihat dari teologi inklusif, yaitu keesaan Tuhan. (3) Aspek teks (nash), yang merupakan inti pokok kebudayaan Islam, ia tidak lahir dari ruang hampa, tetapi senantiasa berdialektika dengan realitas sejarah kebudayaan manusia. Dengan demikian harus dipahami secara dialektis antara teks dan realitas serta antara teks dan penafsiran manusia. Sejarah dan pemikiran Muslim merupakan perpaduan kompleks antara yang bersifat manusia (humane) dan yang bersifat ketuhanan (divine). (4) Aspek realitas antropologis. Selain memiliki sisi normatif, dalam Islam telah terjadi evolusi perkembangan kesejarahannya. Islam telah mendorong lahirnya dinamika kultural, sosial, dan politik yang kompleks.[30] Keempat aspek tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Kedua, Abu Rabi’ menginginkan lahirnya intelektual yang betul-betul terlibat dalam membangkitkan studi Islam dan berupaya keras mengatasi problem umat Islam kontemporer (intellectual engagement). Tugas utama dari intelektual model ini adalah berupaya sekuat tenaga tidak terkait dengan kepentingan penguasa dalam mempertahankan status quo. Intelektual dengan semangat objektivikasi keilmuan dan berusaha menjadi problem solving dalam tantangan kehidupan umat Islam saat ini.

Penutup
Dalam ulasan diatas telah dipaparkan tentang ide brilan tokoh insider Muslim, Ibrahim M. Abu Rabi’.  Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor keterpurukan umat Islam dalam menghadapi dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan dunia kontemporer saat ini, akibat metodologi kajian keagamaan yang cendrung stagnan dan ketinggalan zaman. Oleh sebab itu, studi Islam dituntut untuk dapat melakukan terobosan dan memberikan tawaran solutif dalam rangka menghadapi problem tersebut. Ibrahim M. Abu Rabi’ memberikan solusi berupa metode studi Islam dengan multidisiplin (disiplin ilmu sosial, humaniora, dan sebagainya), serta melakukan kajian secara objektif dan ilmiah, bukan berdasarkan pesanan dan bekerja untuk memperrtahankan status qua penguasa (rezim penguasa).  Wallahu A’lam.





DAFTAR PUSTAKA

Abdullah,  Amin, Studi  Agama  Normativitas  atau  Historisitas. Yogyakarta:  Pustaka  Pelajar. Cetakan ke-1. 1996

----------------------, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan ke V, 2016

----------------------, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Auda, Jasser. Maqasid al-Shari’ah as Philosopy of Islamic Law: A Systems Approach. London: The International Institute of Islamic Thought, 2008.

Hamam, Kritik Sejarah Islam Modern Abu Rabi’-dalam Annual International Confernece on Islamic Studies (AICIS XII).

Harb, Ali, Asilah Haqiqah wa Rabanat al-Fikr; Muqarabat Naqdiyyah wa sijaliyyah, (terjemah; Nalar Kritis Islam Kontemporer, Umar Bukhory dan Ghazi Mubarok), Yogyakarta: IRCiSoD, cetakan pertama, 2012

Mahfudh, Hasan. Dari Ibrahim M. Abu Rabi’ tentang Problematika Studi Islam Kontemporer, Millati, Journal of Islamic studies and humanities, vo. 1 no. 1 Juni 2016

Martin, Richard C, Approaches to Islam in Religious Studies, terjemahan Zakiyuddin Baedhowi, Pendekatan terhadap Islam dalam Studi Agama, Yogyakarta: SUKA Press, 2010

Abu Rabi’, Ibrahim M. A Post Critical Assesment of Modern Islamic History” dalam Ian Markham dan Ibrahim M. Abu Rabi’. 11 September: Relegious Perspectives on The Causes and Concequences. Oxford: Oneworld Publications, 2002.

_________, Ibrahim M. Intellectual Origins of IslamicResurgence in The Modern Arab World. New York: State University Of New York Press, 1996.

_________, Ibrahim M. (ed). The Blackwell Companion to Contemporary Islamic Thought. Oxford: Blackwell Publishing, 2006.

Hanafi, Hasan. Al-Turas wa al-Tajdid, terj. Yudian Wahyudi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2001.

Al-Jabiri, M. Abed. Al-Turats wa al-Hadatsah. Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, 1991.

Mahfudh, Hasan. Rasyid Ridha; “Arah Baru Paradigma Kritik Hadis”, dalam Muammar Zayn Qadafy. Yang Membela dan Yang Menggugat. Yogyakarta: Interpena, 2011.

Rahman, Fazlur (dkk). Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.

Wikipedia.com




[1]. Hamam, Kritik Sejarah Islam Modern Abu Rabi’-dalam Annual International Confernece on Islamic Studies (AICIS XII). Lihat pula, Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi tentang Fundamentalisme Islam, terj. Aam fahmia (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), hlm. 13. Lihat juga; Richard C. Martin, Pendekatan terhadap Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Baidhawy (Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, 2010) hlm. 1
[2]. Hasan Mahfudh, Dari Ibrahim M. Abu Rabi’ tentang Problematika Studi Islam Kontemporer, Millati, Journal of Islamic studies and humanities, vo. 1 no. 1 Juni 2016, hlm. 23-39
[3]. Ibid., Lihat juga M. Abed al-Jabiri, al-Turats wa al-Hadatsah (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, 1991), hlm. 23.
[4]. Ibid., Lihat juga M. Abed al-Jabiri, Nahnu wa al-Turats: Qira’ah Mu’ashirah fi Turatsina al-Falsafi cet. VI (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1993), hlm. 12.
[5] . Wikipedia, Biografi Ibrahim M. Abu Rabi
[6]. Hasan Mahfudh, Dari Ibrahim M. Abu Rabi’ tentang Problematika Studi Islam Kontemporer, diakses pada tanggal, 23 Oktober 2017
[7]. Wikipedia, Biografi Ibrahim M. Abu Rabi
[8]. Wikipedia, Biografi Ibrahim M. Abu Rabi
[9]. Muhammad Abdur Rauf. dalam Richard C. Martin, Pendekatan terhadap Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Baidhawy (Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, 2010) hlm, 194
[10]. Ibid., hlm. 197
[11]. Ibid., hlm. 198
[12]. Ibid., hlm. 191-200
[13]. Fazlur Rahman. dalam Richard C. Martin, Pendekatan terhadap Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Baidhawy (Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, 2010) hlm, 202)
[14]. Amin Abdullah, Falsafah kalam di era posmodernisme,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan ke V, 2016, hlm.35-36
[15]. Ibid.
[16]. Ibid. 
[17] Hasan Mahfudh, Dari Ibrahim M. Abu Rabi’ tentang Problematika Studi Islam Kontemporer, diakses pada tanggal, 23 Oktober 2017. Lihat pula, Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002), h. 5.
[18]. Ibid.
[19]. Hasan Mahfud, Dari Ibrahim...Op.cit., baca; Ibrahim M. Abu Rabi’ (ed), The lackwell Companion to Contemporary Islamic Thought (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), h. 2-3.
[20]. Ibid., lihat juga: John L. Esposito (ed), The Oxford  encyclopedia of The Modern Islamic Word, vol. 4 (New York: Oxford University Press, 19995), h. 183-185.
[21]. Ibid.
[22] Ibrahim M. Abu Rabi’, “A Post Critical Assesment of Modern Islamic History” dalam Ian arkham dan Ibrahim M. Abu Rabi’, 11 September: Relegious Perspectives on The Causes and oncequences (Oxford: Oneworld Publications, 2002), h. 24-25.
[23] Ibrahim M. Abu Rabi’, Intellectual Origins of IslamicResurgence in The Modern Arab World (New York: State University Of New York Press, 1996), hlm. 10.
[24]. Hasan Mahfudh,Op.Cit., Lihat juga Rasyid Ridha; “Arah Baru Paradigma Kritik Hadis”, dalam Muammar Zayn Qadafy, Yang Membela dan Yang Menggugat (Yogyakarta: Interpena, 2011), hlm. 41. dan Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 250-251.
[25] Jasser Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosopy of Islamic Law: A Systems Approach (London: The International Institute of Islamic Thought, 2008), h. 17.
[26] Hasan Mahfudz, Op.Cit., Lihat juga; Adonis, al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda wa al-Itba’ ‘inda al-Arab, terj Khairon Nahdiyyin, Jilid I (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. XXXV.
[27] Adonis, al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ibda wa al-Itba’ ‘inda al-Arab, h. XXXV.
[28]. Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyyah, (Kairo: Maktabah Anglo, tt), h 393.
[29]. Hasan Mahfudh,Op.Cit.,
[30] Ibrahim M. Abu Rabi’, “A Post Critical Assesment of Modern Islamic History”, h. 33-

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.