Hukum Mengaji dengan Pengeras Suara di Masjid Sebelum Subuh
MENGAJI DI MASJID DENGAN PENGERAS SUARA SEBELUM SHALAT
SUBUH
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Saya
seorang simpatisan Muhammadiyah berdomisili di Yogyakarta. Kebetulan tempat
tinggal saya berdekatan dengan masjid Al Falah yang satu lokasi dengan SD
Muhammadiyah Gendeng Baciro. Sebelumnya tak ada masalah satu pun, kemudian
akhir-akhir ini timbul masalah.
Masjid
tersebut setiap jam 3 pagi (lebih dari 1 jam sebelum waktu shubuh tiba) selalu
mengaji dengan speaker luar. Kadang-kadang suara speaker kecil, sering pula
keras sehingga mengganggu sekitar. Apalagi masjid tersebut ada di tengah-tengah
perkampungan. Bahkan orang yang hendak shalat malam pada jam-jam itu juga
terganggu bacaannya. Setiap
hari pula 10 menit menjelang shubuh orang yang mengaji akan berseru imsaak
imsaak. Mohon pencerahannya, apakah ada tuntunan sedemikian?
Selama
ini masjid-masjid Muhammadiyah terkenal akan amal sholeh dan sifatnya yang
relatif tenang dan bersahaja, sehingga lebih mendapat tempat di hati masyarakat,
termasuk saya.
Karena saat ini saya menulis email kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan agama jauh di atas masyarakat awam pada umumnya, maka kiranya tak perlu saya beberkan dalil-dalil yang menganjurkan agar bacaan Al Qur'an dilakukan dengan suara rendah dan hati yang tawadhu'. Setitik pun tak ada niat menghalangi syiar Islam dalam hal ini, justru saya mengkhawatirkan syiar Islam akan rusak dengan perilaku demikian.
Karena saat ini saya menulis email kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan agama jauh di atas masyarakat awam pada umumnya, maka kiranya tak perlu saya beberkan dalil-dalil yang menganjurkan agar bacaan Al Qur'an dilakukan dengan suara rendah dan hati yang tawadhu'. Setitik pun tak ada niat menghalangi syiar Islam dalam hal ini, justru saya mengkhawatirkan syiar Islam akan rusak dengan perilaku demikian.
Mohon bimbingannya agar masjid tersebut kembali memiliki
"sifat khas" Muhammadiyah-nya, kembali pada syiarnya yang
menyejukkan. Saya sudah pernah menyampaikan
keberatan kepada pihak terkait, tetapi tidak mendapat tanggapan baik.
Sebelumnya saya mengucapkan
jazakumullahu khairan katsiiro.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
AM Ningtyas.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam wr. Wb.
Ibu AM Ningtyas yang dirahmati Allah SWT. kesan masyarakat, bahwa selama ini
masjid-masjid Muhammadiyah terkenal dengan amal sholeh, memiliki sifat yang
tenang dan bersahaja, serta memiliki sifat khas yang menyejukkan, tentu
merupakan hal positif yang harus dijaga dan ddipertahankan agar tetap terkesan
dalam hati masyarakat.
Membaca al-Qur’an baik di masjid maupun di rumah
merupakan amalan yang sangat baik dan diperintahkan oleh agama. Begitu pula
dengan berdzikir dan berdo’a dapat dilakukan di masjid baik dengan suara sirr
(pelan) maupun jahr (jelas). Berikut ini beberapa ayat al-Qur’an dan
hadis nabi saw., yang memerintahkan untuk dzikir, berdo’a dan membaca al-Qur’an
di masjid baik dengan suara pelan maupun keras;
ادْعُوا
رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (الأعراف: 55)
“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas” [al-A’raf: 55].
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ
تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ
وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ (الأعراف: 205)
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan
diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan
petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” [al-A’raf:
205]
Namun dalam surat an-Nur ayat 36 juga dijelaskan tentang kebolehan
berdzikir, berdo’a dan termasuk membaca al-Qur’an dengan suara nyaring/keras;
فِي
بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ
فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ (النور: 36)
“Di masjid-masjid telah diperbolehkan oleh Allah untuk
mengangkat dan menyebut di dalamnya nama (Allah), bertasbih kepada-Nya di waktu
pagi dan petang” [an-nur: 36]
Ketiga ayat ini tidak saling bertentangan, namun justru saling melengkapi
dan saling menjelaskan. Imam at-Thabari menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
kata “tadharru’ dan khufyah atau khifah”adalah dengan
penuh kekhusyukan dan kemantapan iman, sedangkan kata “an-Turfa’a” diartikan
dengan mengagungkan. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa berdo’a, berdzikir
dan termasuk di dalamnya membaca al-Qur’an harus dilakukan dengan penuh
kemantapan iman, kekhusyu’an serta dengan suara yang pelan. Namun disisi lain,
Islam juga membolehkan seseorang untuk mengangkat atau meninggikan volume
suaranya dalam batas-batas yang wajar dan tidak berlebihan atau melampaui
batas.
Sedangkan hadis Nabi saw. yang memerintahkan untuk membaca al-Qur’an di
masjid antara lain sebagai berikut;
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
... وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ
اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ
وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ
فِيمَنْ عِنْدَهُ. (رواه مسلم)
“Dari
Abu Hurairah berkata; Rasulullah saw. telah bersabda: ... Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk
membaca Al Qur'an, dan saling mengkaji (mengajarkan) di antara mereka, melainkan
diturunkan atas mereka ketenangan, dan dicurahkan kepada mereka rahmat, dan mereka
dikelilingi (dilindungi) oleh para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut
mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya.” (HR. Muslim)
Berdasarkan ayat dan hadis tersebut, membaca al-Qur’an di masjid-masjid merupakan
amalan yang sangat dianjurkan serta
memiliki keutamaan yang sangat besar. Sedangkan terkait dengan penggunaan
pengeras suara, secara langsung tidak ada dalil yang melarang seseorang untuk
membaca al-Qur’an dengan pengeras suara (speker). Namun di sisi lain tentunya tidak
sampai mengganggu kenyamanan dan kekhusyu’an orang lain dalam melaksanakan
ibadah, terlebih lagi di malam hari di saat orang lain beristirahat atau
melaksanakan shalat malam (qiyamul lail) baik di rumah maupun di masjid,
terlebih lagi masjid yang berada di tengah masyarakat yang hitrogen baik dari
segi keyakinan maupun agamanya. Karena itu penggunaan speker atau pengeras
suara hendaknya diatur waktu dan volume suaranya atau dengan mempertimbangkan
penggunaan speker bawah, sehingga tidak mengganggu orang yang sedang
beristirahat atau beribadah.
Kegiatan lain seperti membaca al-Qur’an sambil menunggu waktu shalat, atau
mengingatkan orang waktu imsak bagi yang hendak berpuasa(terutama di bulan suci
ramadhan) merupakan salah satu bentuk
syiar yang hendaknya dilakukan dengan cara yang wajar dan tidak sampai
mengganggu kenyamanan masyarakat termasuk mereka yang bukan beragama Islam,
karena salah satu sifat ajaran Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Karena
itu jangan sampai niat untuk syi’ar Islam, namun justru dalam prakteknya dapat
mengganggu kenyamanan dan kekhusyu’an masyarakat. Hal ini juga sering
dikeluhkan pada bulan Ramadhan, orang membaca al-Qur’an dengan pengeras suara
luar hingga larut malam bahkan sampai tibanya waktu imsak, sehingga sangat
menggganggu istirahat masyarakat yang tentu memiliki keadaan dan kebutuhan yang
berbeda-beda. Namun jika seseorang ingin membaca al-Qur’an hingga larut malam
atau sampai tibanya waktu subuh, maka hendaknya tidak menggunakan pengeras suara luar atau
dengan volume keras, agar tidak mengganggu kenyaman masyarakat untuk beristirahat
dan beribadah.
Dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 2 jilid 5 dijelaskan; membaca al-Qur’an
dengan keras dan bernada tinggi yang akibatnya menggangu konsentrasi atau
kenyaman orang lain untuk beribadah tidak dibenarkan. Bahkan berdo’a dengan
nada tinggi yang dapat menggangu kekhusyu’an ibadah orang lainpun juga
dilarang. Dalam kitab al-Madkhal, diriwayatkan bahwa nabi saw. pernah
melarang Ali ra., yang intinya; “agar Ali tidak mengeraskan bacaan dan do’anya,
sekiranya orang banyak sedang mengerjakan shalat, karena yang demikian itu akan
mengganggu shalat mereka”.
Sedangkan menurut Ibnul ‘Imad as-syafi’i, membaca dengan keras dan
menggangu orang-orang yang sedang shalat di masjid dilarang. Bahkan para
sahabat membenci perbuatan mengeraskan suara pada waktu berdzikir dan membaca
al-Qur’an, lebih-lebih di masjid, apabila sampai mengganggu ketenangan orang
yang sedang beribadah. Dalam hadis riwayat abu Dawud disebutkan:
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ قَالَ اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ
وَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي
الصَّلَاةِ. (رواه أبو داود)
“Dari Abu Sa'id dia berkata; "Rasulullah saw. beri'tikaf di Masjid,
lalu beliau mendengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al Qur'an)
mereka. kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda: "Ketahuilah,
sesungguhnya kalian tengah berdialog dengan Rabb, oleh karena itu janganlah
sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang
satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (Al Qur'an) atau
dalam shalatnya." (HR. Abu Dawud)
Dari penjelasan tersebut tentu idealnya bagi seseorang maupun pengelola
(ta’mir) masjid perlu menserasikan antara kegiatan yang bersifat ubudiyah dan
aspek sosial-kemasyarakatan, antara keshalehan individual dan keshalehan sosial,
serta menerima berbagai masukan positif dari masyarakat sekitar terkait dengan
model pengelolaan masjid khususnya di lingkungan Muhammadiyah. Di sisi lain,
masyarakt juga hendaknya memberikan masukan yang positif dan seobyektif mungkin
demi peningkatan kualitas pengelolaan masjid-masjid Muhammadiyah. Cara ibu merespon
dengan memberi masukan kepada ta’mir tentu merupakan cara yang sangat bagus dan
sebagai salah satu bentuk kepedulian ibu sekaligus untuk saling mengingatkan
sesama muslim. Apalagi niat ibu yang tulus untuk menjaga nama baik masjid-masjid
Muhammadiyah dan syiar Islam, dan bukan untuk menghalangi syiar Islam. Oleh
sebab itu, ta’mir masjid harus terbuka untuk menerima masukan-masukan yang
positif dari masyarakat sekitar, dengan merespon atau mencari solusi dan format
yang ideal dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bersama dengan cara membuka
ruang untuk bermusyawarah dengan cara yang bijaksana. Sehingga kesan dan
penilaian positif masyarakat terhadap model pengelolaan masjid di lingkungan
Muhammadiyah tetap terjaga. Aamiin. (Ruslan Fariadi)
Nagarang nih penulis. Apa hubungannya surah Annur ayat 36 dengan dibolehkannya ngaji teriak-teriak atau pakai mic?
BalasHapusJangan memperkosa ayat gitu ah. Dosamu akan mengalir terus sampai mati kalau semakin banyak fatwa mu yang salah diikuti orang lain.
Betul @Riko Wardana. Penulisnya bodoh sudah menyalah artikan Al-Quran jika tidak di revisi tulisannya dia akan menerima akibatnya di akhirat.
BalasHapus