Gagasan Muhammadiyah Tentang Fikih (Perlindungan) Anak
Anak merupakan investasi
teragung bagi orang tua, keluarga dan masyarakat yang harus dirawat dan dijaga.
Bagi sebuah bangsa, anak merupakan generasi penerus perjuangan dan kemajuan
bangsa di masa depan. Kesuksesan dan kegagalannya sangat tergantung pada
generasi muda. Sehingga wajar jika ada ungkapan yang menyatakan; jika ingin
menguasai sebuah negara maka kuasailah generasi mudanya. Dalam Islam, anak-anak
(generasi muda) mendapatkan perhatian yang sangat serius. Bahkan, kata al-walad
(yang berarti anak) dengan berbagai derivasinya diulangi dalam al-Qur’an sebanyak
65 kali. Pengulangan yang begitu banyak ini menunjukkan signifikansi dan strategisnya
posisi anak baik dalam keluarga, masyarakat, maupun agama. Oleh sebab itu,
menelantarkan anak apalagi sampai membunuhnya merupakan tindakan amoral yang sangat
dikecam dalam Islam, bahkan dipandang sebagai perilaku kaum kafir dan musyrik
(QS. Al-An’am: 137) dan perilaku orang-orang bodoh (QS. Al-An’am: 140).
Namun realitasnya, akhir-akhir
ini publik seringkali disuguhkan dengan informasi seputar kasus hukum yang
menimpa anak-anak. Bahkan sebagian masyarakat acap kali melihat secara live
“adegan horor” berbagai bentuk kriminalitas yang menimpa anak-anak. Menurut
laporan kepolisian sebagaimana dimuat dalam beberapa media cetak maupun
elektronik, bahwa pada tahun 2015 kepolisian Republik Indonesia telah menangani
lebih dari 500-an kasus setiap tahunnya.
Diantara kasus-kasus
tersebut, sebagian diantaranya menempatkan anak sebagai korbannya, seperti;
korban pemerkosaan, penganiayaan, pelecehan seksual, pembunuhan dan lain
sebagainya, dan sebagian lagi menempatkan anak sebagai pelaku pelanggaran
hukum, seperti; kasus pembunuhan oleh anak terhadap teman sebaya, pelecehan seksual
oleh anak-anak, tawuran, konsumsi narkoba dan lain sebagainya. Bahkan saat ini,
trend pengguna narkoba telah banyak menyasar kepada anak-anak-anak usia
sekolah dasar dan menengah.
Di sisi lain, kasus-kasus
hukum yang ditangani oleh kepolisian, hanyalah sebagian kecil dari banyak kasus
hukum yang menimpa anak-anak. Ibarat gunung es, kasus tersebut merupakan puncak
dari gunung es yang terlihat dan dilaporkan baik oleh keluarga korban maupun
masyarakat. Kasus-kasus yang ditanganipun cenderung merupakan kasus-kasus besar
yang menjadi sorotan media dan masyarakat luas. Namun di perut dan dasar gunung
es tersebut kasus hukum anak jumlahnya jauh lebih besar lagi. Hal ini terbukti
berdasarkan data yang dipublis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
bahwa kekerasan pada anak selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Menurut KPAI, pada tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan terhadap anak, tahun
2012 terjadi 3512 kasus, 2013 sebanyak 4311 kasus, sedangkan tahun 2014
sebanyak 5066 kasus (Harian Terbit, Ahad, 14 Juni 2015). Data kasus hukum yang
menimpa anak-anak ini akan semakin besar lagi jika penegak hukum mengacu kepada
definisi kekerasan dan penganiayaan anak sebagaimana dikemukakan oleh pakar
hukum dan konvensi internasional.
Definisi Kekerasan Terhadap Anak
Menurut Journal of
Child Abuse and Neglect, penganiayaan terhadap anak adalah "setiap
tindakan atau kegagalan untuk bertindak oleh orang tua atau pengasuh yang
menyebabkan kematian, kerusakan fisik serius atau emosional yang membahayakan,
pelecehan seksual atau eksploitasi, tindakan atau kegagalan tindakan yang menyebabkan
risiko besar atau bahaya yang serius". (Herrenkohl, R.C. 2005). Sementara menurut The Free Dictionary, bahwa kekerasan
terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan
emosional, atau pengabaian terhadap anak. (definition of child abuse, Thefreedictionary.com.)
Sedangkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and
Prevention) Amerika Serikat mendefinisikan
bahwa penganiayaan adalah; setiap tindakan atau serangkaian tindakan wali atau
kelalaian oleh orang tua atau pengasuh lainnya yang dapat membahayakan, atau
berpotensi bahaya, atau memberikan ancaman yang berbahaya kepada anak. (Leeb,
R.T., Paulozzi, L.J..., Januari 2008). Sedangkan orang yang melakukan kekerasan terhadap anak dapat dikategorikan sebagai "pedopath"
Dari beberapa definisi
tentang kekerasan terhadap anak tersebut dapat disimpulkan menjadi empat
kategori utama tindak kekerasan terhadap anak, yaitu: Pengabaian/penelantaran, kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan pelecehan
emosional/psikologis.
Ironisnya, sebagian besar
dari pelaku kekerasan terhadap anak baik yang berbentuk pengabaian, kekerasan
fisik, pelecehan seksual dan kekerasan emosional, justru dilakukan oleh orang
terdekat, bahkan keluarga. Data menunjukkan bahwa kebanyakan pelaku pelecehan
seksual adalah orang yang kenal dengan korban, dengan prosentase; sekitar 30%
adalah keluarga, sekitar 60% adalah kenalan/teman dekat, dan hanya 10% yang
dilakukan oleh orang yang tidak dikenal.
Faktor Kekerasan Pada Anak
Adapun faktor yang
seringkali menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak cukup beragam, antara
lain: Pertama; adanya anggapan bahwa ketegasan itu identik dengan
kekerasan sebagai salah satu unsur penegakan kedisiplinan. Oleh sebab itu, para
aktivis kemanusiaan mengkampanyekan bahwa norma-norma budaya yang berhubungan
dengan sanksi hukuman fisik adalah salah satu penyebab kekerasan terhadap anak,
dan dianggap ilegal di sekitar 24 negara di dunia. Namun di sebagian negara tertentu
justru menganggap lazim dan diterima secara sosial. Bahkan ada sebuah negara yang
secara deyure membolehkan guru/kepala sekolah memukul siswa yang tidak
disiplin dengan menggunakan rotan. Kedua: jenis hukuman bagi pelaku
kekerasan terhadap anak dirasa sangat ringan, sehinggga kurang memberikan efek
jera. Maka wacana untuk memperberat sanksi bagi kejahatan anak patut
dipertimbangkan dan diapresiasi. Ketiga: Karena faktor immaturitas atau ketidakmatangan orang tua baik secara pengetahuan maupun emosi,
harapan yang tidak realistis terhadap anak, pengalaman negatif masa kecil,
isolasi sosial, problem obat-obat dan minuman
terlarang, serta problem
rumah tangga, sehingga
tanpa
menyadari anak menjadi sasaran amarah dan kebencian.
Fikih Anak Perspektif Muhammadiyah
Muhammadiyah
sebagai gerakan Islam berkemajuan, merasa terpanggil dan memiliki komitmen untuk terlibat aktif dalam penyelesaian
problem kekerasan terhadap anak-anak. Salah satunya, Muhammadiyah beberapa
waktu yang lalu telah menyusun Buku Tuntunan Menuju Keluarga sakinah. Salah
satu point penting yang ditegaskan dalam buku tersebut adalah tentang
pentingnya pendidikan dan perlindungan terhadap anak dalam skup keluarga. Kali
ini dalam dimensi yang lebih besar, Muhammadiyah segera akan menyusun buku tuntunan terbaru tentang “Fikih Anak”. Buku tuntunan “Fikih Anak” yang sedang dalam proses
penyusunan ini diharapkan dapat menjadi acuan
masyarakat terkait dengan penyelesaian problematika anak, baik dari perspektif
agama, psikologis, yuridis, maupun aspek sosial. Proses penyusunan buku dimulai dengan menghimpun ide-ide
cemerlang lewat kegiatan Rapat Kerja dan Seminar Nasional Majelis Tarjih Dan
Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Selanjutnya ide-ide tersebut digali dan
dirumuskan kembali oleh tim perumus untuk dibahas dan diputuskan di tingkat
Musyawarah Nasional Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
dengan mengundang perwakilan dari seluruh wilayah Indonesia, para fakar serta
ulama’ Muhammadiyah.
Dengan
tersusunnya buku tuntunan “Fikih Anak” oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, diharapkan dapat menjadi salah satu solusi penaggulangan
kasus kekerasan terhadap anak. Karena itu, buku “Fikih Anak” yang disusun tentunya
tidak hanya berisi prinsip-prinsip dan norma dasar (al-qiyām al-asāsiyyah),
serta aspek hukum fikih (al-aḥkām al-far’iyyah) semata, namun juga berisi langkah-langkah strategis
dan solusi yang dapat dilakukan oleh seluruh elemen bangsa dalam rangka
meminimalisir bahkan menghilangkan kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Semoga
upaya tulus dan cerdas dari organisasi Islam berkemajuan yang menegakkan
prinsip amar ma’ruf nahi munkar ini mampu menjawab dan memberikan solusi
idieal bagai problematika yang dihadapi oleh umat, bangsa dan negara, khusunya
dalam upaya perlindungan anak. Wallahu A’lam bis-Shawab.
Leave a Comment