DONOR dan BANK ASI


DONOR DAN BANK ASI 
 
DALAM PERSPEKTIF FIKIH (HUKUM) ISLAM

Ruslan Fariadi AM, S.Ag., M.S.I.

Persoalan Donor dan Bank ASI seringkali diperbincangkan oleh berbagi kalangan, baik ibu-ibu, pengambil kebijakan (pemerintah), maupun tokoh dan organisasi keagamaan khususnya Islam. Persoalan donor dan Bank  ASI ini semakin hangat diperbincangkan oleh masyarakat karena beberapa faktor, antara lain; Pertama: Donor dan bank ASI menjadi salah satu alternatif bagi para ibu yang produksi ASI-nya bermasalah atau wanita karier yang tidak sempat menyusukan anaknya setiap saat. Kedua: Sebagaimana donor darah, donor dan Bank ASI memerlukan regulasi serta aturan yang ketat untuk menjaga kesehatan bayi dari berbagai kemungkinan  penyakit  berbahaya yang ditularkan oleh para pendonor. Ketiga: Donor dan Bank ASI memiliki implikasi yang sangat besar dalam persoalan keagamaan seperti dampak status anak menjadi anak sepersusuan, keharaman menikah, dan lain sebagainya.
Akibatnya, persoalan donor dan Bank ASI ini menjadi issu yang menyedot perhatian banyak ulama’ baik secara individual maupun yang terhimpun dalam organisasi keagamaan.  Para ulama’ baik secara individual maupun secara kolektif banyak membahas persoalan ini baik dalam tinjauan agama, moral, maupun dalam tinjauan medis atau kesehatan, bahkan di antaranya telah terhimpun dalam putusan fatwa agama.

ASI Anugerah Allah yang Terindah Untuk Bayi
ASI merupakan anugerah ciptaan Allah yang memenuhi hampir seluruh kebutuhan gizi bayi, karena ASI mengandung sari makanan yang dapat mempercepat pertumbuhan sel-sel otak dan perkembangan sistem saraf serta memiliki kualitas gizi yang terbaik.  ASI mengandung nutrisi yang mencakup hampir 200 unsur zat makanan, hormon, unsur kekebalan pertumbuhan, anti alergi, serta anti inflamasi dan paling efektif melawan kemungkinan serangan penyakit (imun) dan mencegah kematian anak.
Menurut para ahli kesehatan, ASI mengandung beberapa komponen yang sangat penting untuk nutrisi dan kekebalan tubuh bayi. Bahkan ASI juga memiliki kandungan air sebanyak 87.5% yang sangat dibutuhkan oleh bayi agar terhindar dari dehidrasi atau kekurangan cairan tubuh. Keunggulan lain dari ASI ialah memiliki kekentalan sesuai dengan saluran cerna bayi, sehingga mudah dicerna oleh bayi. Singkatnya, ASI merupakan makanan ideal bagi bayi, yang menyediakan berbagai zat yang mereka butuhkan untuk perkembangan, kesehatan dan antibodi terhadap berbagai macam penyakit anak seperti diare dan pneumonia yang merupakan dua faktor  utama kematian anak di beberapa negara.
Begitu pula dengan manfaat ASI bagi Ibu, antara lain; Menyusui dapat berfungsi sebagai kontrasepsi  karena dapat menunda haid dan kehamilan (Egbuonu 2005), mengurangi resiko kanker payudara. (Armogida 2004), Mengurangi kanker indung telur (Ovarium) dan kanker rahim (Chiaffarino 2005). Dengan memberikan ASI pada bayi, disamping memenuhi hak-hak bayi, juga dapat mengurangi kemungkinan penyakit menahun seperti penyakit usus besar (Davis 2001, Ivarsson 2002), dan lain sebagainya.

Perintah Agama Untuk Memberikan ASI
Pemberian ASI merupakan hal yang sangat penting dan diperintahkan oleh Islam. Menyusui tidak hanya dianggap sebagai kewajiban orang tua terhadap bayinya, namun juga sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Karena dengan menyusui berarti orang tua telah memenuhi seruan Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 233;
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih  dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.(QS. al-Baqarah : 233)

Menyusui juga sebagai salah satu langkah antisipatif yang tepat untuk tidak meninggalkan generasi dalam keadaan lemah,  sebagaimana firman Allah dalam surat an-nisa ayat 9:
 وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا.  (النساء: 9)
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap  mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”(QS. An-Nisâ : 9)

Sekalipun ayat di atas konteksnya berbicara tentang harta, namun tidak berarti menafikan kewaspadaan orang tua terhadap beberapa bentuk kelemahan lain seperti; lemah iman, lemah ilmu dan lemah fisik. Maka dengan memberikan nutrisi yang terbaik  (ASI) berarti orang tua telah menghindarkan keturunannya dari kelemahan fisik.
Al-Qur’an juga memerintahkan agar seorang ibu menyusui anaknya meskipun dalam keadaan kondisi sulit (dharurat). Sebagaimana al-Qur’an menceritakan kisah nabi Musa dan ibunya, ketika Allah mengilhami ibunya untuk menyusui nabi Musa sebelum menghanyutkannya ke sungai Nil, seperti termaktub dalam QS. Al-Qashas : 7.  Penegasan tentang pentingnya pemberian ASI juga dijelaskan dalam al-Qur’an surat Lukman ayat 14.
Jadi, dalam pandangan Islam, ASI merupakan kebutuhan pokok seorang bayi yang harus diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Namun terkadang dalam kondisi tertentu, seorang ibu terpaksa tidak memberikan ASI kepada bayinya, baik karena terkena penyakit berbahaya, produksi ASI yang tidak lancar, kematian ibu dan lain sebagainya. Sehingga perlu diberikan alternatif lain bagi bayi mereka seperti menitipkan kepada ibu lain yang sedang menyusui atau melalui Bank ASI (donor ASI).

 Hukum Donor dan Bank ASI
Terkait dengan hukum donor ASI, al-Qur’an telah memberikan isyarat tentang kebolehannya dengan memberikan upah sebagai kompensasi atas jasa pendonor, Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah: 233 di atas. Dalam hadis Nabi saw. juga banyak memberikan penjelasan tentang kebolehan menyusukan bayi kepada orang lain - yang dalam perkembangannya disebut dengan donor ASI. Bahkan dalam sejarah disebutkan bahwa Rasulullah saw juga pernah menyusu (donor ASI) kepada seorang ibu yang bernama Halimatus Sa’diyah. Adapun hadis-hadis yang berbicara tentang kebolehan donor ASI, antara lain;
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَتَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو وَكَانَتْ تَحْتَ أَبِي حُذَيْفَةَ بْنِ عُتْبَةَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ سَالِمًا مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ يَدْخُلُ عَلَيْنَا وَإِنَّا فُضُلٌ وَإِنَّا كُنَّا نَرَاهُ وَلَدًا وَكَانَ أَبُو حُذَيْفَةَ تَبَنَّاهُ كَمَا تَبَنَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيْدًا فَأَنْزَلَ اللَّهُ (ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ) فَأَمَرَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ أَنْ تُرْضِعَ سَالِمًا فَأَرْضَعَتْهُ خَمْسَ رَضَعَاتٍ وَكَانَ بِمَنْزِلَةِ وَلَدِهَا مِنْ الرَّضَاعَةِ... (رواه أحمد)

“Dari Aisyah berkata; Sahlah binti Suhail bin Amru, isterinya Abu Hudzaifah bin Utbah, ia datang kepada Rasulullah saw seraya berkata; "Sesungguhnya Salim budaknya Abu Hudzaifah pernah menemui kami ketika kami sedang banyak kebutuhan. Kami mengetahui bahwa ia masih anak-anak dan ia adalah budaknya Abu Hudzaifah. Ia mengangkatnya sebagai anak sebagaimana Rasulullah saw mengangkat Zaid sebagai anak. Kemudian Allah menurunkan (ayat); Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka karena hal itu lebih adil di sisi Allah”, ketika itu Rasulullah saw memerintahkannya untuk menyusui Salim. Ia pun menyusuinya lima kali susuan sehingga kedudukannya sebagai anak sesusuan .... (HR. Ahmad)


Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum asal dari donor ASI adalah mubah (boleh). Terlebih lagi donor dan Bank ASI termasuk persoalan mu’amalat dunyawiyah, dan hukum asalnya adalah mubah, sebagaimana dijelaskan  dalam kaidah fiqhiyah;
 الأصل فى المعاملات الإباحة إلا ما دل الدليل على خلافه
“Pada dasarnya (hukum) asal dalam masalah mu’amalah adalah boleh/mubah, kecuali ada dalil yang menunjukan sebaliknya.”

Kebolehan donor ASI ini berlaku baik secara langsung (menyusui dari puting ibu susuan) maupun secara tidak langsung yaitu melalui botol (dot) yang berisi ASI dari pihak pendonor atau Bank ASI. Namun terkait dengan status bayi  yang mengkonsumi ASI dari pihak pendonor, apakah berdampak pada status sebagai anak susuan ataukah tidak, para ulama’ berbeda pendapat tentang persoalan ini. Sebagian ulama’ tidak membedakan baik secara langsung maupun tidak, sementara ulama’ lain berpendapat bahwa status anak dan ibu susuan itu berlaku jika proses menyusu dilakukan secara langsung dengan syarat tertentu. Hal ini terjadi karena perbedaan dalam memahami kata “Masshah (mengisap)” sebagaimana terdapat dalam hadis Nabi saw;
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَالْمَصَّتَانِ (رواه مسلم)
“Dari Aisyah dia berkata; Rasulullah saw bersabda.: "Tidak menjadi mahram kalau hanya sekali atau dua kali sedotan." (HR. Muslim)

Bagi ulama’ yang berpendirian secara langsung, mereka memahami kata “Mashshah” berarti mengisap secara langsung.  Sehingga bagi bayi yang mengkonsumsi ASI dengan dot atau yang tersedia di Bank ASI (tidak disusui secara langsung) dianggap tidak menjadi saudara sepersusuan. Sementara sebagian ulama’ memahami bahwa substansinya bukan pada langsung atau tidak, tetapi pada menyusui yang bisa menyebabkan seorang bayi hilang rasa hausnya dan kenyang, sebagaimana hadis nabi saw.:

عَنْ مَسْرُوقٍ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي رَجُلٌ قَالَ يَا عَائِشَةُ مَنْ هَذَا قُلْتُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ قَالَ يَا عَائِشَةُ انْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنْ الْمَجَاعَةِ.   (رواه البخاري)

“Dari Masruq meriwayatkan bahwa `Aisyah RA. berkata: ‘Rasulullah saw masuk rumahku dan di sisiku ada seorang lelaki. Rasulullah bertanya “wahai `Aisyah siapa ini?”, aku menjawab “dia saudara sepersusuanku”, Rasulullah bersabda “wahai `Aisyah lihatlah siapa yang menjadi saudaramu, sesungguhnya yang menjadi saudara sepersusuan itu adalah (yang menyusu) karena lapar.” (HR. al-Bukhari)

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لَا رَضَاعَ إِلَّا مَا شَدَّ الْعَظْمَ وَأَنْبَتَ اللَّحْمَ ...عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَعْنَاهُ وَقَالَ أَنْشَزَ الْعَظْمَ (أبو داود)

“Dari Ibnu Mas'ud, ia berkata; Tidaklah (dianggap) persusuan kecuali yang dapat menguatkan tulang dan menumbuhkan daging. ... dari Ibnu Mas'ud dari Nabi saw dengan makna yang sama dengannya, dan ia berkata; serta menumbuhkan tulang.” (HR. Abu Dawud)

Serta berdasarkan hadis-hadis lainnya tentang saudara sepersusuan;
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بِنْتِ حَمْزَةَ لاَ تَحِلُّ لِي يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ هِيَ بِنْتُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَة. (رواه البخارى)

“Dari Ibnu Abbas RA. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda tentang putri Hamzah “dia (putri Hamzah) tidak halal bagiku, diharamkan dari saudara sepersusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab. Dia (putri Hamzah) adalah anak saudara sepersusuanku.” (H.R. Bukhari)

عَنْ عَمْرَةَ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَإِنَّهَا سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرَاهُ فُلَانًا لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنْ الرَّضَاعَةِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ كَانَ فُلَانٌ حَيًّا لِعَمِّهَا مِنْ الرَّضَاعَةِ دَخَلَ عَلَيَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلَادَةُ. (رواه مسلم)
“dari 'Amrah bahwasannya Aisyah telah mengabarkan kepadanya bahwa waktu itu Rasulullah saw berada di sampingnya, sedangkan dia ('Aisyah) mendengar suara seorang laki-laki sedang minta izin untuk bertemu Rasulullah di rumahnya Hafshah, 'Aisyah berkata; Maka saya berkata; "Wahai Rasulullah, ada seorang laki-laki yang minta izin (bertemu denganmu) di rumahnya Hafshah". Maka Rasulullah saw bersabda: "Saya kira fulan itu adalah pamannya Hafshah dari saudara sesusuan." Aisyah bertanya; "Wahai Rasulullah, sekiranya fulan tersebut masih hidup -yaitu pamannya dari saudara sesusuan- apakah dia boleh masuk pula ke rumahku?" Rasulullah saw menjawab: "Ya, sebab hubungan karena susuan itu menyebabkan mahram sebagaimana hubungan karena kelahiran." (HR. Muslim).

Berdasarkan argumentasi di atas, maka yang dianggap saudara sepersusuan adalah yang menyusu karena lapar, tanpa membedakan apakah secara langsung atau tidak langsung (Bank ASI). Sedangkan yang dimaksud satu kali menyusui menurut adalah satu kali menyusu sampai kenyang, yang diindikasikan dengan penolakan bayi seperti menutup mulut atau berhenti menyusu.  Adapun batasan susuan yang menyebabkan seorang bayi dianggap sebagai anak susuan dari ibu susuan (pendonor) yaitu minimal lima kali susuan sampai kenyang dari pemilik ASI yang sama, berdasarkan hadis tentang Sahlah binti Suhail di atas.
Atas dasar inilah, maka terkait dengan donor ASI dan Bank ASI dibutuhkan adanya regulasi yang mengatur tentang calon pendonor – apakah ia terbebas dari penyakit yang membahayakan atau tidak. Sehingga ada jaminan kebersihan dan hegenitas dari penyakit yang dapat menular kepada bayi. Prinsif ini sesuai dengan kaidah hukum Islam;
الضرر يزال
“Kemudharatan itu harus dihilangkan.”
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak berbagai keburukan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”

Selain itu pencatatan identitas pendonor dan penerima donor sangat diperlukan, sehingga penerima donor dapat mengetahui orang-orang yang pernah berjasa atas dirinya atau yang menjadi ibu dan saudara sepersusuannya. Wallahu A’lam bis shawab.







Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.