HUKUM KB DALAM PERSPEKTIF FIKIH ISLAM
HUKUM KELUARGA BERENCANA (KB)
Oleh: Ruslan fariadi AM, S.Ag., M.S.I.
KB
dan Problematikanya
Keluarga Berencan (KB)
adalah suatu usaha pengaturan kelahiran atau usaha pencegahan kehamilan (sementara) atas kesepakatan suami-isteri karena situasi dan kondisi
tertentu untuk kepentingan (maslahat) keluarga.
Jika dilihat dari maksud
dan tujuannya, Keluarga Berencana (KB) dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kategori yaitu; Mengatur jarak kelahiran (Tanzimun Nasl), pembatasan
keturnan (Tahdidun Nasl), pemandulan (ta’qim). Sementara apabila dilihat dari bentuk dan alat
yang digunakan, secara umum KB dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu;
1.
Secara tradisional seperti;
a.
Sistem Kalender, dengan
mengetahui waktu atau masa-masa subur
b.
Jamu-jamuan,
c.
Urut Tradisional
d.
‘Azl (mengeluarkan sperma
di luar Vagina) sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian Sahabat pada masa
Rasulullah saw.
2.
Dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, antara lain;
a.
Menggunakan Kondom atau
pembungkus yang dipasang pada alat kelamin laki-laki untuk mencegah masuknya
sperma ke dalam vagina.
b.
Berupa
tablet vagmat atau pil yang
berisi progrestin yang bekerja dalam tubuh wanita untuk mencegah
terjadinya ovulasi dan melakukan perubahan pada endometrium.
c.
Suntikan,
yaitu menginjeksikan cairan kedalam tubuh. Cara kerjanya yaitu menghalangi
ovulasi, menipiskan endometrin sehingga nidasi tidak mungkin
terjadi dan memekatkan lendir serlak sehingga memperlambat perjalanan sperma
melalui canalis servikalis.
d.
Susuk KB,
levermergostrel. Terdiri dari enam kapsul yang diinsersikan dibawah
kulit lengan bagian dalam kira-kira sampai 10 cm dari lipatan siku.
e.
AKDR
(Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) terdiri atas lippiss loop (spiral) multi
load terbuat dari plastik harus yang dililit dengan tembaga
tipis untuk melemahkan daya
sperma membuahi sel telur wanita (ovum).
f.
Sterelisasi (Vasektomi/ tubektomi) yaitu operasi
pemutusan atau pengikatan saluran pembuluh yang menghubungkan testis (pabrik
sperma) dengan kelenjar prostat (gudang sperma menjelang ejakulasi) bagi
laki-laki. Atau tubektomi dengan operasi yang sama pada wanita
sehingga ovarium tidak dapat masuk kedalam rongga rahim. Akibat dari
sterilisasi ini akan menjadi mandul selamanya, dan lain sebagainya.
Isyarat Kebolehan KB dalam al-Qur’an dan Sunnah
Secara prinsipil, Keluarga Berencana (KB) dapat
diterima dalam fikih Islam, bahkan KB yang bertujuan untuk menciptakan keluarga
sejahtera dan berkualitas serta melahirkan keturunan yang tangguh sangat
sejalan dengan tujuan syari`at Islam yaitu mewujudkan kemaslahatan dan mencegah
kemudlaratan bagi umatnya. Hal tersebut akan sejalan dengan tujuan syari’at
jika tujuan, alat yang digunakan, cara,
serta implikasi yang ditimbulkannya tidak bertentangan dengan ajaran
Islam itu sendiri. Sehingga tidak mengherankan jika kebolehan KB dalam batas tertentu seperti ini sudah
banyak difatwakan oleh para ulama, baik secara individu maupun kelembagaan,
baik di tingkat nasional maupun internasional. Terlebih lagi dalam al-Qur’an
dan hadis tidak dijumpai nas yang secara tegas melarangnya. Oleh sebab itu,
karena KB merupakan persoalan mu’amalah maka penentuan status hukum ber-KB
hendaknya dikembalikan kepada kaidah hukum Islam dalam persoalan mu’amalah,
yaitu:
الا صل فى الأشياء الاباحة حتى يدل
الدليل على خلافه
“Pada
dasarnya hukum sesuatu itu adalah boleh (mubah) sampai ada dalil yang
menunjukkan sebaliknya”.
Namun jika dikaji secara lebih mendalam,
sebenarnya dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw serta peraktek yang dilakukan
oleh para sahabat di masa Nabi, telah memberikan isyarat kebolehan mengatur dan
merencanakan kelahiran anak yang sering disebut Keluarga Berencana (KB), antara
lain:
Surat
An-Nisa’ ayat 9:
وَلْيَخْشَ
الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ
فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (النساء:9)
“Dan
hendaklah takut pada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang
mereka anak-anak yang lemah. Mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. An-Nisa’: 9)
Selain ayat diatas masih terdapat
beberapa ayat al-Qur’an yang secara tersirat memberikan petunjuk tentang
kebolehan mengatur kelahiraan anak yang selanjutnya disebut Keluarga Berencana
( KB), yaitu; surat al-Baqarah: 195 dan 233, al-Anfal: 53, Lukman: 14, al-Qashas:
77, at-Thalaq: 7 dan al-Ahkaf: 15.
Dalam Hadis Nabi diriwayatkan:
إنك تدر ورثك أغنياء خير من أن تدرهم
عالة يتكففون الناس (متفق عليه)
“sesungguhnya
lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan dari
pada meninggalkan mereka menjadi beban atau tanggungan orang banyak.”
Hadis tersebut menjelaskan bahwa suami istri hendaknya berusaha
mempersipkan dan memenuhi
biaya rumah tangganya. Orang tua juga hendaknya memiliki kewaspadaan dan
perencanaan akan nasib kesehatan, pendidikan bahkan kebutuhan hidup (harta)
anak-anaknya di kemudian hari. Dengan demikian pengaturan kelahiran anakpun
hendaknya dipikirkan bersama. Hal ini dapat diambil dari spirit al-Qur’an yang
mengajarkan untuk menyempurnakan hak anak sebagaimana disebutkan dalam
al-Qur’an;
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا
مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا
فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ
أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا
سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (البقرة : 233)
“Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS.
al-Baqarah : 233)
Begitu pula dengan hadis Nabi saw;
كنا نعزل على
عهد وسول الله ص. م. فلم ينهها (رواه مسلم )
Kami dahulu dizaman
Nabi SAW melakukan azl, tetapi beliau tidak melarangnya.
لا ضرر ولا ضرار
“Jangan
bahayakan dan jangan lupa membahayakan orang lain.
Pandangan Para Ulama’
Sekalipun di dalam al-Qur’an, hadis dan praktek
sahabat Nabi memberikan isyarat tentang kebolehan ber-KB, namun di kalangan
para ulama’ terjadi perbedaan pendapat tentang kebolehannya. Karena perbedaan
dalam memahami dalil, perbedaan cara ber-KB, tujuan ber-KB, alat yang digunakan
serta implikasi yang diakibatkannya, memunculkan beragam pendapat di kalangan
para ulama’. Namun secara umum, pandangan ulama’ tentang status hukum KB ini
dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok yang melarang, kelompok
yang membolehkan dan kelompok yang lebih moderat dengan memilah jenis KB yang
boleh dan jenis KB yang dilarang.
Dari kalangan ulama’ yang
membolehkan KB seperti Imam al-Ghazali, Syaikh
al-Hariri, dan Syaikh Syalthut, umumnya menggunakan
dalil-dalil umum seperti surat an-Nisa’ ayat 9, hadis Nabi tentang perintah
meninggalkan ahli waris dalam keadaan tersantuni baik secara fisik biologis
maupun mental spiritualnya, serta ‘Azl yang dilakukan oleh sebagian sahabat
yang dilegalkan pada masa Nabi saw. Mereka juga berpendapat
bahwa mengikuti progaram KB untuk menjaga kesehatan ibu dan menghindari
kesulitan mereka merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Menurutnya, perencanaan
keluarga itu tidak sama dengan pembunuhan karena pembunuhan itu berlaku ketika
janin mencapai tahap ketujuh dari penciptaan. Mereka mendasarkan pendapatnya
pada surat al-Mu’minun ayat: 12, 13, 14.
Sedangkan ulama’ yang
melarang KB seperti; Prof. Dr. Madkour dan Abu A’la
al-Maududi, berpendapat bahwa keluarga berencana (KB) dapat dikategorikan
sebagai pembunuhan keturunan seperti
yang dijelaskan dalam al-Qur’an:
...وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ
إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ... (الأنعام: 151)
“Dan
janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut (kemiskinan) kami akan
memberi rizkqi kepadamu dan kepada mereka”. (QS. Al-An’am: 151)
Sementara pendapat yang lebih moderat dikemukakan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) dengan mengklasifikasikan jenis-jenis KB yang diperbolehkan dan
yang diharamkan. Dalam Musyawarah Nasional Ulama tentang Kependudukan,
Kesehatan dan Pembangunan tahun 1983, disebutkan bahwa secara teoritis sudah
banyak fatwa ulama yang membolehkan KB dalam arti tanzim al-nasl (pengaturan
jarak kelahiran), tetapi harus tetap memperhatikan jenis dan cara kerja
alat/metode kontrasepsi yang akan digunakan untuk ber-KB.
Dalam Musyawarah Nasional Ulama’ tersebut dijelaskan beberapa
point yaitu: Pertama; KB
adalah ikhtiar manusia untuk mengatur kehamilan dalam keluarga secara tidak
melawan hukum agama demi mendapat kesejahteraan keluarga dan bangsa. Kedua;
Islam
membenarkan KB untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, menciptakan anak yang
sehat, cerdas, dan shaleh. Ketiga; KB harus
didasarkan atas kesadaran dan sukarela dengan mempertimbangkan faktor agama dan
adat istiadat. Keempat; Penggunaan
kontrasepsi tidak dipaksakan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam, serta
harus berdasar kesepakatan suami-istri. Kelima; Kontrasepsi dalam rahim dibenarkan jika pemasangan
dilakukan oleh tenaga medis wanita. Jika tenaga medisnya pria, harus didampingi
sang suami atau mahramnya. Keenam; Aborsi dengan cara apapun haram karena merupakan
pembunuhan terselubung yang dilarang Islam, kecuali untuk
menyelamatkan jiwa ibu. Ketujuh; Vasektomi
dan tubektomi sebagai alat kontrasepsi KB sekarang ini dilakukan dengan
memotong saluran sperma dan ovum. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
kemandulan permanen. Upaya
rekanalisasi (penyambungan kembali) tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan
kembali yang bersangkutan. Oleh sebab itu, Ijtima Ulama Komisi Fatwa
se-Indonesia memutuskan praktek vasektomi hukumnya haram. (MUI Pusat
Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia III 1430H/2009M pada tanggal 24-26
Januari 2009 di Padang Panjang)
Pendapat Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
Dengan mendasarkan pada
beberapa ayat al-Qur’an, hadis Nabi, praktek yang terjadi pada masa Rasulullah
saw, kaidah hukum Islam serta beberapa aspek pertimbangan yang harus
diperhatikan dalam kasus KB tersebut, maka terkait dengan hukum kebolehan
maupun larangan KB tidak dapat begitu saja diputuskan dengan cara mengeneralisir
kasus kebolehan maupun larangannya. Karena banyak hal yang harus
dipertimbangkan baik menyangkut motif atau tujuannya, cara dan bentuknya, alat
maupun orang yang melaksanakannya, serta dampak yang ditimbulkannya.
Motif seseorang ber-KB hendaknya karena
ingin memaksimalkan kesejahteraan keluarga dan anak yang dilahirkannnya
sehingga terpenuhi hak-hak mereka secara maksimal,, bukan karena kekhawatiran
atau tidak percaya akan rizki Allah serta motif takut kelaparan. Alat dan cara
yang digunakan bukan sesuatu yang dilarang oleh agama terlebih lagi dengan
merusak organ yang telah dianugerahi oleh Allah swt. Orang yang melayani
langsung proses pemasangan atau pelayanan KB hendaknya dilakukan oleh tenaga
wanita dan jika dalam kondisi mendesak dapat dilakukan oleh tenaga pria dengan
didampingin oleh suami atau mahramnya. Begitu pula dengan dampak yang akan
ditimbulkan bukan suatu kemudaratan namun justru kemaslahatan bagi kesehatan
istri, mempertimbangkan kepentingan anak, memperhitungkan kondisi dan kemampuan
ekonomi rumah tangga, sehingga jangan sampai anak-anak mereka menjadi beban
bagi orang lain.
Atas pertimbangan tersebut maka menurut
pendapat kami, bahwa secara substansial, KB tidak bertentangan dengan ajaran
Islam bahkan dapat mewujudkan kemashlahatan bagi ibu maupun keluarga jika dilakukan
secara tepat dan berdasarkan pertimbangan agama dan kesehatan. Menurut kami,
bahwa ayat 9
surat an-Nisa’ dapat menjadi dasar motivasi keluarga berencana, tetapi bukan
dasar langsung kebolehannya. Islam memang menganjurkan agar kehidupan anak
jangan sampai terlantar sehingga menjadi tanggungan orang lain (tanya jawab
agama 1).
Adapun cara-cara yang diperbolehkan dengan mempertimbangkan
keadaan pasien dan skala prioritas (fiqh awlawiyat) adalah seperti menggunakan sistem
kalender, pil, suntikan, kondom, maupun ‘azl, dimana cara terakhir ini
dilakukan oleh sahabat dan tidak dilarang oleh Rasulullah saw, sebagaimana
hadits Nabi :
كنا نعزل على عهد وسول الله ص. م. فلم
ينهها (رواه مسلم )
Kami dahulu dizaman Nabi SAW
melakukan azl, tetapi beliau tidak melarangnya.” (HR. Muslim)
Selain dengan cara di atas, KB juga
dapat dilakukan dengan menggunakan diafragma, tablet vaginal , tisue,
susuk KB, levermergostrel yang terdiri dari enam kapsul yang diinsersikan
dibawah kulit lengan bagian dalam, AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) terdiri
atas lippiss loop (spiral) multi load terbuat dari plastik harus
dililit dengan tembaga tipis dalam rangkamemperlemah daya sperma untuk membuahi
sel telur wanita. Cara
ini diperbolehkan dengan tetap menjaga norma-norma agama, sesuai dengan
pertimbangan medis
serta tidak membahayakan sang ibu. Cara-cara ini dapat dianalogikan
(diqiyaskan) kepada hukum ‘azl yang diperbolehkan oleh Rasulullah
saw.
Sedangkan cara pencegahan kehamilan
yang dilarang yaitu; dengan cara merubah atau merusak organ tubuh, seperti; vasektomi yaitu operasi pemutusan atau pengikatan saluran
pembuluh yang menghubungkan testis (pabrik sperma) dengan kelenjar prostat
(gudang sperma menjelang ejakulasi) bagi laki-laki, maupun tubektomi yaitu operasi yang sama pada wanita sehingga
ovarium tidak dapat masuk kedalam rongga rahim. Hal ini tidak diperbolehkan karena merusak fisik
dan bertentangan dengan
tujuan pernikahan dan menjadikan seseorang mandul selamanya.
Kecuali dalam kondisi darurat dan
berdasarkan pertimbangan medis, seperti seorang ibu yang beberapa kali
mengalami proses persalinan dengan cara cesar, sehingga karena pertimbangan
tersebut dan berdasarkan pertimbangan usia pasien dikhawatirkan akan berdampak
negatif bagi jiwa sang ibu jika mengalami kehamilan lagi. Maka kondisi seperti
ini tentu menjadi pengecualian yang diperbolehkan untuk menjaga salah satu dari
tujuan syari’at (maqashid as-Syar’ah) yaitu menjaga keselamatan jiwa (hifzun
nafs) sanga ibu. Wallahu A’lam bis-Shawab.
Leave a Comment