POKOK-POKOK ALASAN PENTINGNYA PENGGUNAAN HISAB
ALASAN PENTINGNYA MENGGUNAKAN HISAB
Ruslan Fariadi AM, S.Ag.,
M.S.I.
I. Mengapa Muhammadiyah Menggunakan Hisab:
a. Semangat
Al Qur’an adalah menggunakan hisab,
sebagaimana tersirat dalam al-Qur’an; “Matahari
dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS. 55:5). Ayat ini tidak sekedar menginformasikan bahwa
matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau
diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya, antara lain untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
waktu (QS.Yunus (10) ayat: 5).
b. Jika spirit
Qur’an adalah hisab, mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid
Ridha dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah Amrun Ma’lulah (perintah
ber-ilat), yaitu ummat zaman
Nabi Saw adalah ummat yang ummi, sebagaimana
ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya
kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan
hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan
hari dan kadang-kadang tiga puluh hari.”
c.
Dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat
kalender. Rukyat tidak dapat untuk
menentukan tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada
H-1.
Dr. Nidhal Guessoum
menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem
penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa
Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
d.
Rukyat
tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global (Kalender Islam Internasional).
Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qomariah, termasuk bulan-bulan ibadah.
Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka
bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka
bumi lain yang tidak dapat merukyat.
e. Jangkauan rukyat terbatas, akibatnya, rukyat fisik tidak dapat
menyatukan awal bulan Qomariah
di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah
menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku
untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta
astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan
pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
f. Pada masa Nabi rukyat tidak masalah karena
terbatasnya wilayah umat Islam pada masa Nabi saw.
g.
Rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan
puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan
sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah
timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah
dalam memasuki awal bulan Qomariah.
Akibatnya kawasan ujung barat
bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh
bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu.
h. Argumen-argumen di atas
menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang
pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan
ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya
melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang
muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat.
i. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender
Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami)
tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al
Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para
peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qomariah
di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan hisab,
seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.
j. Yusuf Al Qardawi menyebut bahwa rukyat bukan
tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits
dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa
menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qomariah adalah wajib dalam semua
keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
k. Hisab
yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan
awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qomariah baru dimulai apabila telah
terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtima', ijtima' itu
terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada
di atas ufuk.”
II . Memahami Hadis Tentang
Penentuan Bulan Qomariyah
Perbedaan pendapat tentang cara penentuan bulan qomariyah yang terkait dengan pelaksanaan
ibadah seperti ramadhan, syawwal dan Dzul Hijjah sudah timbul sejak lama dalam
peradaban Islam. Umat Islam
Indonesia menggunakan beberapa metode yang dalam penentuan tersebut, antara
lain: Hisab hakiki Wujudul
Hilal, Hisab ‘urfi, Rukyat, Imkanur Rukyat 2 derajat, ‘Irfani (kaum tarekat)
dan Pasang Surut Air Laut.
Namun secara garis besar dapat
digolongkan menjadi dua kelompok besar yaitu; Pendapat pertama; penentuan awal
bulan qomariyah dengan rukyat, yaitu melihat bulan secara fisik dengan mata. Pendapat
kedua menyatakan bahwa boleh menentukan bulan qomariyah, termasuk bulan-bulan
ibadah yang meliputi ramadhan, syawwal dan dzulhijjah, dengan menggunakan hisab
astronomi bahkan menggunakan hisab dipandang lebih utama karena lebih
memberikan kepastian dibandingkan dengan rukyat, yang selain sukar sering pula
tidak akurat.
Perbedaan pendapat ini
tidak lain disebabkan karena perbedaan cara pandang, pendekatan dan metode
pemahaman terhadap hadis-hadis yang berbicara tentang penentuan awal bulan
dengan rukyat.
Hadis-Hadis Tentang Rukyat
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ
غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (رواه البخاري ومسلم)
"… Apabila kamu melihat hilal
berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah ! jika bulan terhalang
oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah." (HR. Al-Bukhari,
dan Muslim)
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ (رواه البخاري ومسلم)
“… Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan
beridulfitrilah karena melihat hilal pula; jika bulan terhalang oleh awan
terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan sya’ban tiga puluh hari (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا
تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
(رواه البخاري ومسلم)
“…
janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridulfitri
sebelum melihat hilal; jika bulan terhalang oleh awan tehadapmu, maka
estimasikanlah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
1. Studi Konfirmatif
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ (الرحمن: 5)
“ Matahari dan bulan
beredar menurut perhitungan (QS. Ar-Rahman:
5)
هُوَ الَّذِي
جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا
عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ
يُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (يونس: 5)
“Dia-lah
yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya bagi
bulan itu manzilah-manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan
hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
mengetahui.” (QS. Yunus: 5)
Kedua
ayat ini menunjukkan bahwa bulan dan matahari memiliki sistem peredaran yang
ditetapkan oleh Allah swt dan peredarannya dapat dihitung. Penegasan bahwa
peredaran matahari dan bulan dapat dihitung bukan sekedar informasi, melainkan
suatu isyarat agar dimanfaatkan untuk penentuan bilangan tahun dan perhitungan
waktu secara umum.
وَالْقَمَرَ
قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ (*) لَا الشَّمْسُ
يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ
وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ (يس:40)
“Dan telah
Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke
manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah
mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului
siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS. Yasin: 39-40)
Ayat
39 surat yasin
ini bila dihibungkan kepada suart yunus ayat; 5, menjelaskan bahwa Allah telah
menetapkan manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan mengelilingi bumi. Ketetapan Allah swt itu bersifat pasti sehingga oleh karena itu, bila
dihubungkan dengan surat ar-Rahman ayat: 5, perjalanan bulan dan
posisi-posisinya dapat dihitung.
Ini adalah isyarat kepada penggunaan hisab.
Selain itu, surat Yasin ayat; 39-40 di atas memberikan pula kreteria hisab
untuk menentukan awal bulan baru. Dalam ayat 39 dijelaskan bahwa bulan dalam
perjalanan mengelilingi bumi menempati posisi-posisi sehingga posisi terakhir
di mana terjadi kelahiran bulan baru.
Secara astronomis kelahiran bulan baru itu
adalah saat terjadi ijtimak (konjungsi). Hanya saja kreteria ini belum memadai
karena ijtimak bisa terjadi kapan saja; pagi, siang, malam, dini hari dan
seterusnya, sementara bulan itu harus utuh bilangannya. Oleh karena itu
diperlukan kreteria lain lagi, yaitu saat pergantian hari seperti diisyaratkan
oleh ayat; 40. Saat pergantian hari itu adalah saat matahari terbenam (magrib).
Kemudian ayat 40 itu juga mengisyaratkan satu kreteria lagi, yaitu pada waktu
terbenamnya matahari, bulan harus sudah mengejar matahari, dengan kata lain
bulan berada di atas ufuk.
...فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ... (البقرة: 185)
“…Karena itu barangsiapa di antara kamu ada (di tempat) pada bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa…(QS. Al-Baqarah:
185)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا
وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ (رواه
البخاري ومسلم)
“Sesungguhnya kami
adalah umat yang ummi kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab.
Bulan itu adalah demikian-demikian,. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh
Sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari.” (HR.al-Bukhari dan Muslim)
2.
Kajian Praksis
Hadis tersebut (hadis Ummi)
merupakan penegasan ‘illat (alasan hukum) mengapa Nabi saw memerintahkan
melakukan rukyat untuk memulai dan mengakhiri puasa ramadhan. ‘Illat perintah
itu adalah mengingat keadaan ummat yang masih ummi, yaitu belum mengenal secara
luas baca tulis dan ilmu hisab. Oleh karena itu sarana untuk menandai masuknya
bulan kamariyah ditetapkan hal yang mudah dan dapat dilakukan saat itu, yaitu
rukyat. Ini sesuai dengan kaidah fikih
yang menyakatan; “Hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ‘illat.” Dan
berdasarkan hadis di atas pula dapat ditegaskan suatu kaidah:
الأصل فى إثبات الشهر أن يكون بالحساب
Rukyat bukanlah merupakan bagian dari ibadah, melainkan hanyalah sarana
untuk menentukan bulan kamariyah. Oleh karena itu, apabila ditemukan sarana
yang lebih baik dan lebih memberikan kepastian (dalam hal ini adalah hisab),
maka digunakanlah sarana yang lebih baik tersebut.
3. Analisis
Kuantitas dan Kualitas Hadis
Terkait dengan hadis-hadis di atas, para ulama telah melakukan penyelidikan
terhadap teks-teks hadis yang berbeda bahkan bertentangan tersebut. Di antara
yang melakukan penelitian tersebut adalah Syaraf al-Qudah. Ia meneliti
matan-matan hadis tersebut dengan melakukan rekonstruksi (i’tibar) sanad. Ia
berkesimpulan bahwa hadis estimasikanlah (faqdurulah) diriwayatkan oleh
lebih banyak rawi dan lebih kuat. Sementara hadis “genapkanlah” syakban
tigapuluh hari rawi-rawinya kurang kuat dibandingkan dengan hadis estimasi,
bahkan hadis “faqdurulah” tergolong asahhul asanid.
Sejalan dengan ini adalah analisis al-Gumari. Hasil kajiannya membawanya
kepada kesimpulan bahwa riwayat “faqduru lahu tsalatsin” dan “faakmilu
al-‘iddah tsalatsin”, “faakmilu al-‘iddah sya’ban tsalatsin”
bukanlah lafal otentik dari Nabi saw, melainkan interpretasi para rawi dan
merupakan hasil pemahaman mereka terhadap matan hadis dan kemudian meriwayatkan
hadis tersebut secara makna berdasarkan pemahaman mereka itu.
Studi Analitis Matan Hadis
a.
Pemahan teks hadis yang berbunyi “faqdurulah”
memiliki tiga interpretasi;
1)
estimasikan bulan berjalan menjadi
30 hari.
2)
qaddiruhu tahtas sahib,
perkirakanlah bulan dibawah awan. Alasannya. Kata qodara yaqduru dalam berbagai
ayat artinya “menyempitkan” (ayat: faqadara ‘alaihi rizkahu)
3)
perhitungkanlah dengan menggunakan
hisab (Ibnu Syuraij w.306; tokoh Syafi’iyah sebagai pendukung hisab)
b. Teks (matan) hadis dengan
kata ru’yah, memiliki dua
makna yaitu; ru’yah bil ‘ain dan ru’yah bil ‘ilmi. Bahkan dalam
prakteknya, ru’yah yang dijalankan pada masa ini tidak sama persis dengan
praktek ru’yah pada masa Rasulullah saw, dimana Rasulullah, para sahabat dan
generasi terdahulu melakukan ru’yah dengan mata kepala tanpa didukung oleh alat
seperti teropong sebagaimana yang terkjadi saat ini.
c. Menurut analisis para
ahli, hadis tentang “fakmilul ‘iddah” lebih merupakan kesimpulan para
sahabat. Alasannya;
1) Tidak satupun
menggunakan pormula nomor 1, yaitu saya mendengar.
2)
Hadis tentang faqduru lahu lebih
banyak jalur periwayatannya
d.
Hadis adalah laporan para saha
bat
terhadap sesuatu yang berasal dari Nabi dengan tiga kategori;
1)
Sahabat menyebutkan pada masa
Rasulullah
2)
saya mendengar’ Rasulullah
bersabda,
3)
Rasulullah memerintahkan,
menghalalkan dan seterusnya
III. Para ulama salaf dan
Khalaf yang Membenarkan Penggunaan Hisab
Perlu diketahui bahwa pendapat yang
membenarkan penggunaan hisab bukanlah suatu hal baru, melainkan telah merupakan
pandangan yang cukup tua dalam sejarah Islam. Orang yang pertama tercatat membenarkan
penggunaan hisab adalah Mutarrif Ibn Abdillah Ibn asy-Syikhkhir (w.
95/714) dari kalangan kibar at-Tabi’in, kemudian Imam as-Syafi’i (w. 204/820),
Ibnu Suraij (306/918), Ibn Rusyd (w.595/1119), Imam asy-Syirazi (w.476/1083),
Muhammad ibn Muqatil ar-Razi (w.242/857), Ibn Qutaibah (w. 276/889), Muhyiddin
ibn ‘Arabi (w.637/1240), Ibn Daqiq al-‘Id (w. 702/1302), Syihabuddin al-Marjani
(1223/1808), dan lainnya.
Sedangkan pada zaman modern
kecenderungan kepada hisab semakin menguat. Hal ini tidak lepas dari pengaruh
perkembangan ilmu astronomi sendiri yang semakin canggih dan mampu
memperhitungkan gerak benda-benda langit secara amat akurat seperti dalam
peristiwa gerhana. Ulama’-ulma’ kontemporer tersebut antara lain; Muhmmad
Rasyid Ridha, Mustafa Ahmad Zarqa, Ahmad Syakir, Yusuf
al-Qaradhawi, Syaraf al-Quddah, Prof. Dr. Abbas al-Jirari, Dr. M.
al-Babtin, Prof. Dr. Ahmad al-Khamlisyi, Dr. Zaki Abdur rahman al-Mustafa,
Prof. Dr. M. Ahmad sulaiman, Dr. Abdurrahman Ibn Hamzah Maghribi, dan lain
sebagainya.
IV. Kebutuhan
Objektif Umat islam Internasional
a. Islam merupakan agama dan
sekaligus peradaban dunia yang sangat besar, namun sampai saat ini Islam
sebagai peradaban dunia belum memiliki kalaneder pemersatu internasional, kalah
dengan Yahudi bahkan Hindu yang jumlahnya sangat sedikit.
b. Andaikata hisab ini salah fatal,
niscaya banyak pelaut dan pilot salah navigasi,
serta banyak satelit di angkasa yang hilang.
serta banyak satelit di angkasa yang hilang.
c. Alasan-alasan
perlunya pembuatan kalender Islam internasional:
1)
Karena problem rukyat (rukyat akan
membelah bumi; karena itu rukyat tidak bisa menjadi sstem penanggalan); hal ini
diketahui sejak Muhammad Ilyas melakukan
hisab global pada awal tahun 80-an.
2)
Islam sebagai peradaban besar di
dunia (usia 1500 tahun) merupakan satu-satunya peradaban yang tidak memiliki sistem
penanggalan internasional, karena ummat Islam terlalu bergantung pada rukyat.
d. Upaya
penyatuan Kalender Islam internasional:
1)
Kalender
bizonal:
a) Kalender
Audah,
b) Kalender
Qasum,
c) Kalender
Syaraf al-Qudah
2)
Kalender
terpadu:
a)
Kalender Ummul Qura,
b)
Kalender Jamaluddin Shaukat
c)
Kalender Libya (ijtima’ qablal
fajri)
d)
Kalender Husain Diallo
V. Menyikapi Tradisi-Tradisi
Penentuan Awal Bulan Secara Arif
Tradisi
menurut makna sosialnya diartikan sebagai sesuatu yang diwariskan dari satu
generasi ke generasi lain melalui proses sosial dimana seseorang menyatu ke
dalam suatu kelompok melalui proses pembelajaran budaya kelompok dan peran
orang dalam kelompok. Tradisi meliputi keyakinan, nilai, cara berfikir sebuah
kelompok sosial. (George A. Theodorson 1979). Dalam terminologi sering disebut
dengan ‘urf, yaitu sesuatu yang telah dikenal dan pada umumnya berlaku pada
suatu masyarakat baik berupa perkataan maupun tindakan.
Sikap ideal
seseorang terhadap tradisi adalah dengan menerapkan prinsif yang tertuang dalam
kaidah fiqhiyah:
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Leave a Comment