METODE KONTEMPORER PEMAHAMAN HADITS PERSPEKTIF YUSUF AL-QARADHAWI
METODE KONTEMPORER
PEMAHAMAN MATAN HADIS
PERSPEKTIF YUSUF AL-QARADHAWI
Oleh: Ruslan Fariadi, S.Ag., M..S.I.*)
Pendahuluan
Meyakini dan memposisikan hadis Nabi secara
struktural sebagai sumber syari'at Islam kedua, berarti juga meyakininya
sebagai sumber berbagai aspek kehidupan dan keagamaan, mulai dari persoalan
ibadah, mu'amalah, jinayat, pendidikan, hingga persoalan-persoalan lainnya.
Sebab diyakini bahwa hadis disamping memiliki fungsi sebagai the first
interpreter (al-mubayyin wa al-mufassir al-awwal), juga memiliki
kewenangan menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur'an.
Hadis merupakan sebuah narasi, biasanya sangat singkat, dan bertujuan
memberikan informasi tentang apa yang dikatakan, dilakukan, disetujui dan tidak
disetujui oleh Nabi, yang terkodifikasi jauh setelah beliau wafat. Berbeda
dengan al-Qur'an yang diyakini tanpa kecuali sebagai wahyu Allah, yang telah
tertulis sejak Rasulullah saw masih hidup dan diriwayatkan secara mutawatir.
Adapun hadis lebih banyak diriwayatkan secara ahad dan sedikit sekali yang
diriwayatkan secara mutawatir. Sehingga betapapun shahihnya suatu hadis
hanya sampai pada tingkatan "diduga kuat". Semua itu menjadi alasan
mengapa hadis menjadi sesuatu yang dipelajari dengan epistemologi tersendiri.
Epistemologi mempelajari hadis dalam rangka menerima atau
menolaknya sebagai argumentasi hukum, lebih dikenal dengan kritik hadis. Penelitian
atau kritik hadis mencakup dua aspek, yaitu matan dan sanad
hadis. Atau dalam ungkapan lain, bahwa wilayah objek material kritik hadis
sebagaimana dikemukakan oleh kalangan muhadditsîn adalah:
(a) Naqd zhahirî atau Naqd kharijî (kritik eksternal) yang
menganalisis dengan kritis sanad hadis; (b) Naqd bathinî atau Naqd
dakhilî (kritik internal) dengan objek material matan hadis.
Untuk
melakukan penelitian eksternal, para pengkaji ilmu hadis berusaha merumuskan
sejumlah disiplin ilmu yang berkompenten menilai hadis dari sisi sanad-nya.
Dari sini pula kemudian muncul beragam ilmu yang meneliti secara khusus jalur
transmisi periwayatan, misalnya; ilmu rijâl al-hadîts,
thabaqât al-ruwât,
târîkh
rijâl al-hadîts, jarh wa al-ta'dîl, dan lain sebagainya.
Selanjutnya,
langkah metodologis kritik sanad menempuh beberapa tahapan, yaitu: (1)
uji ketersambungan proses periwayatan hadis dengan mencermati silsislah
keguruan hadis dan proses belajar mengajar hadis (tahammul wa al-Adâ')
yang ditandai dengan ungkapan periwayatan (shighat al-tahdîts / shigah al Adâ');
(2) mencari bukti integritas keagamaan perawi (al-'Adâlah) yang
menjangkau faham akidah dan sikap politik perawi; (3) menguji kadar ketahanan
intelegensia perawi, data gangguan ingatan saat memasuki usia tua, bukti
kepemilikan naskah dokumentasi hadis (dhâbith); (4) ada tidaknya jaminan
"keamanan" dari gejala syâdz[1] atau dugaan keberadaan 'illat[2] dalam sanad hadis.
Hakikat
kritik hadis, sebagaimana dikemukakan di atas, bukan untuk menilai salah atau
ketidakbenaran sabda Rasulullah saw., karena otoritas nubûwwah dan penerima mandat risalah
terjamin terhindar dari salah ucap atau melanggar norma (ma'shûm), tetapi sekedar uji
perangkat yang memuat informasi tentang beliau, termasuk uji kejujuran
informatornya.
Kritik
hadis pada dasarnya bertujuan untuk menguji dan menganalisis secara kritis
apakah fakta sejarah kehadisan itu dapat dibuktikan, termasuk komposisi kalimat
yang terekspos dalam ungkapan matan. Lebih jauh lagi, kritik hadis
bergerak pada level menguji apakah kandungan ungkapan matan itu dapat
diterima sebagai sesuatu yang secara historis benar. Pengujian terhadap teks
dan komposisi ungkapan matan amat berhubungan dengan taraf intelektualitas
perawi hadis dan bayang-bayang bias informasi sebagai implikasi daya kreasi
berfikir saat mengamati dan melaporkan kesaksian itu kepada orang lain.
Berbeda
halnya dengan semangat penelitian hadis di kalangan orientalis. Ignaz
Goldziher (1850-1921 M) seorang Yahudi Hongaria dalam karyanya yang berjudul Muhammedanische
Studies (1890), telah menerapkan kaidah kritik matan hadis dengan
pendekatan politik, sains, sosio-kultural, dan lain-lain. Kemudian Yosef
Schacht (1902-1969 M) melaui The Origins of Muhammadan Jurisprudensce
(1950) memunculkan teori projecting back. Kedua orientalis tersebut
cenderung menilai maudlu' (palsu) terhadap hadis-hadis yang mereka
teliti. Hal tersebut disebabkan karena sikap apologi dan bias dalam menyikapi
ajaran agama yang bukan anutannya.
Namun
demikian, yang patut menjadi catatan adalah bahwa; tidak ada jaminan bahwa jika
sanad suatu hadis shahih, maka demikian juga dengan matan-nya.
Banyak hal yang harus dikaji lebih mendalam terkait dengan redaksi matan
hadis. Di antaranya adalah dengan cara menghadapkan (muqâbalah) matan
hadis pada konsep dalil-dalil syara' yang lain, dan juga dengan cara konfirmasi
(mu'âradhah) pada fakta kehadisan.
Metodologi
Kritik Matan Hadis
Tolok
ukur kritik matan hadis yang ditradisikan oleh kalangan muhadditsîn - terkait upaya merumuskan
konsep ajaran Islam versi hadis, yaitu: (a) tidak menyalahi petunjuk eksplisit
al-Qur'an; (b) tidak menyalahi hadis yang telah diakui keberadaannya dan tidak
menyalahi pandangan akal sehat, data empirik dan fakta sejarah, dan (d)
berkelayakan sebagai ungkapan pemegang otoritas nubûwwah.
Untuk
merealisasikannya, maka langkah metodologis yang ditempuh oleh muhadditsûn dalam mengungkap validitas matan
hadis adalah; (a) melakukan takhrîj (penelusuran keberadaan
hadis) guna mengetahui seluruh jalur sanad-nya; (b) melakukan I'tibâr guna mengkategorikan muttaba'
tâm/qâshir dan menghimpun matan
hadis yang setema sekalipun dari sumber sahabat yang berbeda (syâhid); (c) mencermati data dan
mengukur segi-segi perpadanan atau kedekatan pada: nisbah ungkapan kepada nara
sumber, pengantar riwayat, shigat tahdîts, dan susunan kalimat matan-nya,
sereta menentukan sejauh mana unsur perbedaannya.
Hal
lain yang harus dikaji lebih mendalam terkait dengan matan hadis adalah
aplikasi dan kontekstualisasi muatan hadis pada era kekinian. Tanpa
kontekstualisasi ini, hadis hanya akan menjadi doktrin kering yang tidak
familier dengan problem masyarakat kontemporer. Atau lebih ekstrim lagi, hadis
malah menjadi beban sosial-keagamaan pada suatu masyarakat, dan bukan solusi
(petunjuk) yang menjanjikan.
Untuk
itu dibutuhkan perangkat metodologi yang berkompeten mengkaji hadis, misalnya
ditinjau dari sisi linguistik, asbâb al-wurûdnya, dan disiplin lain yang
mengkaji seputar matan hadis. Sebab, sebagaimana al-Qur'an, hadis tidak
diturunkan dalam kondisi vacuum budaya. Hadis terlahir dengan berpijak
pada kerangka budaya dan problem masyarakat Arab. Dengan demikian, hadis
merupakan manifest dialog antara idealitas pewahyuan dengan realitas objektif
pada masa itu.
Hal tersebut sekaligus menjadi salah satu alasan terjadinya perbedaan sikap
di antara ulama dalam merespon suatu hadis. Sebagian di antara mereka
menganggap suatu hadis itu shahih, namun di pihak lain menilainya dha'if.
Sehingga terjadi pro dan kontra dalam menerima suatu hadis, baik karena dianggap
dha'if, maupun karena adanya hadis lain yang lebih shahih, sementara
dari segi matan diasumsikan terjadi ta'arudh (pertentangan)
sehinggga salah satunya tidak bisa diamalkan (ghair al ma'mul).
Kriteria
keshahihan matan hadis menurut kalangan muhadditsîn cukup beragam. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian, persoalan serta
masyarakat yang dihadapinya. Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H/1072 M) misalnya, menurutnya;
suatu matan hadis dapat dikatakan shahih apabila memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut: (a) Tidak bertentangan dengan akal sehat, (b)
Tidak bertentangan dengan al-Qur'an, (c) Tidak bertentangan dengan hadis mutawâtir,
(d) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan para ulama
terdahulu (ijma'), (e) Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti,
(f) Tidak bertentangan dengan hadis ahâd yang kualitas keshahihannya
lebih kuat.
Ibnu
al-Jauzy (w.
697 H/1210 M), memberikan tolok ukur keshahihan matan secara singkat,
yaitu setiap hadis yang tidak bertentangan dengan akal sehat maupun dengan
ketentuan pokok agama. Sedangkan Musthafa al-Siba'i, mengemukakan sepuluh kreteria keshahihan matan
hadis, yaitu: (1) Redaksinya tidak rancu, (2) tidak bertentangan dengan akal
sehat, (3) tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah umum baik tentang hukum
maupun akhlak, (4) Tidak bertentangan dengan realitas, (5) tidak bertentangan
dengan nilai-nilai kebenaran (kebaikan) dan kebijakan (hikmah), (6) tidak
mengajak kepada sesuatu yang hina menurut pandangan syari'at, (7) tidak
bertentangan dengan dasar-dasar aqidah, (8) tidak bertentangan dengan sunnatullah,
(9) tidak mengandung kelemahan-kelemahan yang sangat dihindari oleh orang yang
berakal sehat, (10) tidak bertentangan dengan al-Qur'an, sunnah yang muhkam,
ijmâ', dan segala sesuatu yang dapat difahami dengan jelas (bukan
sesuatu yang mengandung unsur ta'wil) dalam masalah agama.
Sementara
Salah al-Din al-Adabi, mengambil jalan tengah dari dua pendapat di atas,
menurut beliau; kreteria keshahihan matan hadis ada empat, yaitu: (1)
Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur'an, (2) Tidak bertentangan dengan
hadis yang lebih kuat, (3) tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan
sejarah, (4) Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Namun para ulama' tidak hanya menggunakan cara ini sebagai solusi dalam
mengkompromikan dan menjadikan suatu hadis sebagai hujjah. Mereka juga menempuh cara-cara atau metode lain untuk
memahaminya. Sehingga hadis tidak cukup diterima atau ditolak hanya berdasarkan
asumsi-asumsi semata.
Metode
Pemahaman Matan Hadis
Meminjam
pendapat John L. Esposito, ada dua kecenderungan pemahaman terhadap kandungan
hadis di kalangan para ulama, yaitu retriction of traditionalist
(tekstual) dan modernist scripturalism (kontekstual). Pemahaman kelompok
pertama hanya membatasi diri pada tradisi yang diperolehnya dari ulama klasik
tanpa mempertimbangkan realitas sosial. Sedangkan pemahaman kelompok kedua
tidak membatasi diri pada tradisi tersebut, tetapi mempertimbangkan konteks dan
realitas sosial yang berada di luar teks.
Teori
yang digunakan oleh kelompok tekstualis adalah teori tekstual-legalistik-normatif.
Teori ini menekankan pada aspek gramatika bahasa. Argumen yang dijadikan dasar
adalah meskipun hadis diyakini sebagai sabda Nabi, namun karena tertuang dalam
bahasa Arab, maka cara yang paling tepat untuk memahami hadis adalah dengan
merujuk kepada struktur kebahasaan (logika bahasa dan grammar).
Sedangkan
teori pemahaman hadis yang direpresentasikan oleh kelompok modernist
scripturalism adalah histories-kontekstual. Teori ini mencoba
memahami hadis dengan bergerak dari wilayah gramatika-tekstual ke wilayah
kontekstual. Penguasaan gramatika dan gaya bahasa Arab sangat diperlukan. Tanpa
keduanya, pemahaman akan kehilangan peta dan arah. Namun, meskipun hadis yang
datang dari Nabi berbahasa Arab, sampai tingkat tertentu dapat dimasukkan ke
dalam kategori budaya yang di dalamnya terkandung sifat relatif, dan juga
mengandung sistem tanda bahasa yang bersifat arbitrer (kesepakatan
sosial). Konsekuensinya, makna yang dikandung hadis tidak semuanya terungkap
dan tidak bisa dipahami secara tuntas oleh pembacanya, meskipun pembacanya ahli
di dalam ilmu bahasa.
Pendekatan
histories-kontekstual, yakni untuk memahami ucapan Nabi, misalnya,
hendaknya juga dipahami gaya bahasa yang digunakan, konteks sosial dan
psikologis ketika Nabi bersabda serta kepada siapa ucapan itu dialamatkan.
Seorang yang tidak mengetahui latar belakang sosial-budaya (asbab al-wurud al-hadits) dari mana dan dalam situasi
apa sebuah hadis disabdakan, maka pesan dari sebuah hadis sulit ditangkap.
Ketika hadis diterjemahkan secara literal dan dilepaskan dari konteksnya,
sangat mungkin pemahaman yang muncul jauh dari yang dikehendaki oleh
pembicaranya. Pemahaman kontekstual ini lebih diperlukan lagi ketika seseorang
akan menentukan sebuah formula hukum.
Metode
Pemahaman Hadis Perspektif Yusuf al-Qaradhawi
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, sunnah Nabi memiliki tiga karakteristik, yaitu: Pertama:
Komprehensif (manhaj syumuly); mencakup seluruh aspek kehidupan manusia
dan dapat diterapkan di semua tempat dan zaman (Shalihun likulli zaman wa
makan). Kedua: Seimbang (manhaj mutawazin);
mempertimbangkan keseimbangan antara tubuh dan jiwa, akal dan qalbu, dunia dan
akhirat, idealitas dan realitas, teori dan praktek dan seterusnya. Ketiga:
Memudahkan (manhaj muyassar); tidak memberikan beban yang tidak
semestinya. Ketiga karakteristik tersebut mendukung pemahaman yang utuh
terhadap suatu hadis.
Atas dasar itulah, maka ada tiga hal yang harus
dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu; penyimpangan (tahrif),
manipulasi (intihal), dan penafsiran orang-orang bodoh (ta'wil
al-jahilin). Di antara bentuk-bentuk penyimpangan dan kesalahan dalam
memahami nash adalah; pemahaman yang dikuasai oleh hawa nafsu, karena
fanatisme golongan, pemahaman secara parsial, dan tergesa-gesa dalam memahami
nash sebelum diadakan kajian, perenungan dan studi komparatif yang memadai dengan
cara mencurahkan segala kemampuan.
Kejahilan
merupakan bencana dan akan menjadi bencana paling besar jika ia bercampur
dengan hawa nafsu. Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap
moderat (wasthiyah). Untuk merealisasikan metode tengah (wasthiyah)
terhadap sunnah, Yusuf al-Qaradhawi mengemukakan tiga prinsif dasar yang harus
ditempuh ketika berinteraksi dengan sunnah, yaitu: Pertama: Meneliti
keshahihan hadis sesuai acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh ulama' hadis
baik sanad maupun matan-nya. Kedua: Memahami sunnah
sesuai dengan pengertian bahasa, konteks dan asbabul wurud teks hadis
untuk menemukan makna suatu hadis yang sesungguhnya. Ketiga:
Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash lain
yang lebih kuat.
Untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar di atas,
maka Yusuf al-Qaradhawi mengemukakan beberapa kreteria dalam memahami hadis:
1.
Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Qur'an
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, untuk memahami hadis dengan benar, harus sesuai
dengan petunjuk al-Qur'an. Sebab hubungan antara keduanya sangat signifikan,
sehingga mustahil suatu hadis shahih bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur'an
yang muhkamat. Jika ternyata pertentangan itu terjadi, maka kemungkinan
hadis tersebut tidak shahih, atau pemahamannya yang tidak tepat, atau yang
diperkirakan sebagai pertentangan tersebut bersifat semu dan bukan hakiki.
Dengan demikian, menjadi kewajiban seorang muslim untuk mengkompromikan (tariqatul
jam'i), baik dengan melakukan al-jam'u wa al-taufiq (mengkompromikan
kedua makna hadis), al-tarjih (menguatkan salah satu hadis dengan jalur
hadis yang lain), al-nasikh wa al-mansukh (menghapus pemberlakuan suatu
hadis dengan hadis lain yang datang belakangan), atau men-tawaquf-kan
hadis yang terlihat bertentangan dengan ayat al-Qur'an yang muhkam,
selama tidak ada penafsiran (ta'wil) yang dapat diterima.
Contohnya adalah hadis tentang penguburan bayi
hidup-hidup:
حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ
حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ عَامِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَائِدَةُ وَالْمَوْءُودَةُ فِي النَّارِ قَالَ يَحْيَى
بْنُ زَكَرِيَّا قَالَ أَبِي فَحَدَّثَنِي أَبُو إِسْحَقَ أَنَّ عَامِرًا
حَدَّثَهُ بِذَلِكَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه أبو داود و أحمد).
Hadis ini menjelaskan tentang hukuman neraka bagi
perempuan yang mengubur (bayinya) dan (bayi) yang dikubur. Hal ini menurutnya
bertentangan dengan (QS. Al-An'am: 164)
Bagi beliau, hadis shahih
yang maknanya masih diragukan, hendaknya tidak cepat-cepat diambil keputusan
untuk menerima atau menolaknya secara mutlak. Sebab, ia khawatir jangan-jangan
hadis tersebut mengandung makna yang masih belum tersingkap bagi dirinya. Sebab
diakui bahwa salah satu problem pemahaman hadis yang samar-samar (seperti di
atas) termasuk masalah penting yang pemecahannya selalu dilakukan para ulama
baik salaf maupun khalaf secara hati-hati dan dari berbagai aspek
dan titik tolak.
Patut untuk diperhatikan,
bahwa ketika menkonfirmasikan antara hadis dengan al-Qur'an membutuhkan
kehati-hatian dan kecermatan. Sikap ini juga ditunjukkan ketika beliau
menjelaskan tentang prinsip-prinsip pokok dalam melakukan istimbath hukum.
Beliau tidak sependapat dengan Imam Abu Hanifah yang menolak hadis:
لَيْسَ فِيمَا دُونَ
خَمْسَةِ أَوْسُقٍ مِنْ التَّمْرِ صَدَقَةٌ (رواه البخاري).
Kurma yang kurang dari
lima wasaq (satu wasaq = 60 liter) tidak wajib zakat
Penolakan tersebut
berdasarkan pada keumuman ayat; "Hasil tanaman yang Kami keluarkan dari
dalam tanah." (QS. 2:262). Dan keumuman hadis; "Sawah yang diairi
dengan air hujan, zakatnya sepersepuluh." Karena hadis tersebut adalah
hadis shahih. Dengan demikian menafsirkan hadis itu hanya berlaku pada lima wasaq
kurma untuk diperdagangkan, adalah tafsiran yang lemah dan mengacaukan. Yusuf
al-Qaradhawi menganggap lebih
kuat pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa nisab semua yang
diperoleh dari tanaman sama dengan nisab harta kekayaan lain, dan ini
sesuai dengan tujuan pembuat hukum mewajibkan zakat bagi orang-orang kaya.
2.
Menghimpun Hadis-Hadis Yang Setema
Metode kedua ini sering disebut dengan metode maudhu'i
atau tematik. Menurut Yusuf al-Qaradhawi,
untuk menghindari kesalahan dalam memahami kandungan hadis yang sebenarnya,
perlu menghadirkan hadis-hadis yang setema. Prosedurnya adalah menghimpun
hadis-hadis shahih yang setema, kemudian mengembalikan kandungan hadis yang mutasyabih
kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlak ke yang muqayyad,
yang 'aam ditafsirkan dengan yang khash.
Yusuf al-Qaradhawi berpegang
pada prinsip bahwa dalil nash berlaku umum selama tidak ada petunjuk bahwa
dalil itu berlaku khusus. Sebab sebagian besar dalil-dalil agama
berbentuk pernyataan-pernyataan umum, supaya lingkup pengertiannya mencakup
orang-orang atau bagian-bagian yang banyak. Ini merupakan seperangkat rahasia
yang membuat Islam abadi dan shalihun likulli zaman wa makan.
Misalnya: Hukum memakai sarung sampai di bawah mata kaki (isbal). Pada
awalnya Yusuf al-Qaradhawi mengemukakan beberapa hadis tentang
celaan terhadap orang yang mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki,
kemudian menyebutkan hadis-hadis yang berkaitan dengan orang yang mengenakan
sarung sampai di bawah mata kaki tanpa dibarengi kesombongan. Selanjutnya beliau
mengetengahkan hadis-hadis yang menjelaskan tentang celaan terhadap orang yang
menjulurkan sarung atau pakainnya karena kesombongan.
Di samping itu, beliau juga mengemukakan
penjelasan dari berbagai ulama' seperti Ibnu Hajar, al-Nawawi, dan lainnya, dan
pada akhirnya menyimpulkan – membawa hadis-hadis yang dalalahnya muthlaq
kepada yang muqayyad. Oleh karena itu, orang yang menjulurkan sarung
bukan karena kesombongan, tetapi karena adat kebiasaan atau ketergesa-gesaan,
tidak mendapatkan ancaman di atas.
Yusuf al-Qaradhawi juga
mengemukakan tentang etika dan model berpakaian secara umum. Menurutnya, urusan
berpakaian, potongan dan bentuknya, berkaitan dengan kebiasaan, yang sering
kali berlainan sesuai dengan perbedaan iklim, serta berbagai pengaruh dan latar
belakang lainnya. Syari'at hanya memberikan tuntunan bahwa berpakaian itu harus
didasari niat yang baik, serta tidak berlebih-lebihan. Hal ini sesuai dengan
QS. Al-A'raf (7): 32, dan hadis Nabi tentang makan, minum, berpakaian tidak
berlebih-lebihan dan sombong.
Satu hal yang sangat penting dalam hadis tematis
adalah perlunya memperhatikan metode tahlili (analitis), artinya dalam
memahami hadis Nabi dengan mengumpulkan hadis-hadis yang setema baik yang
sejalan maupun yang kontradiktif dengan berbagai analisis dan pendekatan yang
beragam (normatif-empirik, metafisis-ontologis, etis-teologis,
logis-filosfis, dan lain-lain) sebagaimana yang berkembang dalam studi
tafsir al-Qur'an.
3.
Mengkompromikan Hadis-Hadis yang Kontradiktif
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, pada dasarnya nash syari'at tidak mungkin saling bertentangan.
Pertentangan yang (mungkin) terjadi adalah lahiriyahnya, bukan dalam kenyataan
hakiki. Adapun solusi yang ditawarkan oleh Yusuf al- Qarâdhâwi adalah:
a.
Al- jam'u wa al-Taufiq (penggabungan atau
pengkompromian)
Bagi beliau, hadis yang tampak bertentangan dengan
hadis lain dapat dihilangkan pertentangannya dengan cara mengkompromikan
hadis-hadis tersebut.
Contohnya adalah hadis yang berkaitan dengan
ziarah kubur bagi wanita.
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ.
Hadis
ini berkualitas shahih, dan mengandung tentang ketidak sukaan Nabi – yang bisa
diartikan sebagai larangan – kepada perempuan yang terlalu sering berziarah
kubur.
Hadis tersebut sepintas bertentangan dengan hadis yang memperbolehkan
ziarah kubur secara umum, karena hal itu bisa mengingatkan kepada kematian.
Juga adanya hadis lain, riwayat al-Bukhari dan Muslim dalam bab al-jana'iz,
yang berkualitas shahih dan menjelaskan bahwa Nabi tidak senang kepada wanita
yang menangis (meratap) di kuburan atau tidak sabar dalam menerima musibah,
namun tidak ada indikasi beliau melarang.
Jadi, semua hadis – yang melarang maupun yang
memperbolehkan seorang wanita berziarah kubur – berkualitas shahih, dan secara
zhahir saling bertentangan. Namun menurut beliau, bahwa hadis yang melarang di
atas dapat dikompromikan, yakni, hadis yang melarang perempuan berziarah kubur
dikarenakan zawwarat (wanita tersebut terlalu sering ziarah kubur), hal
ini memungkinkan terabaikannya kewajibannya yang lain, yang menyebabkan
dilarang oleh Nabi saw. Atau karena kemungkinan melakukan hal-hal yang
dilarang, seperti menangis dan meratap.
b.
Tarjih dan al-Nasikh wa al-Mansukh
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, apabila dua hadis yang tampak bertentangan tidak dapat dikompromikan,
maka dapat ditempuh dua jalan: al-Tarjih dan al-Nasikh wa al-Mansukh.
Namun demikian, menurut beliau hadis yang mansukh pada dasarnya bukan
dimaksudkan penghapusan dalam arti yang sebenarnya, tetapi sebagai 'azimah,
rukhsash atau karena situasi dan kondisinya yang berbeda.
Dalam konstelasi sejarah perjalanan ilmu mukhtalif
al hadis, metode yang ditawarkan Yusuf al-Qaradhawi ini sebenarnya bukan
hal yang baru. Cara al-jam'u harus didahulukan dari pada al-Tarjih
dan al-nasikh wa al-mansukh jauh sebelumnya telah dipakai oleh Ibnu
Hazm, Ibnu al-Shalah, Ibnu Hajar al-Asqalani dan lainnya.
c. Al-Tawaquf (tidak menerima maupun menolak keduanya)
Ketika berbagai upaya untuk mengkompromikan
pertentangan (al-Ta'arudh) dua dalil yang sama kuatnya dalam satu
persoalan tidak bisa dilakukan, maka cara yang ditempuh adalah dengan cara tawaquf,
yaitu tidak menerima maupun menolak kedua hadis tersebut sampai ditemukannya
dalil lain yang menguatkan salah satunya.
4.
Memahami Hadis Sesuai dengan Latar Belakang,
Situasi dan Kondisi serta Tujuannya
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, untuk memahami hadis
Nabi dapat dilakukan dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang
melatarbelakangi munculnya suatu hadis (asbab al wurud), atau terkait
dengan suatu 'illat tertentu yang dinyatakan dalam hadis tersebut,
ataupun dapat difahami dari kejadian yang menyertainya. Hal demikian mengingat
hadis Nabi menyelesaikan berbagai problem yang bersifat lokal (maudhu'i),
partikular (juz'i) dan temporal (ani).
Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat
melakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan yang umum, yang
sementara dan abadi, serta antara yang partikular dengan yang universal. Semua
itu memiliki hukumnya masing-masing. Dengan demikian menurut beliau, apabila
kondisi telah berubah dan tidak ada lagi 'illat, maka hukum yang
berkenaan dengan suatu nash akan gugur dengan sendirinya. Hal ini sesuai dengan
kaidah yang berbunyi:
اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
Begitu pula terhadap hadis yang berlandaskan
pada kebiasaan temporer yang berlaku pada zaman Nabi dan mengalami perubahan
pada masa kini, maka yang dipegangi adalah maksud yang dikandungnya dan bukan
pengertian harfiahnya.
Contohnya adalah; hadis
tentang larangan wanita bepergian kecuali dengan mahramnya. Alasan dilarangnya
bepergian dalam hadis ini adalah adanya kekhawatiran akan keselamatan apabila
bepergian jauh tanpa disertai seorang suami atau mahramnya. Pada waktu itu
orang mengendarai unta, bighal ataupun keledai dalam perjalanan mereka,
seringkali melintasi padang pasir yang luas atau daerah yang jauh dari hunian
manusia.
Jika kondisi itu telah
berubah seperti di masa sekarang, dengan kendaraan, kereta api, atau pesawat
yang mengangkut ratusan orang atau lebih, tidak ada kekhawatiran keselamatan
wanita yang bepergian sendiri, tidak ada salahnya ditinjau dari syari'at jika
ia melakukannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibnu Hazm, bahwa jika kondisi
keamanan telah terjamin, maka diperbolehkan wanita bepergian tanpa suami atau mahram.
'Aisyah serta istri-istri Nabi pergi melaksanakan ibadah haji di masa
kekhalifahan Umar, tidak seorangpun mahram yang menyertainya. Mereka
pergi bersama Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin 'Auf.
5.
Membedakan Antara Sarana yang Berubah-Ubah dan
Tujuan yang Tetap
Para ulama menegaskan
bahwa hukum-hukum agama diundangkan semata-mata untuk kebutuhan hidup umat
manusia di dunia dan di akhirat, baik yang bersifat primer, skunder maupun
tertier. Alasan itu sebagaimana dikatakan oleh imam Syatibi adalah diperiksanya
syariat pada dalil-dalil global dan sektoralnya. Jadi pengujian itu tidak boleh
terbatas pada satu teks atau kasus tertentu saja, tetapi syariat itu
keseluruhan merupakan lapangan pengujian tersebut.
Karena itu menurut Yusuf
al-Qaradhawi, dalam memahami hadis Nabi harus berpegang dan mementingkan makna
substansial atau tujuan hakiki teks hadis. Sebab, sarana dan prasarana yang
tampak pada lahiriah hadis dapat berubah-ubah dari satu masa ke masa lainnya,
dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya.
Oleh sebab itu, seseorang
tidak boleh mencampur-adukkan antara tujuan (yang hakiki dan abadi) yang hendak
dicapai oleh hadis dengan prasarana temporer atau lokal yang menunjang
pencapaian tujuan. Dengan demikian, bila suatu hadis menyebutkan sarana
tertentu untuk mencapai tujuan, maka sarana tersebut tidak bersifat mengikat,
karena sarana tersebut ada kalanya berubah dengan adanya perubahan lingkungan,
zaman, adat kebiasaan dan lain sebagainya.
Contohnya; hadis
tentang siwak. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, penyebutan siwak dengan kayu arak
oleh Nabi tidaklah mengikat kita agar tidak menggunakan alat-alat lain. Sebab
yang menjadi tujuan dari hadis tersebut adalah terjaganya kebersihan dan
kesehatan gigi dan mulut, sehingga mendapatkan keridaan dari Allah swt. Adapun
tentang alat yang digunakan, hal itu tergantung kondisi suatu tempat tertentu
dan waktu tertentu, misalnya dengan ranting pohon arak, arjun, zaitun, atau sepotong
kain. Di zaman ini, pemakaian sikat dan pasta gigi sama nilainya dengan
pemakaian kayu arak (siwak) di masa Nabi.
6.
Membedakan Antara Ungkapan Haqiqah dan Majaz.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, pemahaman berdasarkan majaz
terkadang merupakan keharusan, karena jika tidak, orang akan tergelincir dalam
kekeliruan. Untuk hadis yang tidak bisa difahami secara tekstual, maka bisa
dilakukan ta'wil. Upaya ta'wil harus didukung oleh suatu alasan
yang kuat, jika tidak maka pena'wilan tersebut harus ditolak, begitu pula
pena'wilan yang dipaksakan. Sedangkan pemahamn hadis yang hanya sesuai dengan
susunan lahiriyahnya atau tekstualnya saja pun harus ditolak, jika bertentangan
dengan konkulusi akal sehat, atau hukum syari'ah yang benar, atau pengetahuan
yang pasti, atau kenyataan yang meyakinkan.
Contohnya; hadis tentang sifat Allah
sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat imam al-Bukhari berikut ini:
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ
حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي
وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي
نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ
وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ
تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي
أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً (رواه
البخاري)
Merurut Yusuf al-Qaradhawi, kaum Mu'tazilah
mengecam para ahli hadis yang telah meriwayatkan hadis tersebut dan
menisbahkannya kepada Allah swt yang artinya menyerupakan Allah dengan
makhluknya. Padahal sesuai pendapat Ibn Qutaibah (w. 276 H) dalam ta'wil
mukhtalaf al hadits – ungkapan hadis tersebut hanya tamsilan atau kiasan
belaka. Adapun yang dimaksud adalah barangsiapa bergegas datang kepada-Ku
dengan amal ketaatan, maka Allah akan bergegas pula dalam memberinya pahala,
lebih cepat dari kedatangannya. Hal ini analog dengan QS. Al-Hajj (22): 51,
yang dimaksud "cepat-cepat berjalan", bukanlah mereka benar-benar
berjalan terus-menerus, tetapi "bercepat-cepat dengan niat dan amalan
mereka".
Contoh lain yang dikemukakan oleh beliau adalah
hadis yang berbunyi:
إِنَّ الْمَيِّتَ
لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ (رواه البخاري
ومسلم)
Menurut
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari: Azab di sini secara lughawi berarti sakit, bukan
azab akhirat. Si mayyit merasa sakit melihat kesedihan keluarganya dan
mendengar tangis mereka atas dirinya. Karena mayyit di dalam kuburnya tidak
lepas hubungannya dengan keluarga dan kerabat dengan segala kondisinya. Azab di
sini juga bisa berarti celaan Malaikat terhadap mayyit yang ditangisi oleh
keluargnya.
7.
Membedakan Antara yang Ghaib dan yang Nyata
Di antara kandungan hadis ada hal-hal yang
berkaitan dengan alam ghaib, yang sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk yang
tidak dapat dilihat dengan panca indera, misalnya Malaikat dan tugasnya; jin
yang dapat melihat manusia dan manusia tidak dapat melihatnya; setan-setan atau
iblis yang bersumpah ingin menyesatkan manusia; juga 'arsy, kursi,
lauh dan qalam.
Hadis-hadis tentang alam ghaib tersebut,
sebagiannya diungkapkan dalam al-Qur'an dan sebagiannya dijelaskan dalam hadis
Nabi. Di dalam al-Qur'an kebanyakan bersifat umum, sementara dalam hadis Nabi
diuraikan secara panjang lebar dan terinci. Tidak semua hadis yang terkait
dengan alam ghaib mempunyai kualitas shahih, namun sebagiannya juga ada yang
hasan dan dha'if.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, hadis shaih tentang
alam ghaib, seorang muslim wajib menerimanya, dan tidak dibenarkan menolaknya
semata-mata karena menyimpang dari apa yang biasa dialami, atau tidak sejalan
dengan ilmu pengetahuan. Selama hal itu dalam batas kemungkinanan menurut akal,
walaupun dianggap mustahil menurut kebiasaan.
Terhadap hadis-hadis tentang alam ghaib, begitu
pula tentang sifat-sifat Allah, Yusuf al-Qarhadawi sepakat dengan Ibnu
Taimiyah, yaitu menghindari ta'wil serta mengembalikan hal itu kepada
Allah tanpa memaksakan diri untuk mengetahuinya. Sikap yang benar yang diharuskan
oleh logika keimanan dan tidak ditolak oleh logika akal, adalah mengatakan;
"kami beriman dan percaya", setiap kali dihadapkan hal-hal ghaib yang
telah ditetapkan dalam agama.
Berpegang pada prinsif di atas, Yusuf al-Qaradhawi
melihat bahwa kesalahan mendasar yang telah menjerumuskan Mu'tazilah adalah
mereka menganalogikan antara sesuatu yang ghaib dan yang nyata, atau antara
fenomena akhirat dengan fenomena dunia. Hal demikian jelas tidak tepat,
mengingat kedua alam ini memiliki hukumnya sendiri-sendiri yang masing-masing
berbeda.
8.
Memastikan Makna Kata-Kata dalam Hadis.
Untuk dapat memahami hadis dengan sebaik-baiknya
menurut Yusuf al-Qaradhawi, penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi
kata-kata yang digunakan dalam susunan kalimat hadis. Sebab, konotasi kata-kata
tertentu adakalanya berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dan dari satu
lingkungan ke lingkungan lainnya.
Contohnya adalah; Satu kata dalam hadis yang telah berubah
konotasinya, yaitu kata tashwir (pembentukan gambar atau pembentukan
rupa) yang disebutkan dalam beberapa hadis shahih yang disepakati. Juga
hadis-hadis yang mengancam para mushawwir (pembuat gambar) dengan siksa
yang amat pedih, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari. Pada saat ini kata tashwir
digunakan untuk mengatakan sesuatu kegiatan pengambilan gambar dengan kamera.
Tekhnologi fotografi ini belum ada dan tidak dikenal pada masa Nabi, maka tidak
mungkin ditujukan kepada ahli foto. Tidaklah tepat memasukkan ancaman kepada
para ahli foto dalam bahasa Arab disebut mushawwir yang menggunakan
kamera mereka untuk mengambil gambar-gambar tertentu. Inilah yang menjadi
alasan Yusuf al-Qaradhawi untuk berhati-hati dalam memastikan makna suatu kata
tertentu di dalam hadis.
9. Menghormati Konsensus Ulama (Ijma')
yang pasti kebenarannya
Consensus para
ulama tentang suatu hukum agama, terutama pada abad-abad pertama dulu
membuktikan dengan jelas bahwa mereka sudah mendasari consensus mereka
itu pada pertimbangan keagamaan yang benar yaitu ayat dan hadis, kemanfaatan,
atau keperluan yang sangat mendesak. Misalnya; besar zakat emas sama dengan
besar zakat perak yaitu 4/10 dan lainnya.
10. Menjadikan Shahih Bukhari dan Muslim
Sebagai Pijakan utama
Salah satu metode
pemahaman hadis yang ditempuh oleh Yusuf al-Qaradhawi adalah, dengan
mengkomfirmasikan hadis-hadis yang ada kepada shahih al-Bukhari dan Muslim.
Jika suatu hadis berbicara tentang persoalan yang sangat penting dalam persoalan
agama namun tidak dijumpai dalam al-Shahihain, maka hadis-hadis tersebut
diragukan tingkat validitasnya. Sekalipun pada kenyataannya hadis-hadis
tersebut diriwayatkan dari beberapa jalur periwayatan, dan salah satu sumber
periwayatan lebih kuat dari yang lainnya.
Hal tersebut dapat dilihat
ketika beliau memahami hadis tentang perpecahan umat menjadi 73 golongan.
Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Hadis ini masih dipertanyakan
keabsahan riwayatnya; pertama: harus diketahui bahwa hadis ini
tidak terdapat sama sekali di dalam kitab ash-Shahihain, padahal
masalahnya sangat penting. Ini berarti hadis tersebut tidak shahih menurut
salah satu syarat dari keduanya (Bukhari dan Muslim). Kedua:
Sebagian riwayat hadis tersebut tidak menyebutkan semua golongan akan masuk
neraka kecuali satu golongan, tetapi hanya menyebutkan perpecahan dan jumlah
golongan yang muncul. Di antaranya riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu
Hibban dan al-Hakim.
حَدَّثَنَا
وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ
وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ
وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً.
(رواه لأبو داود)
حَدَّثَنَا
الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ أَبُو عَمَّارٍ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَفَرَّقَتْ الْيَهُودُ عَلَى
إِحْدَى وَسَبْعِينَ أَوْ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَالنَّصَارَى مِثْلَ
ذَلِكَ وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً. (رواه الترمذي)
Hadis ini dinyatakan hasan shahih oleh imam
al-Tirmidzi namun dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Hadis ini
diriwayatkan dari jalur Muhammad bin Amr bin Alqamah bin Waqqash al-Laitsi yang
dijelaskan dalam Tahzibut Tahzib sebagai perawi yang dipermasalahkan segi
hafalannya, bahkan tidak ada yang menilainya sebagai orang yang tsiqah. Di sisi
lain perlu diketahui bahwa al-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Hakim adalah
termasuk para perawi yang sangat gampang menshahihkan suatu hadis. Khususunya
al-Hakim, ia sangat longgar dalam mensyaratkan keshahihan sebuah hadis.
Sedangkan hadis dengan tambahan "semuanya masuk
neraka kecuali satu golongan" diriwayatkan dari sejumlah sahabat: Abdullah
bin Amr, Mu'awiyah, Auf bin Malik, dan Anas r.a., tetapi semuanya bersanad
lemah. Para perawi hadis menguatkannya hanya dengan jalan menghubungkan yang
satu dengan yang lainnya.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, menguatkan suatu hadis (lemah)
hanya karena banyak riwayat tidak mutlak bisa diterima. Berapa banyak suatu
hadis yang diriwayatkan dari beberapa jalan, tetapi tetap dilemahkan oleh para
ahli hadis. Hal ini dapat dibaca dalam kitab-kitab takhrij dan lainnya.
Hal tersebut dapat diterima, manakala tidak ada hadis lain yang menentangnya
dan maknanya tidak menimbulkan kemusykilan.
Adapun hadis tersebut cukup menimbulkan kemusykilan. Di
satu segi menyatakan perpecahan Yahudi dan Nashrani, dan lain segi menyatakan
bahwa semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan. Pernyataan yang kedua
ini akan membuka peluang bagi masing-masing golongan untuk mengklaim bahwa
dirinya adalah golongan yang selamat, sedangkan golongan lainnya m asuk neraka.
Ini jelas akan menimbulkan perpecahan umat dan permusuhan antar sesamanya.
Karena itu, al-Allamah Ibnu Wazir melemahkan hadis
ini secara keseluruhan (bahkan Ibn Hazm menganggapnya palsu) karena hadis
tersebut akan mengakibatkan saling menyesatkan dan saling mengafirkan di
kalangan umat Islam.
Namun yang menarik, sekalipun menganggapnya lemah,
al-Qaradhawi berusaha untuk memahami hadis tersebut. Menurutnya, bisa jadi
sebagian dari golongan-golongan tersebut telah muncul kemudian berhasil
ditumbangkan oleh kebenaran sehingga lenyap untuk selama-lamanya. Inilah yang
secara riil terjadi pada golongan-golongan yang menyimpang (al-Firaqul
Munharifah). Sebagian darinya telah lenyap dan tidak punya eksistensi lagi.
Selain itu, hadis tersebut menunjukkan bahwa semua
golongan itu adalah bagian dari umat Nabi Muhammad saw, yakni Ummatul Ijabah.
Ini berarti golongan-golongan itu – kendatipun banyak melakukan bid'ah – tidak
keluar dari millah (agama) dan tidak pula terlepas dari tubuh umat
Islam.
Adapun keberadaan nanti di neraka, tidak berarti akan
tinggal di dalamnya untuk selama-lamanya sebagaimana orang-orang kafir, tetapi
mereka akan masuk ke dalam neraka sebagaimana orang-orang mukmin yang melakukan
maksiat.
Penutup
Sebagai salah seorang ulama' kontemporer yang memiliki
pemahaman agama yang sangat luas, dan salah seorang tokoh sentral yang dimiliki
oleh dunia Islam saat ini, maka wajarlah jika Syekh Yusuf al-Qaradhawi banyak
melakukan ijtihad dan terobosan-terobosan dalam menggali dan memahami berbagai
persoalan agama yang dibutuhkan oleh umat Islam dewasa ini. Sepuluh metode
pemahaman hadis Yusuf al-Qaradhawi ini merupakan bagian dari upayanya untuk
memahami ajaran agama secara mendalam dan maksimal serta menghindari kesalahan
dan pemahaman yang bersifat parsial.
Sebagai salah seorang tokoh dan ilmuan Muslim dunia yang
sangat produktif dalam melahirkan karya-karya intlektual, Yusuf al-Qaradhawi
mengaplikasikan kesepuluh metode ini dalam berbagai karya dan persoalan yang
dikaji. Hal tersebut dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti; Fiqh
al-Zakah, al ijtihada al-Mu'ashir baina al-Inzhibaath wa al-Infirath, fiqh
al-Ikhtilaf, fiqh al-Aulawiyaat, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Hady
al-Islam, Fatawa al Mu'ashirah, Kaifa Nata'amal ma'a al-Sunnah al-Nabawiyah,
dan lain sebagainya. Wallahu A'lam bi al-Shawab.
*) Anggota MTT
PP Muhammadiyah
Makalah ini
disampaikan pada acara Pelatihan Kader Ulama Tarjih di Banten, tanggal 11-13
Mei 2012
DAFTAR PUSTAKA
Abbas,
Hasjim, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha', cetakan
pertama, Yogyakarta:
Teras, Mei, 2004
A. Salam, Bustamin M. Isa H., Metodologi Kritik Hadis, cetakan
pertama, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, Maret, 2004
CD-Rom Mausu'ah al
Hadits al Syarif.
CD-Rom Al Maktabah al
Syamilah.
al-Qaradhawi,Yusuf, Ijtihad
Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, (Penerjemah: Abu Barzani),
cetakan kedua, Surabaya: Risalah Gusti, 2002
--------------------,
Hukum Zakat: Sutudi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat
Berdasarkan Qur'an dan Hadis, (Penerjemah: Salman Harun dkk), cetakan
keenam, Jakarta: Litera Antar Nusa, 2002
--------------------,
Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah,
(Penerjemah: Bahruddin F), cetakan Keenam, Jakarta: Rabbani Press, Juli, 2008
--------------------,Fiqh
Perbedaan Pendapat Antar Sesama Muslim, (Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh
Tamhid), cetakan kelima belas, Jakarta: Rabbani Press, Oktober, 2007
---------------------, Norma dan Etika Ekonomi
Islam, Jakarta: Gema Insani Press, Juni 1997.
--------------------, Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid 1,
cetakan ketujuh (Jakarta: Gema Insani Press, September, 2001
al-Qushaimy, Abdullah
bin Ali al-Najdi, Musykilat al-Ahadits al-Nabawiyah, (Terj. Kathur
Suhardi: Memahami Hadits Musykil), cetakan kedua, Solo: Pustaka Mantiqm juli,
1994
Rudliyana, Muhamad Dede, Perkembangan Pemikiran
Ulum al-Hadis Dari Klasik Sampai Moderen, cetakan pertama, Bandung: CV.
Pustaka Setia, Maret, 2004
Salim, Muhammad Adnan
dan Muhammad Wahbi Sulaiman, A Dictionary Of The Words Of The Great Qur'an
Mu'jam Kalimat Al-Qur'an Al 'Azhim, Cetakan pertama, Beirut-Libanon, Daar
el Fikr, 1998
al-Sibâ'i, Musthafa, al-Sunnah wa Makânatuha fi al-Tasyrî' al-Islami, cetakan keempat, Beirut: al-Maktabah al-Islâmi, 1985
Suryadi, Metode
Kontemporer Pemahaman Hadis Nabi Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf
al-Qaradhawi, cetakan pertama,
Yogyakarta, Teras, Mei, 2008
Ya'qub, Ali Mustafa, Kata Pengantar buku Kritik Matan Hadis Versi
Muhaddisin dan Fuqaha', cetakan pertama, Yogyakarta: Teras, Mei, 2004
[1] Ada beberapa pendapat tentang pengertian syaz
yaitu: (1) Muhammad Idris al-Syafi'i (w. 204 H/820 M), hadis syaz adalah
hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah, tetapi riwayatnya
bertentangan dengan riwayat lain yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah
pula; (2) Menurut imam al-Hakim al-Naysaburi (w. 405 H/ 1014 M), hadis syaz
adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah secara mandiri, tidak
ada periwayat tsiqah lainnya yang meriwayatkan hadis tersebut; (3)
Menurut Abu Ya'la al-Khalîli (w. 405 H /1014 M), hadis syâzd adalah
hadis yang sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatnya bersifat tsiqah
maupun tidak tsiqah. Dari tiga pendapat ini, pendapat imam al-Syafi'i-lah yang
banyak dianut oleh para muhadditsîn. (4) Menurut Nuruddin 'Itr, hadis syâdz
adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang maqbûl yang menyalahi
riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak
ataupun lebih tinggi daya hafalnya. (5) sedangkan menurut Ibnu Hazm
(384-456 H), istilah syudzûz didasarkan pada pengertian "yang
menyalahi kebenaran" (mukhâlafat al-haq/ al-Tsiqah). Kebenaran di
sini adalah pendapat yang disepakati oleh mayoritas atau sekelompok orang yang
tergabung dalam proses ijma'. Dari kelima pendapat tersebut, pendapat
imam al-Syafi'i dan Nuruddin 'Itr-lah yang paling banyak dipakai dalam khazanan
ilmu hadis.
[2]Dalam istilah Muhadditsûn, 'illah adalah
sebab tersembunyi yang masuk ke dalam hadis sehingga merusak keshahihannya (Sabab
al ghâmid al khafy yuqdahu fi al sihhah al-Hadîts).
Leave a Comment