METODE KONTEMPORER PEMAHAMAN HADITS PERSPEKTIF YUSUF AL-QARADHAWI


METODE KONTEMPORER 
PEMAHAMAN MATAN HADIS 
PERSPEKTIF YUSUF AL-QARADHAWI
Oleh: Ruslan Fariadi, S.Ag., M..S.I.*)
Pendahuluan
Meyakini dan memposisikan hadis Nabi secara struktural sebagai sumber syari'at Islam kedua, berarti juga meyakininya sebagai sumber berbagai aspek kehidupan dan keagamaan, mulai dari persoalan ibadah, mu'amalah, jinayat, pendidikan, hingga persoalan-persoalan lainnya. Sebab diyakini bahwa hadis disamping memiliki fungsi sebagai the first interpreter (al-mubayyin wa al-mufassir al-awwal), juga memiliki kewenangan menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur'an.
Hadis merupakan sebuah narasi, biasanya sangat singkat, dan bertujuan memberikan informasi tentang apa yang dikatakan, dilakukan, disetujui dan tidak disetujui oleh Nabi, yang terkodifikasi jauh setelah beliau wafat. Berbeda dengan al-Qur'an yang diyakini tanpa kecuali sebagai wahyu Allah, yang telah tertulis sejak Rasulullah saw masih hidup dan diriwayatkan secara mutawatir. Adapun hadis lebih banyak diriwayatkan secara ahad dan sedikit sekali yang diriwayatkan secara mutawatir. Sehingga betapapun shahihnya suatu hadis hanya sampai pada tingkatan "diduga kuat". Semua itu menjadi alasan mengapa hadis menjadi sesuatu yang dipelajari dengan epistemologi tersendiri.
Epistemologi mempelajari hadis dalam rangka menerima atau menolaknya sebagai argumentasi hukum, lebih dikenal dengan kritik hadis. Penelitian atau kritik hadis mencakup dua aspek, yaitu matan dan sanad hadis. Atau dalam ungkapan lain, bahwa wilayah objek material kritik hadis sebagaimana dikemukakan oleh kalangan muhadditsîn adalah: (a) Naqd zhahirî atau Naqd kharijî (kritik eksternal) yang menganalisis dengan kritis sanad hadis; (b) Naqd bathinî atau Naqd dakhilî (kritik internal) dengan objek material matan hadis.
Untuk melakukan penelitian eksternal, para pengkaji ilmu hadis berusaha merumuskan sejumlah disiplin ilmu yang berkompenten menilai hadis dari sisi sanad-nya. Dari sini pula kemudian muncul beragam ilmu yang meneliti secara khusus jalur transmisi periwayatan, misalnya; ilmu rijâl al-hadîts, thabaqât al-ruwât, târîkh rijâl al-hadîts, jarh wa al-ta'dîl, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, langkah metodologis kritik sanad menempuh beberapa tahapan, yaitu: (1) uji ketersambungan proses periwayatan hadis dengan mencermati silsislah keguruan hadis dan proses belajar mengajar hadis (tahammul wa al-Adâ') yang ditandai dengan ungkapan periwayatan (shighat al-tahdîts / shigah al Adâ'); (2) mencari bukti integritas keagamaan perawi (al-'Adâlah) yang menjangkau faham akidah dan sikap politik perawi; (3) menguji kadar ketahanan intelegensia perawi, data gangguan ingatan saat memasuki usia tua, bukti kepemilikan naskah dokumentasi hadis (dhâbith); (4) ada tidaknya jaminan "keamanan" dari gejala syâdz[1] atau dugaan keberadaan 'illat[2] dalam sanad hadis.
Hakikat kritik hadis, sebagaimana dikemukakan di atas, bukan untuk menilai salah atau ketidakbenaran sabda Rasulullah saw., karena otoritas nubûwwah dan penerima mandat risalah terjamin terhindar dari salah ucap atau melanggar norma (ma'shûm), tetapi sekedar uji perangkat yang memuat informasi tentang beliau, termasuk uji kejujuran informatornya.
Kritik hadis pada dasarnya bertujuan untuk menguji dan menganalisis secara kritis apakah fakta sejarah kehadisan itu dapat dibuktikan, termasuk komposisi kalimat yang terekspos dalam ungkapan matan. Lebih jauh lagi, kritik hadis bergerak pada level menguji apakah kandungan ungkapan matan itu dapat diterima sebagai sesuatu yang secara historis benar. Pengujian terhadap teks dan komposisi ungkapan matan amat berhubungan dengan taraf intelektualitas perawi hadis dan bayang-bayang bias informasi sebagai implikasi daya kreasi berfikir saat mengamati dan melaporkan kesaksian itu kepada orang lain.
Berbeda halnya dengan semangat penelitian hadis di kalangan orientalis. Ignaz Goldziher (1850-1921 M) seorang Yahudi Hongaria dalam karyanya yang berjudul Muhammedanische Studies (1890), telah menerapkan kaidah kritik matan hadis dengan pendekatan politik, sains, sosio-kultural, dan lain-lain. Kemudian Yosef Schacht (1902-1969 M) melaui The Origins of Muhammadan Jurisprudensce (1950) memunculkan teori projecting back. Kedua orientalis tersebut cenderung menilai maudlu' (palsu) terhadap hadis-hadis yang mereka teliti. Hal tersebut disebabkan karena sikap apologi dan bias dalam menyikapi ajaran agama yang bukan anutannya.
Namun demikian, yang patut menjadi catatan adalah bahwa; tidak ada jaminan bahwa jika sanad suatu hadis shahih, maka demikian juga dengan matan-nya. Banyak hal yang harus dikaji lebih mendalam terkait dengan redaksi matan hadis. Di antaranya adalah dengan cara menghadapkan (muqâbalah) matan hadis pada konsep dalil-dalil syara' yang lain, dan juga dengan cara konfirmasi (mu'âradhah) pada fakta kehadisan.
Metodologi Kritik Matan Hadis
Tolok ukur kritik matan hadis yang ditradisikan oleh kalangan muhadditsîn - terkait upaya merumuskan konsep ajaran Islam versi hadis, yaitu: (a) tidak menyalahi petunjuk eksplisit al-Qur'an; (b) tidak menyalahi hadis yang telah diakui keberadaannya dan tidak menyalahi pandangan akal sehat, data empirik dan fakta sejarah, dan (d) berkelayakan sebagai ungkapan pemegang otoritas nubûwwah.
Untuk merealisasikannya, maka langkah metodologis yang ditempuh oleh muhadditsûn dalam mengungkap validitas matan hadis adalah; (a) melakukan takhrîj (penelusuran keberadaan hadis) guna mengetahui seluruh jalur sanad-nya; (b) melakukan I'tibâr guna mengkategorikan muttaba' tâm/qâshir dan menghimpun matan hadis yang setema sekalipun dari sumber sahabat yang berbeda (syâhid); (c) mencermati data dan mengukur segi-segi perpadanan atau kedekatan pada: nisbah ungkapan kepada nara sumber, pengantar riwayat, shigat tahdîts, dan susunan kalimat matan-nya, sereta menentukan sejauh mana unsur perbedaannya.
Hal lain yang harus dikaji lebih mendalam terkait dengan matan hadis adalah aplikasi dan kontekstualisasi muatan hadis pada era kekinian. Tanpa kontekstualisasi ini, hadis hanya akan menjadi doktrin kering yang tidak familier dengan problem masyarakat kontemporer. Atau lebih ekstrim lagi, hadis malah menjadi beban sosial-keagamaan pada suatu masyarakat, dan bukan solusi (petunjuk) yang menjanjikan.
Untuk itu dibutuhkan perangkat metodologi yang berkompeten mengkaji hadis, misalnya ditinjau dari sisi linguistik, asbâb al-wurûdnya, dan disiplin lain yang mengkaji seputar matan hadis. Sebab, sebagaimana al-Qur'an, hadis tidak diturunkan dalam kondisi vacuum budaya. Hadis terlahir dengan berpijak pada kerangka budaya dan problem masyarakat Arab. Dengan demikian, hadis merupakan manifest dialog antara idealitas pewahyuan dengan realitas objektif pada masa itu.
Hal tersebut sekaligus menjadi salah satu alasan terjadinya perbedaan sikap di antara ulama dalam merespon suatu hadis. Sebagian di antara mereka menganggap suatu hadis itu shahih, namun di pihak lain menilainya dha'if. Sehingga terjadi pro dan kontra dalam menerima suatu hadis, baik karena dianggap dha'if, maupun karena adanya hadis lain yang lebih shahih, sementara dari segi matan diasumsikan terjadi ta'arudh (pertentangan) sehinggga salah satunya tidak bisa diamalkan (ghair al ma'mul).
Kriteria keshahihan matan hadis menurut kalangan muhadditsîn cukup beragam. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian, persoalan serta masyarakat yang dihadapinya. Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H/1072 M) misalnya, menurutnya; suatu matan hadis dapat dikatakan shahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: (a) Tidak bertentangan dengan akal sehat, (b) Tidak bertentangan dengan al-Qur'an, (c) Tidak bertentangan dengan hadis mutawâtir, (d) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan para ulama terdahulu (ijma'), (e) Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti, (f) Tidak bertentangan dengan hadis ahâd yang kualitas keshahihannya lebih kuat.
Ibnu al-Jauzy (w. 697 H/1210 M), memberikan tolok ukur keshahihan matan secara singkat, yaitu setiap hadis yang tidak bertentangan dengan akal sehat maupun dengan ketentuan pokok agama. Sedangkan Musthafa al-Siba'i,  mengemukakan sepuluh kreteria keshahihan matan hadis, yaitu: (1) Redaksinya tidak rancu, (2) tidak bertentangan dengan akal sehat, (3) tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah umum baik tentang hukum maupun akhlak, (4) Tidak bertentangan dengan realitas, (5) tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran (kebaikan) dan kebijakan (hikmah), (6) tidak mengajak kepada sesuatu yang hina menurut pandangan syari'at, (7) tidak bertentangan dengan dasar-dasar aqidah, (8) tidak bertentangan dengan sunnatullah, (9) tidak mengandung kelemahan-kelemahan yang sangat dihindari oleh orang yang berakal sehat, (10) tidak bertentangan dengan al-Qur'an, sunnah yang muhkam, ijmâ', dan segala sesuatu yang dapat difahami dengan jelas (bukan sesuatu yang mengandung unsur ta'wil) dalam masalah agama.
Sementara Salah al-Din al-Adabi, mengambil jalan tengah dari dua pendapat di atas, menurut beliau; kreteria keshahihan matan hadis ada empat, yaitu: (1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur'an, (2) Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat, (3) tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah, (4) Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Namun para ulama' tidak hanya menggunakan cara ini sebagai solusi dalam mengkompromikan dan menjadikan suatu hadis sebagai hujjah. Mereka juga  menempuh cara-cara atau metode lain untuk memahaminya. Sehingga hadis tidak cukup diterima atau ditolak hanya berdasarkan asumsi-asumsi semata.

Metode Pemahaman Matan Hadis
Meminjam pendapat John L. Esposito, ada dua kecenderungan pemahaman terhadap kandungan hadis di kalangan para ulama, yaitu retriction of traditionalist (tekstual) dan modernist scripturalism (kontekstual). Pemahaman kelompok pertama hanya membatasi diri pada tradisi yang diperolehnya dari ulama klasik tanpa mempertimbangkan realitas sosial. Sedangkan pemahaman kelompok kedua tidak membatasi diri pada tradisi tersebut, tetapi mempertimbangkan konteks dan realitas sosial yang berada di luar teks.
Teori yang digunakan oleh kelompok tekstualis adalah teori tekstual-legalistik-normatif. Teori ini menekankan pada aspek gramatika bahasa. Argumen yang dijadikan dasar adalah meskipun hadis diyakini sebagai sabda Nabi, namun karena tertuang dalam bahasa Arab, maka cara yang paling tepat untuk memahami hadis adalah dengan merujuk kepada struktur kebahasaan (logika bahasa dan grammar).
Sedangkan teori pemahaman hadis yang direpresentasikan oleh kelompok modernist scripturalism adalah histories-kontekstual. Teori ini mencoba memahami hadis dengan bergerak dari wilayah gramatika-tekstual ke wilayah kontekstual. Penguasaan gramatika dan gaya bahasa Arab sangat diperlukan. Tanpa keduanya, pemahaman akan kehilangan peta dan arah. Namun, meskipun hadis yang datang dari Nabi berbahasa Arab, sampai tingkat tertentu dapat dimasukkan ke dalam kategori budaya yang di dalamnya terkandung sifat relatif, dan juga mengandung sistem tanda bahasa yang bersifat arbitrer (kesepakatan sosial). Konsekuensinya, makna yang dikandung hadis tidak semuanya terungkap dan tidak bisa dipahami secara tuntas oleh pembacanya, meskipun pembacanya ahli di dalam ilmu bahasa.
Pendekatan histories-kontekstual, yakni untuk memahami ucapan Nabi, misalnya, hendaknya juga dipahami gaya bahasa yang digunakan, konteks sosial dan psikologis ketika Nabi bersabda serta kepada siapa ucapan itu dialamatkan. Seorang yang tidak mengetahui latar belakang sosial-budaya (asbab al-wurud al-hadits) dari mana dan dalam situasi apa sebuah hadis disabdakan, maka pesan dari sebuah hadis sulit ditangkap. Ketika hadis diterjemahkan secara literal dan dilepaskan dari konteksnya, sangat mungkin pemahaman yang muncul jauh dari yang dikehendaki oleh pembicaranya. Pemahaman kontekstual ini lebih diperlukan lagi ketika seseorang akan menentukan sebuah formula hukum.

Metode Pemahaman Hadis Perspektif Yusuf al-Qaradhawi
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, sunnah Nabi memiliki tiga karakteristik, yaitu: Pertama: Komprehensif (manhaj syumuly); mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan dapat diterapkan di semua tempat dan zaman (Shalihun likulli zaman wa makan). Kedua: Seimbang (manhaj mutawazin); mempertimbangkan keseimbangan antara tubuh dan jiwa, akal dan qalbu, dunia dan akhirat, idealitas dan realitas, teori dan praktek dan seterusnya. Ketiga: Memudahkan (manhaj muyassar); tidak memberikan beban yang tidak semestinya. Ketiga karakteristik tersebut mendukung pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.
Atas dasar itulah, maka ada tiga hal yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu; penyimpangan (tahrif), manipulasi (intihal), dan penafsiran orang-orang bodoh (ta'wil al-jahilin). Di antara bentuk-bentuk penyimpangan dan kesalahan dalam memahami nash adalah; pemahaman yang dikuasai oleh hawa nafsu, karena fanatisme golongan, pemahaman secara parsial, dan tergesa-gesa dalam memahami nash sebelum diadakan kajian, perenungan dan studi komparatif yang memadai dengan cara mencurahkan segala kemampuan.
Kejahilan merupakan bencana dan akan menjadi bencana paling besar jika ia bercampur dengan hawa nafsu.  Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasthiyah). Untuk merealisasikan metode tengah (wasthiyah) terhadap sunnah, Yusuf al-Qaradhawi mengemukakan tiga prinsif dasar yang harus ditempuh ketika berinteraksi dengan sunnah, yaitu: Pertama: Meneliti keshahihan hadis sesuai acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh ulama' hadis baik sanad maupun matan-nya. Kedua: Memahami sunnah sesuai dengan pengertian bahasa, konteks dan asbabul wurud teks hadis untuk menemukan makna suatu hadis yang sesungguhnya. Ketiga: Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash lain yang lebih kuat.
Untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar di atas, maka Yusuf al-Qaradhawi mengemukakan beberapa kreteria dalam memahami hadis:

1.      Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Qur'an
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, untuk memahami hadis dengan benar, harus sesuai dengan petunjuk al-Qur'an. Sebab hubungan antara keduanya sangat signifikan, sehingga mustahil suatu hadis shahih bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur'an yang muhkamat. Jika ternyata pertentangan itu terjadi, maka kemungkinan hadis tersebut tidak shahih, atau pemahamannya yang tidak tepat, atau yang diperkirakan sebagai pertentangan tersebut bersifat semu dan bukan hakiki. Dengan demikian, menjadi kewajiban seorang muslim untuk mengkompromikan (tariqatul jam'i), baik dengan melakukan al-jam'u wa al-taufiq (mengkompromikan kedua makna hadis), al-tarjih (menguatkan salah satu hadis dengan jalur hadis yang lain), al-nasikh wa al-mansukh (menghapus pemberlakuan suatu hadis dengan hadis lain yang datang belakangan), atau men-tawaquf-kan hadis yang terlihat bertentangan dengan ayat al-Qur'an yang muhkam, selama tidak ada penafsiran (ta'wil) yang dapat diterima.
Contohnya adalah hadis tentang penguburan bayi hidup-hidup:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ عَامِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَائِدَةُ وَالْمَوْءُودَةُ فِي النَّارِ قَالَ يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا قَالَ أَبِي فَحَدَّثَنِي أَبُو إِسْحَقَ أَنَّ عَامِرًا حَدَّثَهُ بِذَلِكَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه أبو داود و أحمد).

Hadis ini menjelaskan tentang hukuman neraka bagi perempuan yang mengubur (bayinya) dan (bayi) yang dikubur. Hal ini menurutnya bertentangan dengan (QS. Al-An'am: 164)
Bagi beliau, hadis shahih yang maknanya masih diragukan, hendaknya tidak cepat-cepat diambil keputusan untuk menerima atau menolaknya secara mutlak. Sebab, ia khawatir jangan-jangan hadis tersebut mengandung makna yang masih belum tersingkap bagi dirinya. Sebab diakui bahwa salah satu problem pemahaman hadis yang samar-samar (seperti di atas) termasuk masalah penting yang pemecahannya selalu dilakukan para ulama baik salaf maupun khalaf secara hati-hati dan dari berbagai aspek dan titik tolak.
Patut untuk diperhatikan, bahwa ketika menkonfirmasikan antara hadis dengan al-Qur'an membutuhkan kehati-hatian dan kecermatan. Sikap ini juga ditunjukkan ketika beliau menjelaskan tentang prinsip-prinsip pokok dalam melakukan istimbath hukum. Beliau tidak sependapat dengan Imam Abu Hanifah yang menolak hadis:
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ مِنْ التَّمْرِ صَدَقَةٌ (رواه البخاري).
Kurma yang kurang dari lima wasaq (satu wasaq = 60 liter) tidak wajib zakat
Penolakan tersebut berdasarkan pada keumuman ayat; "Hasil tanaman yang Kami keluarkan dari dalam tanah." (QS. 2:262). Dan keumuman hadis; "Sawah yang diairi dengan air hujan, zakatnya sepersepuluh." Karena hadis tersebut adalah hadis shahih. Dengan demikian menafsirkan hadis itu hanya berlaku pada lima wasaq kurma untuk diperdagangkan, adalah tafsiran yang lemah dan mengacaukan. Yusuf al-Qaradhawi menganggap lebih kuat pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa nisab semua yang diperoleh dari tanaman sama dengan nisab harta kekayaan lain, dan ini sesuai dengan tujuan pembuat hukum mewajibkan zakat bagi orang-orang kaya.

2.      Menghimpun Hadis-Hadis Yang Setema
Metode kedua ini sering disebut dengan metode maudhu'i atau tematik. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, untuk menghindari kesalahan dalam memahami kandungan hadis yang sebenarnya, perlu menghadirkan hadis-hadis yang setema. Prosedurnya adalah menghimpun hadis-hadis shahih yang setema, kemudian mengembalikan kandungan hadis yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlak ke yang muqayyad, yang 'aam ditafsirkan dengan yang khash.

Yusuf al-Qaradhawi berpegang pada prinsip bahwa dalil nash berlaku umum selama tidak ada petunjuk bahwa dalil itu berlaku khusus. Sebab sebagian besar dalil-dalil agama berbentuk pernyataan-pernyataan umum, supaya lingkup pengertiannya mencakup orang-orang atau bagian-bagian yang banyak. Ini merupakan seperangkat rahasia yang membuat Islam abadi dan shalihun likulli zaman wa makan.

Misalnya: Hukum memakai sarung sampai di bawah mata kaki (isbal). Pada awalnya Yusuf al-Qaradhawi mengemukakan beberapa hadis tentang celaan terhadap orang yang mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki, kemudian menyebutkan hadis-hadis yang berkaitan dengan orang yang mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki tanpa dibarengi kesombongan. Selanjutnya beliau mengetengahkan hadis-hadis yang menjelaskan tentang celaan terhadap orang yang menjulurkan sarung atau pakainnya karena kesombongan.
Di samping itu, beliau juga mengemukakan penjelasan dari berbagai ulama' seperti Ibnu Hajar, al-Nawawi, dan lainnya, dan pada akhirnya menyimpulkan – membawa hadis-hadis yang dalalahnya muthlaq kepada yang muqayyad. Oleh karena itu, orang yang menjulurkan sarung bukan karena kesombongan, tetapi karena adat kebiasaan atau ketergesa-gesaan, tidak mendapatkan ancaman di atas.
Yusuf al-Qaradhawi juga mengemukakan tentang etika dan model berpakaian secara umum. Menurutnya, urusan berpakaian, potongan dan bentuknya, berkaitan dengan kebiasaan, yang sering kali berlainan sesuai dengan perbedaan iklim, serta berbagai pengaruh dan latar belakang lainnya. Syari'at hanya memberikan tuntunan bahwa berpakaian itu harus didasari niat yang baik, serta tidak berlebih-lebihan. Hal ini sesuai dengan QS. Al-A'raf (7): 32, dan hadis Nabi tentang makan, minum, berpakaian tidak berlebih-lebihan dan sombong.
Satu hal yang sangat penting dalam hadis tematis adalah perlunya memperhatikan metode tahlili (analitis), artinya dalam memahami hadis Nabi dengan mengumpulkan hadis-hadis yang setema baik yang sejalan maupun yang kontradiktif dengan berbagai analisis dan pendekatan yang beragam (normatif-empirik, metafisis-ontologis, etis-teologis, logis-filosfis, dan lain-lain) sebagaimana yang berkembang dalam studi tafsir al-Qur'an.

3.      Mengkompromikan Hadis-Hadis yang Kontradiktif
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, pada dasarnya nash syari'at tidak mungkin saling bertentangan. Pertentangan yang (mungkin) terjadi adalah lahiriyahnya, bukan dalam kenyataan hakiki. Adapun solusi yang ditawarkan oleh Yusuf al- Qarâdhâwi adalah:
a.       Al- jam'u wa al-Taufiq (penggabungan atau pengkompromian)
Bagi beliau, hadis yang tampak bertentangan dengan hadis lain dapat dihilangkan pertentangannya dengan cara mengkompromikan hadis-hadis tersebut.
Contohnya adalah hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur bagi wanita.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ.
Hadis ini berkualitas shahih, dan mengandung tentang ketidak sukaan Nabi – yang bisa diartikan sebagai larangan – kepada perempuan yang terlalu sering berziarah kubur.
Hadis tersebut sepintas bertentangan dengan hadis yang memperbolehkan ziarah kubur secara umum, karena hal itu bisa mengingatkan kepada kematian. Juga adanya hadis lain, riwayat al-Bukhari dan Muslim dalam bab al-jana'iz, yang berkualitas shahih dan menjelaskan bahwa Nabi tidak senang kepada wanita yang menangis (meratap) di kuburan atau tidak sabar dalam menerima musibah, namun tidak ada indikasi beliau melarang.
Jadi, semua hadis – yang melarang maupun yang memperbolehkan seorang wanita berziarah kubur – berkualitas shahih, dan secara zhahir saling bertentangan. Namun menurut beliau, bahwa hadis yang melarang di atas dapat dikompromikan, yakni, hadis yang melarang perempuan berziarah kubur dikarenakan zawwarat (wanita tersebut terlalu sering ziarah kubur), hal ini memungkinkan terabaikannya kewajibannya yang lain, yang menyebabkan dilarang oleh Nabi saw. Atau karena kemungkinan melakukan hal-hal yang dilarang, seperti menangis dan meratap.
b.      Tarjih dan al-Nasikh wa al-Mansukh
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, apabila dua hadis yang tampak bertentangan tidak dapat dikompromikan, maka dapat ditempuh dua jalan: al-Tarjih dan al-Nasikh wa al-Mansukh. Namun demikian, menurut beliau hadis yang mansukh pada dasarnya bukan dimaksudkan penghapusan dalam arti yang sebenarnya, tetapi sebagai 'azimah, rukhsash atau karena situasi dan kondisinya yang berbeda.
Dalam konstelasi sejarah perjalanan ilmu mukhtalif al hadis, metode yang ditawarkan Yusuf al-Qaradhawi ini sebenarnya bukan hal yang baru. Cara al-jam'u harus didahulukan dari pada al-Tarjih dan al-nasikh wa al-mansukh jauh sebelumnya telah dipakai oleh Ibnu Hazm, Ibnu al-Shalah, Ibnu Hajar al-Asqalani dan lainnya.
c. Al-Tawaquf (tidak menerima maupun menolak keduanya)
Ketika berbagai upaya untuk mengkompromikan pertentangan (al-Ta'arudh) dua dalil yang sama kuatnya dalam satu persoalan tidak bisa dilakukan, maka cara yang ditempuh adalah dengan cara tawaquf, yaitu tidak menerima maupun menolak kedua hadis tersebut sampai ditemukannya dalil lain yang menguatkan salah satunya.

4.      Memahami Hadis Sesuai dengan Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta Tujuannya
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, untuk memahami hadis Nabi dapat dilakukan dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis (asbab al wurud), atau terkait dengan suatu 'illat tertentu yang dinyatakan dalam hadis tersebut, ataupun dapat difahami dari kejadian yang menyertainya. Hal demikian mengingat hadis Nabi menyelesaikan berbagai problem yang bersifat lokal (maudhu'i), partikular (juz'i) dan temporal (ani).
Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat melakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan yang umum, yang sementara dan abadi, serta antara yang partikular dengan yang universal. Semua itu memiliki hukumnya masing-masing. Dengan demikian menurut beliau, apabila kondisi telah berubah dan tidak ada lagi 'illat, maka hukum yang berkenaan dengan suatu nash akan gugur dengan sendirinya. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi:
اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
Begitu pula terhadap hadis yang berlandaskan pada kebiasaan temporer yang berlaku pada zaman Nabi dan mengalami perubahan pada masa kini, maka yang dipegangi adalah maksud yang dikandungnya dan bukan pengertian harfiahnya.
Contohnya adalah; hadis tentang larangan wanita bepergian kecuali dengan mahramnya. Alasan dilarangnya bepergian dalam hadis ini adalah adanya kekhawatiran akan keselamatan apabila bepergian jauh tanpa disertai seorang suami atau mahramnya. Pada waktu itu orang mengendarai unta, bighal ataupun keledai dalam perjalanan mereka, seringkali melintasi padang pasir yang luas atau daerah yang jauh dari hunian manusia.
Jika kondisi itu telah berubah seperti di masa sekarang, dengan kendaraan, kereta api, atau pesawat yang mengangkut ratusan orang atau lebih, tidak ada kekhawatiran keselamatan wanita yang bepergian sendiri, tidak ada salahnya ditinjau dari syari'at jika ia melakukannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibnu Hazm, bahwa jika kondisi keamanan telah terjamin, maka diperbolehkan wanita bepergian tanpa suami atau mahram. 'Aisyah serta istri-istri Nabi pergi melaksanakan ibadah haji di masa kekhalifahan Umar, tidak seorangpun mahram yang menyertainya. Mereka pergi bersama Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin 'Auf.

5.      Membedakan Antara Sarana yang Berubah-Ubah dan Tujuan yang Tetap
Para ulama menegaskan bahwa hukum-hukum agama diundangkan semata-mata untuk kebutuhan hidup umat manusia di dunia dan di akhirat, baik yang bersifat primer, skunder maupun tertier. Alasan itu sebagaimana dikatakan oleh imam Syatibi adalah diperiksanya syariat pada dalil-dalil global dan sektoralnya. Jadi pengujian itu tidak boleh terbatas pada satu teks atau kasus tertentu saja, tetapi syariat itu keseluruhan merupakan lapangan pengujian tersebut.
Karena itu menurut Yusuf al-Qaradhawi, dalam memahami hadis Nabi harus berpegang dan mementingkan makna substansial atau tujuan hakiki teks hadis. Sebab, sarana dan prasarana yang tampak pada lahiriah hadis dapat berubah-ubah dari satu masa ke masa lainnya, dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya.
Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh mencampur-adukkan antara tujuan (yang hakiki dan abadi) yang hendak dicapai oleh hadis dengan prasarana temporer atau lokal yang menunjang pencapaian tujuan. Dengan demikian, bila suatu hadis menyebutkan sarana tertentu untuk mencapai tujuan, maka sarana tersebut tidak bersifat mengikat, karena sarana tersebut ada kalanya berubah dengan adanya perubahan lingkungan, zaman, adat kebiasaan dan lain sebagainya.
Contohnya; hadis tentang siwak. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, penyebutan siwak dengan kayu arak oleh Nabi tidaklah mengikat kita agar tidak menggunakan alat-alat lain. Sebab yang menjadi tujuan dari hadis tersebut adalah terjaganya kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut, sehingga mendapatkan keridaan dari Allah swt. Adapun tentang alat yang digunakan, hal itu tergantung kondisi suatu tempat tertentu dan waktu tertentu, misalnya dengan ranting pohon arak, arjun, zaitun, atau sepotong kain. Di zaman ini, pemakaian sikat dan pasta gigi sama nilainya dengan pemakaian kayu arak (siwak) di masa Nabi.

6.      Membedakan Antara Ungkapan Haqiqah dan Majaz.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, pemahaman berdasarkan majaz terkadang merupakan keharusan, karena jika tidak, orang akan tergelincir dalam kekeliruan. Untuk hadis yang tidak bisa difahami secara tekstual, maka bisa dilakukan ta'wil. Upaya ta'wil harus didukung oleh suatu alasan yang kuat, jika tidak maka pena'wilan tersebut harus ditolak, begitu pula pena'wilan yang dipaksakan. Sedangkan pemahamn hadis yang hanya sesuai dengan susunan lahiriyahnya atau tekstualnya saja pun harus ditolak, jika bertentangan dengan konkulusi akal sehat, atau hukum syari'ah yang benar, atau pengetahuan yang pasti, atau kenyataan yang meyakinkan.
Contohnya; hadis tentang sifat Allah sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat imam al-Bukhari berikut ini:
 حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً (رواه البخاري)

Merurut Yusuf al-Qaradhawi, kaum Mu'tazilah mengecam para ahli hadis yang telah meriwayatkan hadis tersebut dan menisbahkannya kepada Allah swt yang artinya menyerupakan Allah dengan makhluknya. Padahal sesuai pendapat Ibn Qutaibah (w. 276 H) dalam ta'wil mukhtalaf al hadits – ungkapan hadis tersebut hanya tamsilan atau kiasan belaka. Adapun yang dimaksud adalah barangsiapa bergegas datang kepada-Ku dengan amal ketaatan, maka Allah akan bergegas pula dalam memberinya pahala, lebih cepat dari kedatangannya. Hal ini analog dengan QS. Al-Hajj (22): 51, yang dimaksud "cepat-cepat berjalan", bukanlah mereka benar-benar berjalan terus-menerus, tetapi "bercepat-cepat dengan niat dan amalan mereka".
Contoh lain yang dikemukakan oleh beliau adalah hadis yang berbunyi:
إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ   (رواه البخاري ومسلم)

Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari: Azab di sini secara lughawi berarti sakit, bukan azab akhirat. Si mayyit merasa sakit melihat kesedihan keluarganya dan mendengar tangis mereka atas dirinya. Karena mayyit di dalam kuburnya tidak lepas hubungannya dengan keluarga dan kerabat dengan segala kondisinya. Azab di sini juga bisa berarti celaan Malaikat terhadap mayyit yang ditangisi oleh keluargnya.

7.      Membedakan Antara yang Ghaib dan yang Nyata
Di antara kandungan hadis ada hal-hal yang berkaitan dengan alam ghaib, yang sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat dengan panca indera, misalnya Malaikat dan tugasnya; jin yang dapat melihat manusia dan manusia tidak dapat melihatnya; setan-setan atau iblis yang bersumpah ingin menyesatkan manusia; juga 'arsy, kursi, lauh dan qalam.
Hadis-hadis tentang alam ghaib tersebut, sebagiannya diungkapkan dalam al-Qur'an dan sebagiannya dijelaskan dalam hadis Nabi. Di dalam al-Qur'an kebanyakan bersifat umum, sementara dalam hadis Nabi diuraikan secara panjang lebar dan terinci. Tidak semua hadis yang terkait dengan alam ghaib mempunyai kualitas shahih, namun sebagiannya juga ada yang hasan dan dha'if.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, hadis shaih tentang alam ghaib, seorang muslim wajib menerimanya, dan tidak dibenarkan menolaknya semata-mata karena menyimpang dari apa yang biasa dialami, atau tidak sejalan dengan ilmu pengetahuan. Selama hal itu dalam batas kemungkinanan menurut akal, walaupun dianggap mustahil menurut kebiasaan.
Terhadap hadis-hadis tentang alam ghaib, begitu pula tentang sifat-sifat Allah, Yusuf al-Qarhadawi sepakat dengan Ibnu Taimiyah, yaitu menghindari ta'wil serta mengembalikan hal itu kepada Allah tanpa memaksakan diri untuk mengetahuinya. Sikap yang benar yang diharuskan oleh logika keimanan dan tidak ditolak oleh logika akal, adalah mengatakan; "kami beriman dan percaya", setiap kali dihadapkan hal-hal ghaib yang telah ditetapkan dalam agama.
Berpegang pada prinsif di atas, Yusuf al-Qaradhawi melihat bahwa kesalahan mendasar yang telah menjerumuskan Mu'tazilah adalah mereka menganalogikan antara sesuatu yang ghaib dan yang nyata, atau antara fenomena akhirat dengan fenomena dunia. Hal demikian jelas tidak tepat, mengingat kedua alam ini memiliki hukumnya sendiri-sendiri yang masing-masing berbeda.

8.      Memastikan Makna Kata-Kata dalam Hadis.
Untuk dapat memahami hadis dengan sebaik-baiknya menurut Yusuf al-Qaradhawi, penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan kalimat hadis. Sebab, konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dari suatu masa ke masa lainnya, dan dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya.
Contohnya adalah; Satu kata dalam hadis yang telah berubah konotasinya, yaitu kata tashwir (pembentukan gambar atau pembentukan rupa) yang disebutkan dalam beberapa hadis shahih yang disepakati. Juga hadis-hadis yang mengancam para mushawwir (pembuat gambar) dengan siksa yang amat pedih, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari. Pada saat ini kata tashwir digunakan untuk mengatakan sesuatu kegiatan pengambilan gambar dengan kamera. Tekhnologi fotografi ini belum ada dan tidak dikenal pada masa Nabi, maka tidak mungkin ditujukan kepada ahli foto. Tidaklah tepat memasukkan ancaman kepada para ahli foto dalam bahasa Arab disebut mushawwir yang menggunakan kamera mereka untuk mengambil gambar-gambar tertentu. Inilah yang menjadi alasan Yusuf al-Qaradhawi untuk berhati-hati dalam memastikan makna suatu kata tertentu di dalam hadis.

9. Menghormati Konsensus Ulama (Ijma') yang pasti kebenarannya
Consensus para ulama tentang suatu hukum agama, terutama pada abad-abad pertama dulu membuktikan dengan jelas bahwa mereka sudah mendasari consensus mereka itu pada pertimbangan keagamaan yang benar yaitu ayat dan hadis, kemanfaatan, atau keperluan yang sangat mendesak. Misalnya; besar zakat emas sama dengan besar zakat perak yaitu 4/10 dan lainnya.

10. Menjadikan Shahih Bukhari dan Muslim Sebagai Pijakan utama
Salah satu metode pemahaman hadis yang ditempuh oleh Yusuf al-Qaradhawi adalah, dengan mengkomfirmasikan hadis-hadis yang ada kepada shahih al-Bukhari dan Muslim. Jika suatu hadis berbicara tentang persoalan yang sangat penting dalam persoalan agama namun tidak dijumpai dalam al-Shahihain, maka hadis-hadis tersebut diragukan tingkat validitasnya. Sekalipun pada kenyataannya hadis-hadis tersebut diriwayatkan dari beberapa jalur periwayatan, dan salah satu sumber periwayatan lebih kuat dari yang lainnya.
Hal tersebut dapat dilihat ketika beliau memahami hadis tentang perpecahan umat menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Hadis ini masih dipertanyakan keabsahan riwayatnya; pertama: harus diketahui bahwa hadis ini tidak terdapat sama sekali di dalam kitab ash-Shahihain, padahal masalahnya sangat penting. Ini berarti hadis tersebut tidak shahih menurut salah satu syarat dari keduanya (Bukhari dan Muslim). Kedua: Sebagian riwayat hadis tersebut tidak menyebutkan semua golongan akan masuk neraka kecuali satu golongan, tetapi hanya menyebutkan perpecahan dan jumlah golongan yang muncul. Di antaranya riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim.
حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً. (رواه لأبو داود)

حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ أَبُو عَمَّارٍ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَفَرَّقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ أَوْ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَالنَّصَارَى مِثْلَ ذَلِكَ وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً. (رواه الترمذي)  

Hadis ini dinyatakan hasan shahih oleh imam al-Tirmidzi namun dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Hadis ini diriwayatkan dari jalur Muhammad bin Amr bin Alqamah bin Waqqash al-Laitsi yang dijelaskan dalam Tahzibut Tahzib sebagai perawi yang dipermasalahkan segi hafalannya, bahkan tidak ada yang menilainya sebagai orang yang tsiqah. Di sisi lain perlu diketahui bahwa al-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Hakim adalah termasuk para perawi yang sangat gampang menshahihkan suatu hadis. Khususunya al-Hakim, ia sangat longgar dalam mensyaratkan keshahihan sebuah hadis.
Sedangkan hadis dengan tambahan "semuanya masuk neraka kecuali satu golongan" diriwayatkan dari sejumlah sahabat: Abdullah bin Amr, Mu'awiyah, Auf bin Malik, dan Anas r.a., tetapi semuanya bersanad lemah. Para perawi hadis menguatkannya hanya dengan jalan menghubungkan yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, menguatkan suatu hadis (lemah) hanya karena banyak riwayat tidak mutlak bisa diterima. Berapa banyak suatu hadis yang diriwayatkan dari beberapa jalan, tetapi tetap dilemahkan oleh para ahli hadis. Hal ini dapat dibaca dalam kitab-kitab takhrij dan lainnya. Hal tersebut dapat diterima, manakala tidak ada hadis lain yang menentangnya dan maknanya tidak menimbulkan kemusykilan.
Adapun hadis tersebut cukup menimbulkan kemusykilan. Di satu segi menyatakan perpecahan Yahudi dan Nashrani, dan lain segi menyatakan bahwa semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan. Pernyataan yang kedua ini akan membuka peluang bagi masing-masing golongan untuk mengklaim bahwa dirinya adalah golongan yang selamat, sedangkan golongan lainnya m asuk neraka. Ini jelas akan menimbulkan perpecahan umat dan permusuhan antar sesamanya.
Karena itu, al-Allamah Ibnu Wazir melemahkan hadis ini secara keseluruhan (bahkan Ibn Hazm menganggapnya palsu) karena hadis tersebut akan mengakibatkan saling menyesatkan dan saling mengafirkan di kalangan umat Islam.
Namun yang menarik, sekalipun menganggapnya lemah, al-Qaradhawi berusaha untuk memahami hadis tersebut. Menurutnya, bisa jadi sebagian dari golongan-golongan tersebut telah muncul kemudian berhasil ditumbangkan oleh kebenaran sehingga lenyap untuk selama-lamanya. Inilah yang secara riil terjadi pada golongan-golongan yang menyimpang (al-Firaqul Munharifah). Sebagian darinya telah lenyap dan tidak punya eksistensi lagi.
Selain itu, hadis tersebut menunjukkan bahwa semua golongan itu adalah bagian dari umat Nabi Muhammad saw, yakni Ummatul Ijabah. Ini berarti golongan-golongan itu – kendatipun banyak melakukan bid'ah – tidak keluar dari millah (agama) dan tidak pula terlepas dari tubuh umat Islam.
Adapun keberadaan nanti di neraka, tidak berarti akan tinggal di dalamnya untuk selama-lamanya sebagaimana orang-orang kafir, tetapi mereka akan masuk ke dalam neraka sebagaimana orang-orang mukmin yang melakukan maksiat.

Penutup
Sebagai salah seorang ulama' kontemporer yang memiliki pemahaman agama yang sangat luas, dan salah seorang tokoh sentral yang dimiliki oleh dunia Islam saat ini, maka wajarlah jika Syekh Yusuf al-Qaradhawi banyak melakukan ijtihad dan terobosan-terobosan dalam menggali dan memahami berbagai persoalan agama yang dibutuhkan oleh umat Islam dewasa ini. Sepuluh metode pemahaman hadis Yusuf al-Qaradhawi ini merupakan bagian dari upayanya untuk memahami ajaran agama secara mendalam dan maksimal serta menghindari kesalahan dan pemahaman yang bersifat parsial.
Sebagai salah seorang tokoh dan ilmuan Muslim dunia yang sangat produktif dalam melahirkan karya-karya intlektual, Yusuf al-Qaradhawi mengaplikasikan kesepuluh metode ini dalam berbagai karya dan persoalan yang dikaji. Hal tersebut dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti; Fiqh al-Zakah, al ijtihada al-Mu'ashir baina al-Inzhibaath wa al-Infirath, fiqh al-Ikhtilaf, fiqh al-Aulawiyaat, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Hady al-Islam, Fatawa al Mu'ashirah, Kaifa Nata'amal ma'a al-Sunnah al-Nabawiyah, dan lain sebagainya. Wallahu A'lam bi al-Shawab.
*) Anggota MTT PP Muhammadiyah
Makalah ini disampaikan pada acara Pelatihan Kader Ulama Tarjih di Banten, tanggal 11-13 Mei 2012








DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hasjim, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha', cetakan pertama, Yogyakarta: Teras, Mei, 2004

A. Salam, Bustamin M. Isa H.,  Metodologi Kritik Hadis, cetakan pertama, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, Maret, 2004

CD-Rom Mausu'ah al Hadits al Syarif.

CD-Rom Al Maktabah al Syamilah.

al-Qaradhawi,Yusuf, Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, (Penerjemah: Abu Barzani), cetakan kedua, Surabaya: Risalah Gusti, 2002

--------------------, Hukum Zakat: Sutudi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur'an dan Hadis, (Penerjemah: Salman Harun dkk), cetakan keenam, Jakarta: Litera Antar Nusa, 2002

--------------------, Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, (Penerjemah: Bahruddin F), cetakan Keenam, Jakarta: Rabbani Press, Juli, 2008

--------------------,Fiqh Perbedaan Pendapat Antar Sesama Muslim, (Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid), cetakan kelima belas, Jakarta: Rabbani Press, Oktober, 2007

---------------------, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, Juni 1997.

--------------------, Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid 1, cetakan ketujuh (Jakarta: Gema Insani Press, September, 2001

al-Qushaimy, Abdullah bin Ali al-Najdi, Musykilat al-Ahadits al-Nabawiyah, (Terj. Kathur Suhardi: Memahami Hadits Musykil), cetakan kedua, Solo: Pustaka Mantiqm juli, 1994

Rudliyana, Muhamad Dede, Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis Dari Klasik Sampai Moderen, cetakan pertama, Bandung: CV. Pustaka Setia, Maret, 2004

Salim, Muhammad Adnan dan Muhammad Wahbi Sulaiman, A Dictionary Of The Words Of The Great Qur'an Mu'jam Kalimat Al-Qur'an Al 'Azhim, Cetakan pertama, Beirut-Libanon, Daar el Fikr, 1998

al-Sibâ'i, Musthafa,  al-Sunnah wa Makânatuha fi al-Tasyrî' al-Islami, cetakan keempat, Beirut: al-Maktabah al-Islâmi, 1985

Suryadi, Metode Kontemporer Pemahaman Hadis Nabi Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qaradhawi,  cetakan pertama, Yogyakarta, Teras, Mei, 2008

Ya'qub, Ali Mustafa,  Kata Pengantar buku Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha', cetakan pertama, Yogyakarta: Teras, Mei, 2004



[1] Ada beberapa pendapat tentang pengertian syaz yaitu: (1) Muhammad Idris al-Syafi'i (w. 204 H/820 M), hadis syaz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat lain yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah pula; (2) Menurut imam al-Hakim al-Naysaburi (w. 405 H/ 1014 M), hadis syaz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah secara mandiri, tidak ada periwayat tsiqah lainnya yang meriwayatkan hadis tersebut; (3) Menurut Abu Ya'la al-Khalîli (w. 405 H /1014 M), hadis syâzd adalah hadis yang sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatnya bersifat tsiqah maupun tidak tsiqah. Dari tiga pendapat ini, pendapat imam al-Syafi'i-lah yang banyak dianut oleh para muhadditsîn. (4) Menurut Nuruddin 'Itr, hadis syâdz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang maqbûl yang menyalahi riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun lebih tinggi daya hafalnya. (5) sedangkan menurut Ibnu Hazm (384-456 H), istilah syudzûz didasarkan pada pengertian "yang menyalahi kebenaran" (mukhâlafat al-haq/ al-Tsiqah). Kebenaran di sini adalah pendapat yang disepakati oleh mayoritas atau sekelompok orang yang tergabung dalam proses ijma'. Dari kelima pendapat tersebut, pendapat imam al-Syafi'i dan Nuruddin 'Itr-lah yang paling banyak dipakai dalam khazanan ilmu hadis.
[2]Dalam istilah Muhadditsûn, 'illah adalah sebab tersembunyi yang masuk ke dalam hadis sehingga merusak keshahihannya (Sabab al ghâmid al khafy yuqdahu fi al sihhah al-Hadîts).

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.