HUKUM JUAL BELI EMAS SECARA KREDIT
JUAL BELI EMAS SECARA KREDIT
PERTANYAAN:
1. Bolehkah menurut Islam seseorang menjual emas/permata dengan cara kredit ?
2. Bolehkah mengkreditkan emas/permata padahal dia tahu emas dan permata itu
nanti akan dijual untuk mendapatkan uang ?
Alasan orang mengkredit emas/permata:
a. Kalau emas/permata itu dijual lagi akan mendapatkan uang untuk suatu
keperluan, modalkerja, berobat dan lain sebagainya
b. Kredit emas/permata itu tanpa syarat, tidak harus menyertakan sertifikat,
BPKB/STNK atau SK, atau biasa disyaratkan dalam mengambil suatu kredit.
c. Tidak ada resiko kredit atau biaya administrasi.
d. Tidak didenda jika tidak mengangsur.
e. Tidak memberatkan dan sangat tertolong.
Menjual emas/permata kredit itu tidak diitempat ia mengambil kredit.
JAWABAN:
1. Emas dan permata (perhiasan) termasuk kategori barang ribawi, terlebih lagi
emas yang merupakan salah satu bentuk mata uang (alat tukar). Sehingga untuk
penukaran maupun penjualannya harus dilakukan sesuai dengan aturan yang ada
agar terhindar dari praktek ribawi. Terkait dengan jual beli barang ribawi
termasuk diantaranya emas dan perak, terdapat beberapa hadis yang menjelaskannya,
antara lain:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا
تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا
بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا
بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا
غَائِبًا بِنَاجِزٍ
Dari Abu Sa'id Al Khudri, bahwa Rasulullah S.A.W.
bersabda: "Janganlah kamu jual beli emas dengan emas kecuali semisal, dan
jangan kalian lebihkan sebagian atas sebagian yang lain. Janganlah
jual beli perak dengan perak kecuali semisal, dan janganlah
kalian lebihkan sebagian atas sebagian yang lain. Dan janganlah kalian menjual
sesuatu dengan tunai sementara yang lain dengan tempo." (HR. Muslim)
Namun jika tolok ukurnya karena emas merupakan barang ribawi dan kedudukannya
sama dengan alat tukar (uang), sehingga tidak boleh dijadikan sebagai komoditas,
di sisi lain perak sesungguhnya juga merupakan alat tukar dalam bentuk pecahan
(dirham), namun oleh Nabi S.A.W. diperbolehkan untuk menukar (menjual) emas
dengan perak sesuai dengan keinginan seseorang, sebagaimana hadis nabi saw
sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ
بِالذَّهَبِ إِلَّا سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَأَمَرَنَا أَنْ نَبْتَاعَ الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ
كَيْفَ شِئْنَا وَالْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْنَا. (رواه البخاري)
Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman
bin Abu Bakrah dari Bapaknya ra. berkata; Nabi S.A.W. melarang jual beli perak
dengan perak dan emas dengan emas kecuali dengan jumlah yang sama, dan
memerintahkan kami untuk berjual beli emas dengan perak terserah bagaimana
keinginan kami dan perak dengan emas terserah bagaimana keinginan kami".
(HR. al Bukhari)
Dari hadis tersebut dapat difahami bahwa larangan jual beli emas baik
secara tunai maupun tempo itu berlaku ketika proses penjualannya itu antara
emas dengan emas dan perak dengan perak, atau antar sesama barang ribawi yang
sejenis, yang harus dilakukan secara tunai dan semisal ukurannya. Namun jika
emas dijual dengan uang atau alat tukar maka tentu larangan tersebut tidak
berlaku, asal dilakukan sesuai dengan kaidah dan hukum agama serta tidak
terjadi manipulasi dan penipuan.
Dalam konteks Indonesia, emas tentu berbeda dengan mata uang, ia merupakan
benda komoditas yang diperjual belikan, sehingga posisinya sama dengan barang
niaga lainnya. Adapun terkait dengan
pluktuasi harga, sekalipun tidak sama persis dengan benda atau barang lainnya,
barang niaga selain emas juga terjadi pultuasi harga, seperti harga motor hari
ini tentu belum tentu sama harganya dengan bulan depan atau tahun berikutnya.
Sehingga berlakulah hadis berikut ini;
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ
بِالذَّهَبِ إِلَّا سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَالْفِضَّةَ بِالْفِضَّةِ إِلَّا سَوَاءً
بِسَوَاءٍ وَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ وَالْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ
شِئْتُمْ. (رواه البخاري)
Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman
bin Abu Bakrah berkata, Abu Bakrah ra. berkata; Telah bersabda Rasulullah S.A.W.:
"Janganlah kalian berjual beli emas dengan emas kecuali dengan jumlah yang
sama, perak dengan perak kecuali dengan jumlah yang sama dan berjual belilah
emas dengan perak atau perak dengan emas sesuai keinginan kalian". (HR. al-Bukhari)
Dengan demikian, menurut kami, bahwa hukum jual beli emas adalah mubah
(boleh) baik secara tunai maupun tempo. Terlebih lagi hal ini termasuk
persoalan mu’amalah yang hukum asalnya adalah mubah, kecuali jika terdapat
dalil yang melarangnya. Sesuai dengan kaidah yang berbunyi;
الأصل فى المعاملات الإباحة
“Hukum asal
dalam masalah mu’amalah adalah mubah”.
Namun perlu ditegaskan bahwa, kebolehan tersebut tidak bersifat mutlak, artinya
semua sangat terkait dengan prinsip-psrinsip dan etika bermu’amalah seperti
tidak ada unsur manipulasi, penipuan, kezhaliman, riba, dan lain sebagainya.
2. Sedangkan terkait dengan pertanyaan kedua, penjelasan yang bapak ajukan, dapat
digambarkan ilustrasinya sebagai berikut:
A= Orang atau toko penjual emas/permata
B= Pembeli (kulakan) emas/permata di toko atau
pihak A
C= Membeli dengan kredit emas/permata di
tempat B
Lalu pihak C menjual emas/permata tersebut ke
pihak A
Jika gambaran pertanyaan yang bapak ajukan seperti ini, maka tentu jenis
jual beli sepeti ini adalah jual beli yang dilakukan secara normal dan dihukumi
mubah (boleh). Proses jual beli seperti ini tidak termasuk kategori jual beli ‘Inah
yang dilarang oleh agama Islam. Sebab jual beli ’inah dilakukan oleh dua belah
pihak dengan penuh tipu daya untuk mendapatkan keuntungan finansial. para
ulama’ memberika definisi terkait dengan jual beli ‘inah sebagai bentuk jual beli sesuatu kepada pihak lain dengan
pembayaran bertempo, lalu sang penjual membeli kembali barang tersebut secara tunai
sebelum menerima pembayaran dari si pembeli itu dengan harga yang lebih rendah
dari harga penjualannya. Contohnya; A membeli motor dengan cara kredit kepada B
dengan hargai 25 juta rupiah, lalu setelah terjadi proses transaksi, pihak B
membeli barang yang belum lunas tersebut dengan harga 20 juta rupiah. Hal ini
juga sudh disampaikan pada saat akad dan bagian dari startegi penjualannya.
Sementara kasus yang bapak tanyakan, melibatkan lebih dari dua pihak, yang
tentu juga antara masing-masing pihak tidak terjadi deal-deal atau kesepakatan
untuk melakukan proses jual beli dengan cara ‘inah tersebut. Semuanya terjadi
secara alamiah tanpa adanya unsur rekayasa. Maka tentu jual beli seperti ini
termasuk jenis jual beli yang mubah atau diperbolehkan.
Sedangkan jual beli ‘inah jelas merupakan sesuatu yang dilarang sesuai
dengan hadis nabi S.A.W. sebagai berikut;
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا
تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ
بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا
يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ. (رواها أبو داود)
Dari Ibnu Umar ia berkata, "Aku mendengar
Rasulullah S.A.W. bersabda: "Jika kalian berjual beli secara cara 'inah,
mengikuti ekor sapi, ridha dengan bercocok tanam dan meninggalkan jihad, maka
Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah
tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama
kalian." (HR. Abu Dawud)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَئِنْ تَرَكْتُمْ الْجِهَادَ
وَأَخَذْتُمْ بِأَذْنَابِ الْبَقَرِ وَتَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ
لَيُلْزِمَنَّكُمْ اللَّهُ مَذَلَّةً فِي رِقَابِكُمْ لَا تَنْفَكُّ عَنْكُمْ
حَتَّى تَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ وَتَرْجِعُوا عَلَى مَا كُنْتُمْ عَلَيْهِ. (رواه
أحمد)
Dari Ibnu Umar dari Nabi S.A.W., beliau
bersabda: "Jika kalian telah meninggalkan jihad, memegang ekor-ekor sapi
dan saling berjual beli dengan system 'inah (riba), niscaya Allah akan
menimpakan kehinaan atas kalian, ia tidak akan bisa lepas dari kalian hingga
kalian bertaubat kepada Allah dan kembali kepada jalan yang semestinya atas
kalian." (HR. Ahmad)
Sedangkan terkait dengan larangan menjual barang yang belum menjadi
miliknya, sejauh yang kami fahami, itu terkait dengan barang pihak lain tanpa
sepengetahuan dan izin dari pemiliknya, atau barang sengketa maupun harta
warisan yang masih belum dibagi sehingga menjadi kepemilikan bersama. Sedangkan
barang yang dibeli secara kredit, hakekatnya adalah barang yang dimiliki oleh
si pembeli namun dia tetap berkewajiban untuk mebayar hutangnya. Selama hal itu
dilakukan secara wajar dan benar, serta dia tetap konsisten dan
bertanggungjawab untuk mebayar hutangnya, maka hal itu dapat dibenarkan, dan
hukumnya mubah. Wallahu A’lam.
Leave a Comment