VAKSINASI DAN IMUNISASI


SIKAP PRIBADI SAYA TENTANG:
VAKSIN MR (MEASLES RUBELLA)

Fatwa yang baik dan bermutu tidak hanya berbicara pada aspek Yuridis Formal (Halal, Haram, Makruh, Mubah, dan Sunnah) belaka, tetapi juga sejatinya berbicara tentang aspek spiritual yang m
enyangkut kenyamanan dan ketenteraman hati ummat sebagai konsumen hukum.

Berbicara tentang Vaksin MR juga tidak semata-mata berbicara tentang bahan dasarnya apakah dari bahan yang halal ataukah haram seperti dari babi atau lainnya, tetapi juga aspek lain seperti pertimbangan kondisi dharurat. Jangankan penggunaan sesuatu yang berasal dari babi sebagai pengurai (katalisator), memakannya saja tidak berdosa (ma’fu) dalam kondisi dharurat asal sewajarnya untuk menjaga kehidupan (hifzun Nafs) dan tidak berlebihan (Famanid Thurra ghaira baghin wa ‘adin). Namun apa pertimbangan sehingga kondisi itu disebut dharurat ? ini hendaknya dijawab secara tuntas dan tidak “Main-Main”. Karena kalau mengacu pada perspektif pemerintah, sesuatu disebut Kejadian Luar Biasa (KLB/Dharurat) antara lain jika hal tersebut sudah terjadi sekalipun hanya satu kasus. Sementara dalam perspektif Fikih, hal itu disebut “An-Nadir” (langka/kasuistis), sehingga berlaku kaidah:
حكم النادر كالمعدوم
“Hukum dari sesuatu yang bersifat kasuistis/langka sama dengan tiada”.

Sesuatu yang bersifat kasusistis belum bisa dijadikan acuan untuk melakukan generalisasi hukum apalagi disebut “DHARURAT”.

Belum lagi MITOLOGI kedekatan GEN manusia dengan babi, masih debatebel di kalangan praktisi dan para ahli biologi dan kesehatan. Sebagian ilmuan ada yang berpendapat bahwa hal tersebut hanyalah mitos belaka. Penggunaan bahan dari babi untuk vaksin baik sebagai bahan pokok maupun sebagai katalisator lebih banyak karena pertimbangan PRAGMATIS, karena MURAH dan MUDAH DIDAPATKAN oleh negara atau produsennya. Padahal sesungguhnya bisa juga berasal dari bahan NABATI, SAPI, maupun bahan SINTETIS (terlepas dari mahal/tidak dan kerumitannya).

Salah satu faktor yang membuat masyarakat (umat) merasa tidak nyaman dan mantap dengan fatwa-fatwa yang ada, karena kebanyakan fatwa hanya fokus pada aspek Yuridis Formal namun gersang dari aspek spiritual (Fikih Oriented). Lebih-lebih lagi fatwa terkesan “Prematur” karena hampir selalu berpijak pada pertimbangan “Mudharat” sebagai senjata pamungkasnya - yang definisinya masih debatebel.

Memutuskan hukum Vaksinasi MR, hampir sama atau bahkan sejiwa dengan fatwa-fatwa sebelumnya tentang Imunisasi Polio, Vaksin untuk calon jama’ah haji, dan lainnya yang mengedepankan aspek kemudharatan. Membuat fatwa hukum seperti ini tentu “sangat mudah”, bahkan (Mohon Maaf) saya sendiri bisa melakukannya. Karena untuk membuat fatwa kebolehan Vaksisn MR, saya bisa menggunakan beberapa (bahkan puluhan) kaidah fikih, antara lain:
1-    الضرورة تبيح المحظورات
2-    الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت أم خاصة
3-    المشقة تجلب التيسير
4-    إذا اجتمع مفسدتان روعي أعظمها بارتكاب أخفها
5-    درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
6-    المقاصد الشريعة (حفظ النفس و حفظ النسل)

Dan lain sebagainya, termasuk menggunakan teori “Istihalah” dan teori prevensi. Namun teori-teori tersebut belum sanggup menenteramkah hati para Konsumen Fatwa, karena terasa sangat gersang dengan sentuhan aspek yang bersifat spiritualitas dan belum sanggup mematahkan sebagian mitologi yang berkembang di tengah masyarakat. Terlebih lagi adanya informasi bahan dasar Vaksin MR yang berasal dari “Al-A’dha’ al-Jism al-Basyariah” (unsur yang berasal dari tubuh manusia), dan munculnya pertanyaan, apakah vaksinasi bagi masyarakat bersifat KEWAJIBAN ataukah HAK ?. Jika itu merupakan kewajiban, maka bagaimana negara bisa mensinergikan antara kewajiban negara dengan dimensi Keyakinan Keberagamaan warganya yang juga dilindungi oleh UU? Namun jika itu Hak, maka tentu masyarakat bisa mengambil Haknya dan bisa juga tidak. Mereka bisa menolak dan memperkarakan jika merasa dipaksa atau anaknya dipaksa untuk divaksin. Hal-hal seperti ini sejatinya juga harus dirumuskan dan dikaji secara tuntas. Pendekatan BAYANI, BURHANI dan ‘IRFANI, bisa menjadi salah satu solusinya. Wallahu A’lam. (Ruslan Fariadi)

# salam TGR
# mari terus belajar
# watawashau bil haq wa tawashau bis shabr
# ruslanfariadiam.blogspot.com







Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.