PEMIKIRAN KHALED MEDHAT ABOU EL-FADL
KONTRIBUSI
PEMIKIRAN KHALED MEDHAT ABOU EL FADL
DALAM
STUDI ISLAM
Oleh: Ruslan Fariadi AM,
S.Ag., M.S.I.
(jubil.mumtaz@gmail.com/
ruslanfariadiam.blogspot.com)
Abstrak: Terkait
dengan warna pemikirannya, Khaled
M.Abou el-Fadl dapat dikelompokkan ke
dalam
pemikir postmodernis dan aliran subjektifis dalam filsafat. Sebagai pemikir
postmodernis dan penganut aliran subjektifis, Khaled menolak adanya makna tunggal yang
dianggap paling memiliki otoritas kebenaran, karena
hal tersebut dapat hegemoni
kebenaran.
Karena itu,
Khaled tidak hanya menerima kebenaran dari satu perspektif, melainkan dari berbagai persspektif. Beliau menentang segala hal yang
berbau kemutlakan dan baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian
atau pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis, serta memanfaatkan
nilai-nilai yang berasal dari berbagai sumber. Pandangannya itu menunjukkan
sikapnya yang meski terkesan
liberal, namun pada sisi lain ia masih menunjukkan sikap kehati-hatiannya. Dalam
makalah ini diuraikan tentang tawaran Khaled dalam melakukan interpretasi
terhadap teks dengan multi pendekatan, salah satunya adalah pendekatan
hermeneutik. Beliau
juga menjelaskan secara akademis dan memotret secara lebih dekat
proses dan prosedur dalam kajian teks. Bagaimana
sesungguhnya hubungan antara Teks (Text), Pengarang (Author) dan Pembaca
(Reader) dalam dinamika pergumulan pemikiran hukum Islam pada khususnya dan
pemikiran Islam pada umumnya.
Keywords: Khaled M. Abou el-Fadl,
Hermeneutika, Text, Authar, Reader, dan studi Islam.
A. Pendahuluan
Al-Qur’an
merupakan sumber utama ajaran Islam, yang mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia. Sedangkan sumber
kedua adalah hadis Nabi yang memiliki empat fungsi, yaitu; Bayan at-Tafsir,
Bayan at-Taqrir, Bayan an-Naskh, dan Bayan Insya’.[1] Terkait
dengan al-Qur’an, maka hadis Nabi (baca; Nabi) diyakini sebagai penafsir yang
paling otoritatif terhadap al-Qur’an (Al-Mubayyin wa al-Mufassir al-Awwal li
al-Qur’an). Namun, pada generasi setelahnya muncul berbagai
problem dalam menafsirkan teks
(terutama teks al-Qur’an dan hadis). Banyak orang temasuk organisasi keagamaan terjebak
pada tindakan “otoritarianisme” dalam menafsirkan teks-teks agama baik
ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi, yang seakan-akan sebagai pihak yang paling
tahu makna dibalik teks sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Swt dan
Rasulullah saw.
Khaled Abou el-Fadl
mengkritik lembaga fatwa seperti al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhus al-‘Imiyyah
wa al-Ifta’ atau Council for Scientific
Research and Legal Opinion (CRLO) sebuah lembaga fatwa resmi di Saudi Arabia. Khaled menganggap lembaga tersebut terjebak pada
sikap otoritarianisme, seperti fatwa pelarangan wanita untuk wanita mengeraskan suara dalam
berdo’a-karena menganggap suara wanita adalah aurat,
larangan mengunjungi makam suami, mengendarai mobil sendiri, dan wanita
harus didampingi oleh mahramnya ketika keluar rumah. Fatwa-fatwa tersebut
dianggap sebagai tindakan merendahkan harkat dan martabat wanita yang tidak dapat ditolerir pada zaman sekarang. Karena itu, menurut Khaled, reinterpretasi produk tafsir hukum Islam penting untuk
dilakukan agar umat Islam terhindar dari sikap otoriter di dalam menafsirkan teks.
Atas dasar itu,
pemikiran Khaled menjadi penting untuk dikaji dalam rangka memberikan penjelasan tentang maraknya
otoritarianisme dalam diskursus hukum Islam
dewasa ini. Dimana dengan pendekatan hermeneutika,
beliau berusaha melakukan penafsiran ulang terhadap fatwa-fatwa tentang kehidupan wanita Islam
di Arab Saudi
khususnya serta fatwa-fatwa hukum yang bias Gender pada umumnya.[2] Ha ini menurut beliau disebabkan karena adanya distorsi
pemahaman teks akibat adanya sekat
antara pembaca (Reader), teks (Text), dan pengarang (Authar).
Upaya untuk mensinergikan tiga komponen (Author, text, dan Reader)
itulah yang dilakukan oleh Khaled untuk menghilangkan skat, distorsi pemahaman,
serta sikap otoritarianisme dalam memahami teks.
B. Biografi Khaled Abou El
Fadl
Khaled Abou el-Fadl dilahirkan di Kuwait
pada tahun 1963, dengan nama lengkap Khaled Medhat Abou el-Fadl. Pendidikan dasar dan menengahnya, ditamatkan
di negeri kelahirannya, Kuwait. Kemudian pendidikannya dilanjutkan di Mesir. Uniknya, Khaled
sejak kecil tepatnya
pada usia 12 tahun sudah
hafal al-Quran. Ayahnya yang berprofesi sebagai pengacara, sangat menginginkan Khaled menjadi seorang yang
menguasai hukum Islam.
Pada tahun 1982, Khaled meninggalkan Mesir menuju
Amerika untuk
melanjutkan studinya di Yale University. Selama empat tahun beliau
mendalami ilmu hukum dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude.
Beliau menamatkan studi Magister Hukum pada University of Pennsylvania tahun
1989. Atas prestasinya itu, beliau diterima mengabdi di Pengadilan Tinggi (Suppreme
Court Justice) di wilayah
Arizona, sebagai pengacara bidang hukum dagang dan hukum imigrasi dan mendapatkan kewarganegaraan
Amerika, sekaligus dipercaya sebagai staf pengajar University of Texas di
Austin. Kemudian beliau melanjutkan studi doktoralnya di University of Princeton.
Pada tahun 1999, dan
mendapat gelar Ph.D dalam bidang hukum Islam. Sejak itu, beliau dipercaya
sebagai profesor hukum Islam pada School of Law, University of
California, Los Angeles (UCLA).[3]
Sebagai
seorang intlektual, Khaled termasuk ilmuan yang sangat produktif dalam melahirkan
karya-karyanya, baik dalam bentuk artikel maupun buku. Beberapa contoh karya
tulisnya yang telah diterbitkan antara lain: Rebellion and Violence in Islamic Law, And God
Knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse, The Authoritative and
Authoritarian in Islamic Discourses: A Contemporary Case study, Islam
and Challenge of Democracy, The Place of Tolerance in Islam, Conference
of Books: The Search for Beauty in Islam, dan Speaking in God’s Name:
Islamic Law,
Authority and Woman,[4]
yang menjadi rujukan utama makalah ini. Selain karya-karya tersebut, masih banyak lagi karya Khaled yang lain, baik dalam bentuk
artikel,
jurnal ilmiah, maupun buku.
Dari beberapa karya
Khaled Abou el-Fadl, tiga diantaranya perlu disampaikan ulasannya, karena
sangat terkait dengan obyek pembahasan dalam makalah ini, yaitu; buku
confrence with the Books: The Searching for beauty in Islam. Buku ini mengisahkan dialognya dengan para
ulama masa lalu seperti Imam ibnu Hambal, Al-Jahiz, dan al-Juwainy. Dengan
bahasa prosa yang elok, Khaled meratapi betapa banyak umat Islam yang asing
dengan tradisi klasik Islam. Menurutnya, dengan sikap terbuka dan lapang dada
seorang akan menemukan kekayaan
dalam membaca khazanah klasik Islam. Namun di sisi lain, Khaled meratapi hilangnya kebebasan
intelektual di kalangan umat Islam selama berabad-abad.
Sebagai
hasil dari proses perenungan Abou el-Fadl
menulis buku yang berjudul The Authoritative and Authoritarian in Islamic
Discourse: A case study (2001)
dalam
edisi Indonesia berjudul “Melawan tentara tuhan”: yang berwenang dan
sewenang-wenang dalam wacana Islam (serambi, 2003). Buku ini menggunakan metode
studi kasus yang memfokuskan pembahasan pada fatwa sebuah organisasi Islam
sebagi acuan untuk memunculkan persoalan-persoalan yang lebih luas seputar
despotisme dalam praktik hukum Islam kontemporer.
Sedangkan
dalam buku Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, dan Woman
(Oneworld Publication, 2003) yang sudah diterjemahkan oleh penerbit Serambi
dengan judul terjemahan Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter Ke Fikih
Otoritatif, Khaled mengkritisi sikap otoriter sejumlah kalangan umat Islam
yang merasa „paling benar‟ dalam menafsirkan Teks Suci al-Qur’an dan Hadis. Mereka, menurut Khaled,
seharusnya mengatakan bahwa tafsiran mereka hanya salah satu dari tafsir atas
Kitab Suci selain ribuan tafsir yang berbeda di tengah umat Islam.
Dalam bukunya “Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority
and Woman” ini, beliau
mengemukakan; bahwa metodologi buku ini bersifat analitis dan normatif; beliau
menulis buku tersebut sebagai orang dalam (insider) terhadap tradisi kajian
hukum Islam. Khaled percaya bahwa
Al-Qur'an berasal dari Allah dan dan beliau percaya akan kenabian Muḥammad,
namun ia juga percaya bahwa metodologi interpretasi otoriter merusak integritas
teks-teks Islam serta mengikis
efektivitas dan dinamisme hukum Islam yang bersumber dari keduanya. Karenanya,
beliau menyajikan proposal normatif untuk menegakkan sifat authoritatif teks
dan membatasi otoritarianisme pembaca. Sebagai orang dalam (insider),
beliau tidak hanya mengamati saja, namun beliau juga memposisikan diri sebagai
ahli hukum yang sedang mengevaluasi doktrin dan mengusulkan solusi yang
diyakininya ideal.
Selain
kesibukan beliau sebagai seorang akademisi, ahli hukum, sekaligus penulis yang
produktif, beliau juga sering diundang dalam rangka mengisi seminar, simposium,
lokakarya dan talk show di televisi dan radio terkenal seperti CNN, NBC, VOA
dan sebagainya, dalam berbagai topik seperti topik tentang terorisme, toleransi, hukum Islam dan
lain sebagainya. Selain
itu Khaled juga
pernah menjabat direktur Human Right Watch dan anggota Komisi Kebebasan
Beragama, Amerika Serikat.[5]
Sekalipun
kesibukannya yang sangat padat, beliau juga tidak lupa untuk memenuhi keakhausannya
akan ilmu pengetahuan dan mengasah intlektualnya. Terbukti pada setiap liburan
musim panas, Khaled menyempatkan menghadiri kelas-kelas al-Quran dan ilmu-ilmu
syariat di Masjid al-Azhar, Kairo, khususnya dalam kelas yang diampu oleh
Muhammad al-Ghazālī (w. 1995).[6] Karena itu, Khaled
mengalami pengalaman perjalanan ideologis yang dinamis. Mulanya dia sebagai
orang yang membela dan mengagumi pemikiran Wahabi/Salafi,
dengan menimba ilmu kepada
Muhammad al-Ghazali. Namun, dalam kegelisahan dan pencarian akademisnya membawanya untuk membelok
menjadi akademisi yang mengkritisi dan menolak paham Wahabi/Salafi.
Kegelisahan yang memunculkan
tawaran dalam memahami agama, salah satunya karena
adanya fatwa yang dinilainya otoriter yang dikeluarkan oleh Al-Lajnah
ad-Daimah li al-Buhus al-‘Imiyyah wa al-ifta’ atau Council for Scientific Research and Legal
Opinions (CRLO) Saudi Arabia. Lembaga ini mengeluarkan sejumlah fatwa
yang dianggapnya
tendensius dan tidak
rasional. Terutama fatwa-fatwa terkait masalah perempuan yang sangat diskriminatif
terhadap hak-hak publik perempuan.[7]
Sebagai sarjana yang mendalami bidang hukum Islam, Khaled menawarkan metodologi yang
mendalam. Dia melihat terjadi kesewenang-wenangan dalam memperlakukan teks-teks
keagamaan. Hal itu mengakibatkan teks menjadi tidak relevan, kemudian
diperparah dengan si pembaca mengklaim sebagai penguasa kebenaran. Itulah yang menjadi dari titik
tolak beliau dalam menawarkan hermeneutika sebagai
salah satu solusi dalam memahami teks.
C. Kegelisahan Akademik Khaled M. Abou el-Fadl
Lewat buku Speking in God’s name: Islamic Law,
Authority and Women, dan telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Atas Nama Tuhan: Dari Fikih
Otoriter ke Fikih Otoritatif”,
Khaled hendak menjelaskan secara akademis dan memotret secara lebih dekat
proses dan prosedur pendekatan hermeneutik dalam kajian teks. Bagaimana sesungguhnya
hubungan antara Teks (Text) atau nas, Penulis atau Pengarang (Author)
dan Pembaca (Reader) dalam dinamika pergumulan pemikiran hukum Islam
pada khususnya dan pemikiran Islam pada
umumnya.
Hermeneutika secara
etimologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata hermeneuein,
yang berarti “menafsirkan”, dan kata hermeneia, “interpretasi. Kata hermeios
mengacu pada seorang pendeta bijak, Delphic. Kata hermeios dan kata
kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata benda hermeneia diasosiasikan
pada Dewa Hermes, dari sanalah kata itu berasal.[8] Dewa Hermes mempunyai kewajiban untuk
menyampaikan pesan (wahyu) dari Jupiter kepada manusia. Dewa Hermes bertugas
untuk menerjemahkan pesan Tuhan dari gunung Olympuske dalam bahasa yang
dimengerti oleh manusia. Jadi hermeneutika ditujukan kepada suatu proses
mengubah sesuatu atau situasi yang tidak bisa dimengerti sehingga dapat
dimengerti.
Filsafat Yunani kuno sudah memberikan sinyal
mengenai “interpretasi”. Dalam karyanya Peri Hermeneias atau De
Interpretatione, Plato menyatakan “kata yang kita ucapkan adalah simbol
dari pengalaman mental kita dan kata yang kita tulis adalah simbol dari kata
yang kita ucapkan”. Sehingga dalam memahami sesuatu perlu adanya usaha khusus,
karena apa yang ditafsirkan oleh seseorang telah dilingkupi oleh
simbol-simbol yang menghalangi pemahamannya
terhadap makna.
Secara terminologi,
hermeneutika banyak didefinisikan oleh para ahli, antara lain; Ernest Schleirmacher
mendefinisikan hermeneutika sebaga seni memahami dan menguasai, sehingga
yang diharapkan adalah bahwa pembaca lebih memahami diri pengarang dari pada
pengarangnya sendiri dan juga lebih memahami karyanya dari pada pengarang.
Fredrich August Wolf mendefinisikan, hermeneutika adalah pengetahuan
tentang kaidah-kaidah yang membantu untuk memahami makna tanda-tanda. Sedangkan
menurut Martin Heidegger dan Hans George Gadamer bahwa hermeneutika
adalah proses yang bertujuan untuk menjelaskan hakikat dari pemahaman.[9]
Sementara itu, Amin Abdullah
memberikan definisi hermeneutika sebagai
pendekatan yang lebih menekankan keterlibatan seorang ilmuwan (expert)
terhadap objek yang diteliti. Ciri khas dari pendekatan ini adalah understanding
dan involvement. Keduanya lebih dipentingkan daripada sikap
mengambil jarak dari objek untuk mendapatkan tingkat objektivitas tertentu.[10]
Jika dikaitkan
dengan tafsir al-Qur’an, maka dijumpai adanya tiga kemiripan antara tafsir Al-Qur’an dengan hermeneutika. Kemiripan itu tercakup dalam tiga unsur
utama hermeneuein yaitu;.
Pertama, dari segi adanya pesan yang
berbentuk teks.
Kedua,
adanya
penerima yang bertanya-tanya tentang
pesan itu, (para Mufassir). Ketiga,
adanya pengantara yang dekat dengan kedua belah pihak, yaitu Nabi Muhammad SAW,
yang dijadikan sebagai rujukan utama dalam menafsirkan al-Qur’an.
Hermeneutika dalam
studi Islam Khaled Abou el-Fadl dipicu oleh persoalan penafsiran bias gender
dalam fatwa-fatwa keagamaan Islam yang dikeluarkan oleh al-Lajnah al-daimah
li al-buhuts al-ilmiyyah wa al-ifta’ Saudi Arabia. Fatwa-fatwa
tentang wanita yang dikeluarkan
oleh lembaga ini banyak menuai kontroversi seperti, fatwa tentang pelarangan wanita
mengeraskan suara dalam berdo’a,
wanita mengendarai mobil sendiri, wanita mengunjungi makam suami atau keluarganya, dan
keharusan wanita didampingi oleh mahramnya ketika keluar rumah. Fatwa-fatwa tersebut
dianggap sebagai tindakan merendahkan wanita yang tidak dapat ditolerir untuk saat ini.
Persoalan
penafsiran nas-nas keagamaan Islam yang bias gender ini dijadikan Khaled Abou el-Fadl
sebagai dasar pijakan untuk mendalami lebih lanjut tentang metodologi
penafsiran, dan pendekatan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
seseorang para pemberi fatwa. Menurut Khaled hal ini merupakan salah satu bukti kelemahan metodologis yang digunakan. Praktek hukum Islam
yang seperti ini cenderung memperlakukan hukum Islam sebagai perangkat aturan
yang mapan, dan
terjebak kedalam proses otoritarianisme tertutup. Untuk itu, Khaled menawarkan pendekatan hermeneutika
dalam studi hukum Islam,
untuk menghindari otoritarianisme yang
merampas dan menundukkan mekanisme pencarian makna dari sebuah teks ke dalam
pembacaan yang sangat subjektif dan tertutup.
Untuk
merealisasikan gagasannya tersebut, Khaled Abou el-Fadl menyajikan kerangka konseptual
dalam kajian hukum Islam. Pembahasan otoritas dalam hukum Islam sangat urgen karena tanpa otoritas akan tampak
subyektif, relatif dan bahkan individual.
Menurut Khaled
M. Abou
el-Fadl, pendekatan hermenutika
dalam menganalisis dan mengkaji teks-teks sangat penting dilakukan. Dalam
pendekatan hermeneutika, sedikitnya melibatkan tiga variable yang bersifat triadik, yaitu author (pengarang: Allah dan Nabi), text (teks: Al-Qur’an dan Hadis), dan reader (pembaca: mufasir atau
fuqaha’). Masing-masing unsur dalam proses pemahaman memiliki peran dan
fungsinya sendiri. Karena itu, mengabaikan
pesan salah satu unsur dapat
menimbulkan kesewenang-wenangan
dalam memahami teks. Karena ketiga
elemen tersebut sangat penting
dan berperan dalam menentukan makna suatu teks.[11]
Pertama,
makna dari suatu teks ditentukan
oleh pengarang (author) ketika membentuk sebuah teks, sedangkan pembaca (reader) berusaha untuk memahami maksud teks
sesuai dengan metode dan pendekatan yang digunakannya.
Makna dalam konteks pengarang adalah suatu yang disampaikan dengan simbol
bahasa tertentu, maka pembaca memahami maksud Tuhan sebatas pemahaman pembaca
dalam simbol yang berupa teks. Pada posisi inilah, ada peluang kesalahan oleh pembaca dalam
memahami simbol teks,
sehingga maksud pengarang dalam proses interpretasi tidak bisa sebagai penentu
makna yang sesungguhnya.
Kedua, makna
ditentukan oleh teks (text).
Pembaca tidak boleh menggunakan teks secara bebas dan tanpa batas.
Subjektivitas pembaca tidak akan menemukan kepastian makna sebab teks memiliki
kaidah bahasa yang dapat menentukan makna. Tetapi harus dipahami bahwa, bahasa
adalah produk dan media komonikasi yang belum final dan sempurna. Sehingga bahasa
tidak sepenuhnya menampung aspirasi dan keseluruhan maksud Tuhan. Teks al-qur’an hanya mewujudkan petunjuk-petunjuk
kehendak Tuhan, yang sangat bergantung
pada sejarah dan konteks di zamannya.[12]
Ketiga, penetapan
makna ditentukan oleh pembaca (reader).
Disadari bahwa asumsi pembaca akan berimplikasi terhadap proses pemahaman dan
penafsiran. Asumsi tersebut merupakan konstruksi
pemikiran yang bersifat dialektis yang senantiasa dinamis dan berkembang, sehingga
dalam proses pembacaan teks pembaca membawa subjektivitasnya dalam menyimpulkan dan melakukan interpretasi.
Ketiga
unsur tersebut
memiliki peran penting dalam menentukan makna. Integrasi dari ketiga unsur diatas
merupakan rangkaian yang bersifat dialektis, dinamis dan
interaktif. Tidak ada unsur yang dominan yang bersifat primer, dan tidak ada
unsur sampingan yang bersifat sekunder dalam proses interpretasi. Makna
dipandang sebagai hasil interaksi yang komplek antara pengarang, teks dan
pembaca. Pada ranah seperti inilah, makna diperdebatkan, dinegosiasikan dan
terus mengalami perubahan. Dengan
terjadinya proses negosiasi antara ketiga unsur tersebut, maka
terjadi apa yang disebut
dengan
“dialektika”. Ada tesis, anti-tesis, dan sintesis. Sintesis ini bukanlah suatu
yang final dan mutlak sepanjang ada tesis baru yang menggugurkannya. Oleh sebab itu, akan senantiasa terbuka peluang terjadinya perubahan dan
perkembangan makna teks.
Proses
dialektika (triadik) tiga unsur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
|||||
D. Metode Interpretasi dan Prinsip-Prinsip Interpretasi Khaled M. Abou el-Fadl
1. Metode
Interpretasi
Metode
interpretasi yang dikembangkan oleh Khaled
Abou
El Fadl adalah interpretasi dinamis (lively interpretative), yaitu
proses
menggali konteks kekinian (significance) dari makna (meaning) asal
sebuah teks, atau dengan kata lain membahas dampak (implication) dan
kedudukan penting dari makna asal sebuah teks. Dalam hal ini para mufasir tidak
hanya memahami makna awal sebagaimana teks al-qur’an diturunkan dalam konteks sosio-historis, tetapi, lebih dari sekedar itu, para
mufasir juga menggali makna teks dalam konteks kekinian. Jadi, para mufasir menempuh dua tahapan yaitu
mengenali teks awal dan dijadikan dasar rujukan untuk memaknai teks dalam
konteks kekinian.[13] Sebab tidak dapat dihindari bahwa, al-qur’an tidak dapat
dipisahkan dari konteks historis dan tidak bisa terlepas dari ruang dan waktu
disaat wahu itu diturunkan (Sababun Nuzul). Untuk mengkaji dinamika
antara teks dan konteks historisnya, idealnya teks harus dibaca dengan sebuah
pemahaman yang akurat tentang kaitan antara teks dan konteks historisnya. Dalam
memahami interpretasi dinamis (lively interpretative), penafsir
sebaiknya menggunakan counterfactual yaitu membayangkan apa yang
dikehendaki teks masa lalu, jika ia kembali pada masa kini. Artinya seorang
pembaca yang cermat akan mempertimbangkan fakta bahwa sebuah teks muncul pada
masa lalu untuk masa
sekarang dan yang akan
datang.
Bahkan terhadap persoalan yang sangat sensitifpun, Khaled Abou el-Fadl
berusaha untuk mencari kedalaman makna teks al-Qur’an. Pada bagian induksi dari
buku “Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority
and Woman, beliau menyatakan; bahwa
bagian yang sangat menarik dari Al-Qur'an ketika menyatakan: "Tidak ada
yang bisa mengenal tentara Allah kecuali Tuhan "(wa ma ya'lamu junuda
rabbika illa huwa). Siapakah tentara ini? Apakah itu masuk akal ? jika
hanya Tuhan yang tahu lalu apa yang harus pembaca pahami dari ini? Bahwa
pembaca seharusnya tidak mencoba mencari dan mengidentifikasi tentara Tuhan?.
Al-Qur'an juga berbicara tentang neraka yang dijaga oleh sembilan belas
malaikat. Alquran menguraikan tentang signifikansi nomor sembilan belas. Apakah
hal ini hanya sebuah keyakinan yang hanya akan meningkatkan keimanan. Apa yang
Tuhan kehendaki dari bilangan ini, apakah berarti simbol, perumpamaan, atau
metafora.? Bagian al-Qur’an ini menyoroti beberapa masalah yang menarik
penafsiran. Metode apa yang digunakan untuk menyelidiki arti dari teks
tersebut? Tampaknya seolah-olah Ayat Alquran mengundang pembaca untuk bergabung
dalam sebuah percakapan yang dimulai sejak lama. sejauh mana atau haruskah
pembaca mencoba untuk bergabung dalam percakapan ini?
Seorang pembaca yang menerapkan pembacaan teks dengan cara biasa mungkin
mengerti bahwa ada sembilan belas malaikat yang menjaga Neraka, tanpa perlu
mengetahui apakah wahyu ini akan meningkatkan iman seseorang ataukah tidak.
Mungkin, ayat ini secara historis spesifik; mungkin itu adalah produk dari
konteks tertentu dan perdebatan spesifik yang sekarang hilang untuk kita
selamanya. Mungkin juga teksnya meminta tanda untuk makna atau kumpulan
asosiasi yang lebih dalam. Di bawah pendekatan ini, angka sembilan belas
mungkin menyimpan rahasia itu menjadi kebenaran esoterik yang hanya bisa
ditemukan oleh orang yang benar-benar berpengetahuan. Atau hal ini menunjukkan matsal
(perumpamaan), yang bisa berarti sebuah tanda atau simbol yang berfungsi
sebagai sebuah pengingat untuk manusia. Namun bisakah pembaca diingatkan akan
esoterik jika esoteris tidak mudah diakses? Lain halnya jika teks tersebut
tidak membuka diri terhadap interpretasi tapi hanya menegaskan supremasi
pengetahuan Tuhan dan kesia-siaan usaha manusia untuk memahami pengetahuan ini.
Hal ini menciptakan ambiguitas terhadap makna pernyataan bahwa hanya Tuhan yang
mengetahui tentara-Nya. Apakah pernyataan ini merepleksikan rasa penyerahan
yang tidak perlu dipertanyakan lagi untuk pengetahuan Tuhan? Ataukah itu
berarti bahwa tentara ini hanya diketahui Tuhan, dan pengetahuan Tuhan bisa
diselidiki tapi tidak akan pernah bisa dipastikan atau sepenuhnya diakuisisi?
Jika demikian, secara efektif teks tersebut menolak akses pembaca terhadap
proses membangun dan menghasilkan makna dari teks.[14]
Dipahami
bahwa, al-qur’an
berbicara untuk semua generasi. Maka sudah barang tentu, bahwa teks al-qur’an tidak dapat dipahami hanya sebatas konteks
historisnya saja. Hasil pemahaman dan interpretasi pembaca/penafsir kepada
dinamika teks di masa lalu selanjutnya digunakan untuk menganalisis dinamika
teks di masa yang akan datang. Secara sederhana, perjalanan makna
sepanjang sejarah dari masa lalu hingga masa sekarang yang melewati beberapa
generasi, tradisi dan komunitas
interpretasi merupakan hasil negosiasi antara pengarang, teks, dan pembaca.
Sebagai
gambaran aplikasi dari metode yang ditawarkan oleh Khaled Abou el-Fadl,
ia menyatakan konsep dalam al-Qur’an
“saling mengenal” (lita’arafu) dalam konteks modern merupakan elemen
dasar yang dibutuhkan dalam bentuk kerjasama dan saling membantu. Hal ini
berarti, elemen dasar kerjasama dan saling membantu menjadi implikasi dan
signifikansi dari makna asal (meaning) “supaya saling mengenal”. Al-ta’arafu
merupakan landasan pemikiran bagi etika membuka diri dalam pemikiran
sehingga ada signifikansi dan implikasi lain yang lebih komprehensif.
2.
Prinsip-Prinsip
Interpretasi
Untuk mencegah diri dari kesewenang-wenangan dalam
menafsirkan teks, Khaled Abou el-Fadl mengajukan lima syaratan yaitu:
Pertama,
kejujuran (honesty).
Dalam hal ini,
mufasir harus
menjelaskan semua asumsi dasar yang dimilikinya ketika akan menafsirkan teks, serta tidak
menyembunyikan dengan sengaja perintah Tuhan.
Kedua, kesungguhan/ tulus hati (diligence), artinya mufasir
memiliki komitmen dan mengerahkan segenap daya dan upayanya dalam menemukan dan
memahami petunjuk-petunjuk yang relevan yang berkaitan dengan dinamika
kehidupan. Ketiga, mempertimbangkan
berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness). Pencarian makna oleh
mufasir dengan melihat aspek kesejarahan dan aspek relevansinya dengan kontek
kekinian. Keempat, Rasionalisme (reasonableness). Mufasir harus
melakukan penafsiran dan menganalisis teks secara rasional. Mufasir tidak
diperkenankan melakukan penafsiran yang berlebihan (over interpretation) terhadap
teks yang ada. Kelima, pengendalian diri (self restraint), mufasir
harus menunjukkan kerendahan hati dan pengendalian diri dalam menjelaskan
kehendak Tuhannya. Ini menunjukkan bahwa mufasir harus mengenali batasan peran
yang dimilikinya agar tidak melampaui batas kewenangannya.
Kemungkinan lima syarat yang disampaikan oleh Khaled Abou el-Fadl merupakan pengembangan
dari teori hermeneutika Hans-George Gadamer tentang kesadaran keterpengaruhan
oleh sejarah dan teori prapemahaman. Berdasarkan teori itu, pemahaman
seorang pembaca (reader) dipengaruhi oleh situasi tertentu yang
melingkupinya, seperti aspek sosiologis,
politis, budaya, idiologis, dan sebagainya.[15]
Sedangkan teori kedua, yang
disebutkan merupakan posisi awal pembaca saat dia membaca teks. Namun,
prapemahaman tersebut jangan sampai
mendominasi dan mereduksi makna yang terkandung dalam teks itu sendiri. Oleh
sebab itu, teori selanjutnya yang diadopsi Khaled dari Gadamer adalah terkait
asimilasi horizon.[16]
Berbeda dengan Gadamer yang hanya menyebutkan dua horizon, yakni horizon pembaca dan
teks. Khaled mengembangkannya menjadi tiga horizon yang mesti digabungkan
(didialogkan), yakni horizon pembaca, horizon teks, dan horizon pengarang.
Namun, menurut penulis, sebenarnya horizon pengarang yang dimaksud oleh Khaled
ini sudah masuk dalam horizon teks yang dimaksud oleh Gadamer, sehingga tidak
perlu adanya makna dari perspektif pengarang tersebut.
E. Tawaran Konsep Khaled M. Abou el-Fadl
Khaled Abou el-Fadl
menyajikan sebuah kerangka konseptual untuk membangun gagasan tentang otoritas
dan mengindentifikasi penyalahgunaan otoritas dalam hukum Islam. Maka kata
kunci yang digunakan oleh Khaled Abou el-Fadl
antara lain : teks, makna, otoritas, dan hermeneutik.
Dalam bukunya,
“peaking in God’s Name: Islamic Law,
Authority an Women”,
Khaled Abou el
Fadl berusaha menggali gagasan tentang kekuasaan mutlak Tuhan, peran ketaatan
dalam pembentukan otoritas, dan fungsi para ahli hukum (fuqaha’). Kajian tentang peran teks dalam menentukan
makna. Dalam konteks ini mengajukan teori dan syarat-syarat keberwenangan para
ahli hukum Islam, dan proses yang bisa dijadikan acuan bagi kita untuk melihat
bahwa para ahli hukum telah
menyalahgunakan otoritas mereka.
Menyajikan studi
kasus seputar proses terbentuknya otoritanisme dalam praktik hukum Islam di
dunia modern. Kebanyakan studi kasus itu berfokus pada fatwa (responsa) tentang
persoalan seputar perempuan. Karena fatwa-fatwa tersebut menggambarkan dengan
jelas kesalahan pemakaian dan penyalahgunaan otoritas Tuhan untuk memaksakan
sistem patriarki masyarakat muslim kontemporer.
F. Problem Pemahaman Hadis
Selain perhatiannya
yang sangat besar tentang studi dan metode
interpretasi terhadap teks al-Qur’an, namun jika dibandingkan dengan Al-Qur'an, beliau mengambil pendekatan yang
lebih kritis ke Sunnah Nabi. Beliau
tidak membuat asumsi bahwa setiap laporan yang tercatat dalam Sunnah itu
otentik atau bahwa Sunnah harus mencerminkan suara atau niat authorial dari
Nabi. Beliau membuat asumsi bahwa maksud dan preseden Nabi harus bersifat
determinatif, dengan beberapa kualifikasi. Khaled M. Abou el-Fadl menyadari,
bahwa bagi mayoritas umat Islam, Ini sangat kontroversial tetapi beliau harus
membela sudut pandangnya itu.[17] Oleh
sebab itu, di akhir sub pembahasan makah ini secara khusus menjelaskan tentang
problem pemahaman hadis yang dikemukakan oleh Khaled M Abou el-Fadl.
Namun sebenarnya problem
yang terkait dengan hadis ini cukup tajam sebagaimana diperbincangkan oleh para
ulama’ sejak dahulu, yaitu; problem otentitas dan validitas hadis, posisi
eksistensi hadis yang bersifat relatif kebenarannya (zhanni al-wurud),
problem trnasmisi periwayatan dan kodifikasi yang sangat panjang, sampai kepada
problem pemahaman hadis yang sangat kompleks. Selain itu, terdapat pula problem
lain terkait dengan paradigma yang digunakan dalam memandang sosok Nabi
Muhammad saw. yang berbeda-beda. Al-Qarafi membedakan kedudukan nabi, apakah
sebagai rasul, sebagai mufti, pemimpin perang, atau sebagai manusia biasa.
Sedangkan al-dahlawi membedakan antara sunnah risalah dan ghairu
risalah. Ditambah lagi dengan konteks zaman dan situasi yang berbeda semakin
menambah kompleksitas dalam kajian hadis.[18]
Berangkat dari aspek-aspek
(sosiologis, ideologis, politis, dan budaya) yang melatarbelakangi
pemikirannya, Khaled telah menawarkan
sebuah model pemahaman keagamaan yang khas,
khususnya terkait dengan pemahaman hadis.
Namun sebelum
membahas lebih lanjut,
terlebih dahulu
diuraikan pandangannya terkait Sunnah atau Hadis. Sunnah dipandang Khaled
sebagai sebuah korpus riwayat tak berbentuk tentang perilaku, sejarah, dan
perkataan (hadis)
Nabi.[19]
Pandangan ini sangat berbeda
dengan apa yang telah didefinisikan oleh para ulama pada umumnya, dimana
menurut mereka hadis atau sunnah mencakup lima aspek,
yakni perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat, dan perilaku hidupnya.[20]
Sedangkan
Khaled melihat
sunnah dalam dua bentuk, yakni bentuk lisan dan bentuk tulisan. Bentuk lisan, sunnah merekam tradisi yang
hidup dalam masyarakat muslim terdahulu. Sedangkan dalam bentuk tulisan, hadis-hadis tersebut tidak lagi berubah
dan berkembang tetapi terekam dalam bentuk yang terstruktur dan terorganisasi.[21]
Dari uraian ini,
dapat dikatakan bahwa Khaled membedakan antara
terminologi sunnah dan hadis.
Sunnah adalah kumpulan dari perilaku, kondisi sosio-politik, dan perkataan
Nabi, sedangkan hadis
itu hanya terbatas pada perkataan atau ucapan
Nabi.[22]
Khaled juga mengkritik studi hadis ulama tradisional yang hanya terfokus pada dua aspek, yakni kajian sanad
dan matan.[23]
Bagi Khaled kajian sanad selama ini hanya sebatas masalah status
periwayat (thiqqah atau tidak), biografi periwayat hadis (rijāl al-hadits), cara
mendapatkan dan menyampaikan hadis (tahammul
wa al-adā’),
serta penilaian cacat dan adilnya para perawi hadis (al-jarh wa ta’dīl). Menurut Khaled, hal tersebut belum menyentuh realitas
sejarah itu sendiri. Namun demikian,
Khaled tidak menolak rumusan para ulama hadis tersebut. Kedua, terkait dengan penggunaan
hadis
oleh kelompok puritan, yang
kerap menjadikan hadis
Nabi saw. (dan al-Qur’an)
sebagai alat legitimasi untuk melakukan hal-hal yang tendensius dan otoriter. [24] Padahal, jika dilihat dari aspek
kepengarangan, hadis
tidak hanya didasarkan atau dimunculkan pada masa atau oleh Nabi saja, namun
juga oleh setiap orang yang
berinteraksi dengan
hadis
Nabi.[25]
Khaled mengakui bahwa konsep
kepengarangan dalam hadis
lebih kompleks dibanding dengan al-Qur’an. Konsep kepengarangan
dalam hadis
melewati serangkaian perjalanan historis yang panjang. Pada awal kemunculannya, hadis merupakan tradisi yang hidup
di dalam diri para sahabat. Namun, pasca Rasulallah saw. wafat hadis tidak lantas langsung
dikodifikasi ke dalam kitab. Setelah melewati proses panjang dan berbagai macam
dinamika yang tentu dapat
mempengaruhi dilakukannya kodifikasi hadis ke dalam bebagai kitab-kitab
induk (mu’tabar).
Karena itu, hadis merupakan hasil akhir dari
perkembangan kumulatif yang terjadi melalui sebuah proses historis yang
berlangsung secara terus-menerus. Implikasi dari itu adalah kandungan dari hadis mencerminkan suatu dinamika
sosio-politik yang berlangsung selama bertahun-tahun pasca wafatnya
Nabi.[26]
Untuk melacak kepengarangan hadis
secara historis tidaklah mudah. Karena kepengarangan bukanlah proses yang hanya
melibatkan satu-dua orang atau satu-dua generasi, melainkan proses panjang yang
melewati berbagai zaman dan waktu, dan juga melibatkan banyak orang. Setiap
hadis
yang disandarkan
kepada Nabi merupakan hasil akhir dari sebuah proses kepengarangan. Adanya
proses kepengarangan ini memaksa orang yang hendak mengkaji hadis untuk memahami hadis Nabi bukan sekadar sebagai
sunnah, tetapi juga sebagai sejarah.[27]
Sunnah telah menjadi wadah
penyimpanan perintah Nabi. Proses kepengarangan bertanggung jawab terhadap
pembentukan tradisi sunnah.[28]
Dengan begitu, hadis
bagi Khaled tidaklah semata-mata redaksi yang menggambarkan Nabi berkata atau
melakukan sesuatu, tetapi hadis
adalah proses sosial, politik, dan kebudayaan yang melingkupinya. Hadis tidak hanya sebuah
pernyataan redaksional tentang sesuatu, melainkan lebih dari itu merupakan
dinamika itu sendiri.
Dalam
hal ini, Khaled hendak menyatakan bahwa karena Nabi adalah manusia biasa yang
berbeda dengan Tuhan, tunduk pada proses sejarah dunia, maka warisannya tidak
dapat diletakkan di luar konteks campur tangan dan proses kepengarangan
manusia.[29] Kendati demikian, Khaled
tidak berbicara tentang autentisitas hadis, tetapi, munculnya suatu
hadis
merupakan hasil proses interaksi Nabi atas realitas yang ada pada saat itu,
baik sosial, politik, kultur, maupun aspek psikologis. Oleh sebab itu, hal
mendasar yang ditawarkan Khaled dalam kajian hadis adalah harus menyentuh
realitas sejarah. Dengan mengembangkan kajian pada kritik matan (naqd al-matan) yang memungkinkan seseorang
mengkaji konteks sosio-historis hadis untuk landasan
kontekstualisasi pada masa kekinian. Kemudian membaca fenomena dari riwayat
hadis
bukan berlandaskan atas apa yang telah dikatakan Nabi, tetapi peran apa yang
dimainkan oleh Nabi
dalam sebuah riwayat tersebut.[30]
Khaled lebih melihat dalam
konteks apa dan peran apa yang menyebabkan Nabi mengucapkan suatu hadis tertentu, bukan pada muatan
redaksionalnya. Khaled tidak menolak uji autentisitas hadis, tetapi beliau menegaskan
bahwa metode-metode tersebut perlu lebih menyentuh realitas sejarah.[31] Menilai seorang periwayat
tertentu memang cukup membantu, tetapi tidak meyakinkan. Kehidupan setiap orang
merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan kontekstual, dan tidak mungkin
merangkumnya dengan sebuah penilaian tunggal.[32]
Diperlukan penilaian yang mendalam atas pribadi para periwayat hadis tersebut, tidak hanya
sebatas penilaian kredibilitas semata, tetapi juga harus dilihat, misalnya
aspek politiknya.
Kompetensi tidak hanya
merujuk pada keputusan
tentang autentisitas hadis,
tetapi juga pada keseluruhan kondisi yang mempengaruhinya. Proses uji autentisitas
merupakan bagian dari penelitian
ini, namun hal
yang jauh lebih penting adalah menguji dan menilai keseluruhan proses
kepengarangan dan mencapai sebuah keputusan tentang bagaimana dan sejauh mana
beragam suara pengarang, membentuk ulang suara pengarang historis (Nabi). Ini
merupakan penyelidikan menyeluruh terhadap semua konteks historis untuk
melakukan penilaian terhadap peran Nabi dalam sebuah hadis tertentu. Fokus penyeledikan
ini adalah pada tingkat tanggung jawab dan peran yang dimainkan oleh para pelaku.[33]
Istilah pengarang historis maupun teks historis yang digunakan Khaled
sepertinya meminjam istilah yang ditawarkan Gracia dalam teorinya, karena khaled
tidak menyebutkan redefinisi terkait istilah tersebut.
Terkait
dengan kajian hadis, Khaled
memberikan analisisnya atas hasil fatwa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhus
al-‘Imiyyah wa al-Ifta’- Saudi Arabia, tentang isu-isu perempuan. Hadis-hadis dengan tema-tema yang
dianggap mendiskreditkan perempuan (Fatima Mernisi; hadis misoginik) menjadi objek aplikasi atas
tawaran analisis Khaled dalam memahami teks,
sebagaimana yang
dibahas dalam buku Speaking in God’s Name.
Salah satu tema hadis yang dikritisi adalah hadis berkaitan dengan perintah
bersujud kepada suami. Hadis
tersebut selengkapnya
berbunyi;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ لَمَّا قَدِمَ
مُعَاذٌ مِنْ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مَا هَذَا يَا مُعَاذُ قَالَ أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ
لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ
بِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا تَفْعَلُوا
فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ لَأَمَرْتُ
الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا
تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا وَلَوْ
سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ.[34]
“Dari Abdullah bin Abu Aufa
ia berkata, "Tatkala Mu'adz datang dari Syam, ia bersujud kepada Nabi saw.
hingga beliau bersabda: "Ada apa ini ya Mu'adz! Mu'adz menjawab, "Aku
pernah mendatangi Syam, aku mendapatkan mereka sujud kepada para uskup dan
komandan mereka. Maka, aku ingin melakukannya terhadapmu." Rasulullah saw. bersabda: "Janganlah
kalian melakukannya, kalau saja aku diperbolehkan memerintahkan seseorang
untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku akan perintahkan seorang isteri
bersujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya,
sungguh seorang isteri itu tidak dikatakan menunaikan hak Rabb-nya hingga ia
menunaikan hak suaminya. Kalau saja suami memintanya untuk dilayani, sementara
ia sedang berada di atas pelana kendaraan, maka ia tidak boleh
menolaknya." (HR. Ibnu Majah)
عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ أَتَيْتُ الْحِيرَةَ
فَرَأَيْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِمَرْزُبَانٍ لَهُمْ فَقُلْتُ رَسُولُ اللَّهِ
أَحَقُّ أَنْ يُسْجَدَ لَهُ قَالَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقُلْتُ إِنِّي أَتَيْتُ الْحِيرَةَ فَرَأَيْتُهُمْ يَسْجُدُونَ
لِمَرْزُبَانٍ لَهُمْ فَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ نَسْجُدَ لَكَ
قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَرَرْتَ بِقَبْرِي أَكُنْتَ تَسْجُدُ لَهُ قَالَ قُلْتُ
لَا قَالَ فَلَا تَفْعَلُوا لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ
لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ
لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ الْحَقِّ.[35]
“Dari Qais bin Sa'd, ia berkata; aku datang ke Al
Hirah (negeri lama yang berada di Kufah), maka aku melihat mereka bersujud
kepada penunggang kuda mereka yang pemberani. Lalu aku katakan; Rasulullah saw. lebih berhak untuk dilakukan
sujud kepadanya. Qais bin Sa'd berkata; kemudian aku datang kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dan aku katakan; sesungguhnya aku datang ke Al Hirah dan aku
melihat mereka bersujud kepada penunggang kuda mereka yang pemberani. Engkau
wahai Rasulullah, lebih berhak untuk kami bersujud kepadamu. Beliau berkata:
"Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau melewati kuburanku, apakah engkau
akan bersujud kepadanya?" Qais bin Sa'd berkata; aku katakan; tidak.
Beliau bersabda: "Jangan kalian lakukan, seandainya aku boleh
memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang, niscaya aku
perintahkan para wanita agar bersujud kepada suami-suami mereka, karena hak
yang telah Allah berikan atas mereka." (HR. Abu
Dawud)
Sepertinya, sebelum melakukan
penafsiran, Khaled juga melakukan penelusuran terhadap sumber periwayatan hadis ( takhrij al-Hadits), dan menampilkan beberapa
versi hadis dengan tema yang sama.
Beliau menyebutkan bahwa hadis
di atas diriwayatkan dalam berbagai versi dan melalui berbagai rantai
periwayatan oleh Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad ibn Hanbal, al-Nasa’i dan Ibn Hibban.[36]
Setelah menyebutkan variasi
matan hadis, Khaled juga menyertakan
autentisitas atas hadis-hadis yang
dikaji. Dari semua
rangkaian sanad tidak ada yang mencapai tingkatan mutawātir (dari banyak
jalur periwayatan),
semuanya adalah hadis
ahad (dari jalur
yang terbatas/tunggal), bahkan
ada yang bernilai dha’if.
Lalu kandungan dari
hadis-hadis tersebut dianalisis melalui
pendekatan dialektika. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam sosial, gender,
teologi, moral menjadi landasan dalam mendialekkan hadis tersebut. Khaled tidak mau
terjebak pada tatanan makna literal yang ada dalam teks, melainkan lebih
mengedepankan
penggalian meaningful sense, sebagaimana yang ditawarkan oleh Gadamer.
Di sisi lain, Khaled cukup konsisten dalam menerapkan lima prasyarat yang harus
dilakukan dalam melakukan interpretasi. Khaled juga mengelaborasikan
penafsirannya dengan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hadis tentang kepatuhan istri
terhadap suaminya.
Analisis Khaled membuktikan
bahwa selain makna yang terkandung dalam hadis itu bertolak belakang dengan
perilaku atau apa yang dicontohkan oleh Nabi dalam hadis-hadis yang lain. Secara struktur,
hadis-hadis tentang anjuran bersujud
kepada suami juga patut dicurigai. Karena sangat tidak mungkin Nabi membahas
persoalan teologi Islam dengan cara yang sangat tidak sistematis. Struktur
kandungan dalam hadis
tersebut tidak rasional, dan tidak bisa menegaskan Nabi telah memainkan peranan
penting dalam proses kepengarangan. Namun jika dicermati secara
cermat, menurut penulis makalah (Ruslan), berbagai versi matan hadis tentang
persoalan tersebut sama sekali tidak ada terdapat perintah Nabi agar isteri
bersujud kepada suami. Dalam hadis tersebut hanya berisi perandaian dengan
kalimat “Seandainya”, untuk sebuah perbandingan terhadap perilaku sahabat yang
ingin berusjud kepada Rasulullah. Dengan demikian, matan hadis tersebut juga
tidak serta merta difahami sebagai perintah Nabi..
D. Kesimpulan
Terlepas dari
sensitifitas persoalan yang ditawarkan oleh Khaled Abou el-Fadl, gagasan beliau tersebut patut untuk diapresiasi sebagai
sebuah gagasan dalam kajian hukum Islam untuk menghindarkan diri kesewenang-wenangan dan
otoritarisme dalam melakukan interpretasi terhadap teks (al-Qur’an dan Hadis). Sebab
bagaimanapun juga, pemahaman terhadap suatu teks tidak dapat dilakukan hanya
dari satu pendekatan saja, namun juga melibatkan perspektif yang lain sehingga
kesimpulan hukum yang ditetapkan bersifat komprehensif dan tidak didominasi
oleh subyektifitas penafsir.
Pendekatan hermeneutik
yang bersifat komprehensif
dapat menjadi salah satu pendekatan yang digunakan disamping pendekatan-pendekatan
lainnya, seperti pendekatan historis dan lain sebagainya.
Menurut Khaled Abou el-Fadl, pendekatan hermeneutika otoritatif mampu menjawab
persoalan-persoalan hukum Islam yang berkembang selama ini yang masih dianggap
diskriminatif dan bias gender.
Hermeneutika yang dikembangkan
oleh Khaled berorientasi pada
otoritas penafsiran sebuah teks dengan menegosiasikan teks, pengarang dan
pembaca, dan mempertimbangkan kepribadian seorang penafsir (reader). Oleh sebab itu, membaca gagasan-gagasan Khaled ini mampu
menjadi salah satu solusi dalam melakukan kajian terhadap produk hukum Islam
yang dilahirkan baik oleh individu maupun lembaga yang masih terkesan
diskriminatif dan dan otoriter Wallahu A’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. 1997. Falsafah
Kalam: Di Era Posmodenisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Almirzanah, Syafa‟atun dan
Sahiron Syamsuddin. 2009. Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an
dan Hadith: Teori dan Aplikasi, Buku 2 Tradisi Barat. Yogyakarta: Lemlit
UIN Sunan Kalijaga.
Asyaukanie, A. Luthfi. 1998.
“Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”. Paramadina. volume I,
nomor I (Juli-Desember).
Billa, Mutamakkin. 2005. Kritik-kritik
Khaled M. Abou El Fadl atas Otoritarianisme dalam Diskursus Hukum Islam
Kontemporer. Tesis. Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Blaicher,Josef.Hermeneutika
Kontemporer: Hermeneutika sebagai Metode Filsafat dan Kritik, Terj. Ahmad
Norman Permata, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003)
CD-Al-Maushu’ah
al hadist al-Syarif
CD.Al-Maktabah
al-Syamilah
CD-Lidwa
Pusaka
Dawud, Imam Abu, Sunan Abu Dawud, pada bab “Fi Haqqi al-Zauj ‘ala
al-Mar’ah, nomor hadis. 1828.
El-Fadl, Khaled M. Abou El.
2004. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. ter. R.
Cecep Lukman. Jakarta: Serambi.
_________. 2003. Melawan
“Tentara Tuhan”: yang Berwenang dan yang Sewenang-wenang dalam Wacana Islam.
ter. Kurniawan Abdullah. Jakarta: Serambi.
_________. 2005. Selamatkan
Islam dari Muslim Puritan. ter. Helmi Mustafa. Jakarta: Serambi.
El-Fadl,Khaled
Abou,Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority an Women, (England:
Oneword Publication, 2003)
Gadamer, Hans-Georg. 2004. Kebenaran
dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, ter. Ahmad Syahidah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Howard,
Roy J. Hermeneutika: Wacana Analitik, Psikososial, dan Ontologis. Ttp:
Nuansa, tt.
Ichwan,Moch
Nur.Meretus Kesarjanaan al-Qur’an: Teori Hermeneutika Aby Zayd, (Jakarta:
Teraju, 2003)
al-Khatib, Muhammad Ajjaj, As-sunnah Qabla
at-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, cetakan ke enam, 1997.
Kurdi,
dkk. 2010. Hermeneutika al-Qur’an dan Hadith. Yogyakarta: eLSAQ Press.
Nasrullah. 2008.
“Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou El Fadl: Metode Kritik Atas Penafsiran
Otoritarianisme dalam Pemikiran Islam”. Jurnal Hunafa, volume 5, nomor
2.
Majah, Imam Ibnu, Sunan Ibnu Majah, pada bab “Haqqu al-Zauj ‘ala al-Mar’ah,
nomor hadis. 1843.
Misrawi, Zuhairi. 2005.
“Khaled Abou El Fadl Melawan atas Nama Tuhan”. Perspektif Progresif.
volume I (Juli-Agustus).
Muammar, M.
Arfan dkk, Studi Islam Perspektif Insider Dan Outsider, (Jogjakarta:
IRCiSoD Anggota IKAPI, 2012)
Mustaqim, Abdul, Ilmu Ma’anil hadits
Paradigma Interkoneksi: Berbagai teori dan Metode Memahami Hadis Nabi,
Yogyakarta: Idea Press, cetakan pertama, November 2004.
Palmer,Richard
E. Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer,
terj. Mansur Hery & Damanhuri M, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai
Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
al-Qaradhawi, Yusuf. 1997. Bagaimana
Memahami Hadith Nabi SAW. ter. Muhammad al-Baqir. Bandung: Karisma.
_________. 1991. Pengantar
Studi Hadis,
ter. Agus Suyadi
Raharusun dan Dede Rodin. Bandung: Pustaka Setia.
Salim, Fahmi, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an
Kaum Liberal, Jakarta:
Perspektif, 2010.
as-Shalih, Subhi, Ulum al-hadits wa
Musthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmi li al-Malayin, cetakan ke 21, 1997.
Solahudin,
Agus, dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadis, bandung: Pustaka Setia, cetakan pertama, Mei 2009.
Sugiharto, I. Bambang.. Postmodernisme:
tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1996
Supriatmoko, “Konstruksi Otoritarianisme
Khaled M. Abou El Fadl” dalam Kurdi, dkk. Hermeneutika al-Qur’an dan
Hadith. Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2010.
Yusriandi.
2010. “Hermeneutika Hadith Khaled M. Abou El-Fadl” dalam Kurdi, dkk. Hermeneutika
al-Qur’an dan Hadith. Yogyakarta: eLSAQ Press.
[1]
Bayan a-tafsir artinya; menerangkan
ayat-auyat yang masih global seperti ayat mujmal, muthlaq dan ‘am. Bayan at-Taqrir
berarti mempekokoh dan menguatkan sesuatu yang ditetapkan oleh al-Qur’an. Bayan
an-nasakh berarti menjelaskan ayat yang nasikh (menghapuskan pemberlakuan suatu
hukum) dan ayat yang masukh (yang dihapuskan pemberlakuan hukumnya). Bayan
Insya’ berarti menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an. Lihat: Subhi
as-Shalih, Ulum al-hadits wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmi li al-Malayin,
cetakan ke 21, 1997, hal. 291-294., bandingkan dengan, Muhammad Ajjaj
al-Khatib, As-sunnah Qabla at-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, cetakan ke enam,
1997, hal. 22-25. Lihat juga, Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis,
bandung: Pustaka Setia, cetakan pertama, Mei 2009, hal. 79-84
[2]
Khaled Abou El
Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority an Women, (England:
Oneword Publication, 2003), 16. 2.
[3] Nasrullah,
“Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou El Fadl: Metode Kritik Atas Penafsiran
Otoritarianisme dalam Pemikiran Islam”, Jurnal Hunafa, volume. 5, nomor
2 (2008), 140.
[4]Mutamakkin
Billa. Kritik-kritik Khaled M. Abou El Fadl atas Otoritarianisme dalam
Diskursus Hukum Islam Kontemporer, Tesis (Yogyakarta: PPs UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2005)
[5]
Supriatmoko, “Konstruksi
Otoritarianisme Khaled M. Abou El Fadl” dalam Kurdi, dkk, Hermeneutika
al-Qur’an dan Hadith (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), 267.
[8] Richard E. Palmer, Interpratation Theory in
Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, terj. Mansur Hery &
Damanhuri M, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 14.
[10] M. Amin Abdullah. 1997. Falsafah Kalam: Di Era
Posmodenisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 160.
[12]
Ibid,
128.
[13]
Moch Nur Ichwan, Meretus Kesarjanaan al-Qur’an: Teori
Hermeneutika Aby Zayd, (Jakarta: Teraju, 2003), hal. 4.
[15]Khaled
M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,
ter. R. Cecep Lukman (Jakarta: Serambi, 2004), hal. 36.
[18]
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil hadits
Paradigma Interkoneksi: Berbagai teori dan Metode Memahami Hadis Nabi,
Yogyakarta: Idea Press, cetakan pertama, November 2004, hal. 4
[19] Yusuf
al-Qaradhawi, Bagaimana Memahami Hadith Nabi SAW, ter. Muhammad al-Baqir
(Bandung: Karisma, 1997), 92.
[20] Baca,
Yusuf al-Qaradhawi, Pengantar Studi Hadith, ter. Agus Suyadi Raharusun
dan Dede Rodin (Bandung: Pustaka Setia, 1991), 20.
[21] Khaled
M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,
ter. R. Cecep Lukman (Jakarta: Serambi, 2004), 150.
[23]
Khaled M. Abou El Fadl, Melawan “Tentara Tuhan”: yang
Berwenang dan yang Sewenang-wenang dalam Wacana Islam, ter. Kurniawan
Abdullah (Jakarta: Serambi, 2003), 82-3
[26]Khaled
M. Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, ter. Helmi
Mustafa (Jakarta: Serambi, 2005), 176.
[31]
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam: Di Era Posmodenisme (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), hal. 42.
[34]
Hadis riwayat imam Ibnu Majah dalam
kitab Sunannya, pada bab “Haqqu al-Zauj ‘ala al-Mar’ah, nomor hadis. 1843.
Lihat pula, CD-Al-Maushu’ah al hadist al-Syarif, al-Maktabah al-Syamilah dan
CD-Lidwa Pusaka.
[35]
Hadis riwayat imam Abu Dawud dalam
kitab Sunannya, pada bab “Fi Haqqi al-Zauj ‘ala al-Mar’ah, nomor hadis. 1828.
Matan hadis ini juga diriwayatkan oleh imam ad-darimi dan imam Ahmad bin
hanbal. Lihat pula, CD-Al-Maushu’ah al hadist al-Syarif, al-Maktabah
al-Syamilah dan CD-Lidwa Pusaka.
Leave a Comment